// //

Sr. Aurelia Simbolon, FCJM: Emas Murni dari Dairi

Sr. Aurelia Simbolon, FCJM: Emas Murni dari Dairi

 

Hampir 50 tahun silam di Desa Parsaroan, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara lahir seorang anak perempuan di tengah-tengah keluarga Bermarga Simbolon dan Rosmainim Br. Sigiro. Orang tuanya menamainya, Aurelia yang artinya emas. Aurelia anak ketujuh dari delapan bersaudara. Namun tiga saudaranya yang lahir pertama tidak pernah ia jumpai. Mereka sudah dipanggil Tuhan sebelum ia dilahirkan. Jadilah di ijasah sekolahnya ia disebut sebagai anak keempat dari lima bersaudara. Sebagai keluarga Katolik ia dan keluarganya menjadi umat Paroki St. Dionysius, Sumbul, Kabupaten Dairi. 

Dari kecil sudah muncul keinginan dalam diri Aurelia untuk nantinya mengabdikan seluruh hidupnya bagi Tuhan dengan menjadi seorang biarawati Katolik. Mulanya karena melihat bahwa gaya hidup para rama (pastor) dan para biarawati di sekitar parokinya yang ramah dan baik hati. Mereka saling mengasihi satu sama lain. Di dalam hatinya selalu bergema panggilan untuk menjadi pelayan Tuhan sepenuh waktu. Tapi impiannya tidak memperoleh dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Ayahnya berharap Aurelia nantinya menjadi seorang perawat dan bukan menjadi seorang suster Katolik. Berkali-kali ia memohon, namun ayahnya tidak pernah memberikan izin. 

Setelah lulus Sekolah Dasar Aurelia kemudian melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Sumbul. Mula-mula ia menumpang tinggal di rumah abang sepupunya di Sumbul. Sebagai orang yang tinggal menumpang, selain belajar sehari-harinya Aurelia mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga, seperti: membersihkan rumah, mencuci, menyetrika hingga membantu memasak. Suatu hari sambil memasak, Aurelia menyetrika pakaian-pakaian abangnya. Karena fokus yang terbagi-bagi, tidak sengaja kemeja abangnya yang masih baru terbakar panas setrika. Aurelia begitu ketakutan. Ia sembunyikan kemeja yang terbakar tersebut dan kemudian pulang ke rumahnya di kampung. Kepada mamanya ia menceritakan pergumulannya,”Mak, aku melakukan kesalahan, baju abang terbakar. Aku takut dan tidak mau pulang kembali ke sana.”

Sekarang muncul masalah baru. Sekolah harus tetap jalan, namun di mana ia harus menumpang tinggal? Sementara keuangan orang tuanya yang terbatas tidak memungkinkan untuk membiayainya indekos. Aurelia merasa ia harus menemui pastor parokinya untuk memohon saran dan jalan keluar. Kebetulan paroki St. Dionysius memiliki asrama yang diperuntukkan untuk membantu anak-anak dari keluarga miskin di perkampungan yang bersekolah di Sumbul. Tanya pastor,”Mengapa kamu baru datang sekarang? Bukan dua bulan yang lalu ketika memasuki tahun ajaran baru?” Aurelia pun menceritakan permasalahannya. Pastor iba dan tergerak untuk menolong. Setelah berkonsultasi dengan Ibu Asrama, Aurelia diterima sebagai penghuni baru di asrama St. Dionysius, Sumbul. Sebagai penghuni asrama, Aurelia wajib menaati semua peraturan disiplin yang ada di asrama. Sejak hari itu disiplin asrama Katolik dijalani Aurelia. Lulus dari bangku SMP ia melanjutkan pendidikan ke SMEA Negeri Kabanjahe, Kabupaten Karo. 

Setelah menyelesaikan SMEA, bapaknya masih bersikeras melarangnya menjadi seorang biarawati. Aurelia merasa kecewa karena penolakan tersebut, karena ia merasa  lebih dekat dengan bapak daripada mamaknya. Bapaknya meminta Aurelia segera meneruskan pendidikan menjadi perawat. Pikir bapaknya, kalau Aurelia menjadi seorang biarawati, berarti ia akan menjalani kaul hidup selibat. Artinya tidak menikah. “Orang Batak itu harus ada helanya (menantu),”demikian pandangan bapaknya. Meskipun mendapatkan larangan, keinginan Aurelia tidak luntur. Bahkan tantangan tersebut semakin memurnikan semangatnya melayani Tuhan. Ketika ia nekat berangkat menuju masa postulan, sang bapak mendiamkannya tanpa senyuman. Masa postulan adalah masa peralihan dan perkenalan bagi calon religius agar dapat mengenal kehidupan membiara, khususnya mengenal kongregasi yang dipilih. 

 

Tidak Memperoleh Restu

Setelah setahun menjalani masa postulan, Aurelia memperoleh masa liburan. Ia pun pulang ke rumahnya. Mamak dan semua saudara menyambutnya dengan riang. Hanya sang bapak, yang menyambutnya dengan sindiran tajam. “Selamat datang suster. Dalam rangka apakah Anda datang ke rumah kami? Hendak melakukan kunjungan pastoralkah?” Sindir ayahnya. Mendapatkan sindiran dari ayahnya tidak membuatnya patah semangat, namun justru terpacu untuk menunjukkan kehidupan dan karakter yang lebih baik setelah memilih hidup membiara. 

Ketika menjalani masa kuliah di Yogyakarta, paribannya datang mau melamarnya. Namun, Aurelia yang menolaknya dengan halus. Dalam keyakinan Aurelia, pernikahan dengan pariban yang masih memiliki kekerabatan dekat secara darah tidak diperkenankan oleh Gereja Katolik. Pada titik inilah bapaknya akhirnya menyerah dan berpikir,”Ah, sudahlah sekeras apapun kita menghalanginya, ia tidak akan keluar dari biara.“ Aurelia bahagia, akhirnya sang bapak bisa memahami pilihan hidupnya sebagai suster dari kongregasi FCJM. Setelah masa postulan di Balige, Aurelia menjalani masa novisiat di Pematang Siantar, Sumatra Utara. 

Aurelia bahagia bisa bergabung dalam kongregasi FCJM (Franciscanae Filiae Sanctissimae Cordis Jesus et Mariae) atau Suster-suster Fransiskan puteri-puteri hati Kudus Yesus dan Maria. Kongregasi ini didirikan pada 1859 dan pada sekitar 1930 mulai masuk dan berkarya di Indonesia. Umumnya karya pelayanan FCJM di Indonesia adalah bergerak di bidang pendidikan, kerasulan berpastoral, dan melayani orang-orang kecil dan terpinggirkan, seperti: orang miskin, yatim piatu dan orang-orang cacat.

Selesai menjalani masa novisiat, Aurelia ditugaskan kongregasinya untuk memulai karya pelayanan di rumah komunitas FCJM di Jl. Sei Padang, Medan. Setiap harinya setelah doa dan meditasi selesai, ia mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga, seperti: mengepel, memasak, mencuci, hingga menyetrika pakaian. 

Setelah menjalani masa latihan pelayanan di Medan, maka Aurelia dikirim belajar di Yogyakarta, tepatnya di ASMI St. Maria, Yogyakarta. Kongregasi agaknya telah melihat talenta kepemimpinan dan penatalayanan yang menonjol dalam diri Aurelia. Mereka mengirimnya belajar dalam bidang administrasi, kesekretariatan dan manajemen di ASMI. Ia menyelesaikan masa kuliah di ASMI pada tahun 1999. Setelah itu ia masih menjalani berbagai kursus dan pembinaan diri dalam rangka persiapan kaul kekal sebagai seorang biarawati Katolik. 

Pada 2001 Aurelia mengikrarkan kaul kekal. Mendasari kaul kekalnya, Aurelia mengangkat motto hidup yang diinspirasi dari Injil Lukas: “Tuhan ke manapun Engkau pergi aku akan tetap setia mengikutimu.” Ia menyadari perjuangannya untuk menjadi seorang suster Katolik tidak mudah, ia mengalami banyak tantangan dan rintangan. Dengan memegang motto tersebut, ia berharap dalam keadaan apapun Tuhan akan menguatkannya untuk tetap setia. 

 

Berkarya di Tengah Perkebunan Kelapa Sawit

Setelah kaul kekal, Sr. Aurelia dikirim ke Pekanbaru, ke salah satu ladang pelayanan milik kongregasi FCJM di Indonesia. Di Pekanbaru FCJM memiliki hutan sawit yang cukup luas. Sebagai biarawati yang memiliki latar belakang ilmu administrasi dan manajemen, Sr. Aurelia ditugaskan untuk menjadi manajer perkebunan di sana dan sekaligus mendampingi umat yang sebagian besar menjadi buruh sawit. 

Ketika Sr. Aurelia tiba di tengah-tengah lingkungan perkebunan di awal-awal 2000-an, jalanan menuju ke perkebunan masih belum sebaik sekarang yang sudah beraspal. Pada masa itu jalanan dari kota menuju lokasi perkebunan masih tanah, yang jika musim kemarau berdebu tebal dan berbatu-batu, jika hujan licin dan berlumpur. Rumah-rumah karyawan juga masih sangat sederhana dengan akses listrik yang terbatas karena sumber tenaga berasal dari genset. Listrik menyala mulai pukul enam sore hingga pukul sembilan malam. Praktis dalam keadaan yang serba terbatas, Sr. Aurelia harus pandai-pandai mengatur waktu dalam menyelesaikan laporan-laporan terkait pekerjaannya sebagai seorang manajer perkebunan. Lepas pukul 9 malam tidak aktivitas lain yang bisa dilakukan kecuali berdoa dan selanjutnya tidur. “Karyawan-karyawan perkebunan pada masa itu menganggap tempat tinggal mereka sebagai gubuk derita, karena tempat tinggalnya sangat sederhana dan letaknya yang terpencil dan sepi jauh dari pemukiman penduduk,”tutur Sr. Aurelia sambil tertawa. 

“Setiap hari tugas utama saya adalah berkebun dan mendampingi karyawan. Selain hal tersebut saya melakukan berbagai kegiatan pastoral, yaitu mengunjungi keluarga-keluarga karena di sekitar perkebunan ada banyak stasi (gereja kecil), juga mengajar dan mendampingi anak-anak dalam pembangunan iman.”

“Bagi kami yang tinggal di perkebunan, untuk menuju perkampungan warga dan beribadah di gereja juga tidak mudah. Lokasinya sangat jauh dan transportasi menuju ke sana juga tidak selalu ada. Untuk menuju gereja, saya dan para karyawan biasanya menumpang truk perkebunan,”katanya. 

Sebagai manajer perkebunan, Sr. Aurelia bukan hanya duduk berdiam di kantor menunggu laporan, melainkan harus selalu rajin berkeliling memantau pekerjaan para karyawan dalam: menanam, memupuk, hingga merawat tanaman sawit. Sebagai biarawati ia berkeliling melakukan karya pelayanan pastoral: menjenguk, menyapa, mendengarkan, menguatkan dan menghibur para pekerja kebun sawit dan keluarganya. Namun sebagai manajer dirinya harus memimpin mereka bekerja mencapai target dan melatih disiplin dalam pekerjaan. Setiap hari berkeliling di bawah terik matahari tidak membuat Sr. Aurelia kehilangan sukacita pelayanan. Kuncinya menurut Sr. Aurelia adalah ketaatan dan kesetiaan melayani Tuhan. “Kita harus selalu mengingat untuk siapa kita melakukan semua pelayanan ini, kita melakukannya untuk Tuhan,”terangnya. 

Sr. Aurelia melayani dan berkarya di tengah perkebunan sawit selama lima tahun. Bekerja di panas terik kebun sawit dan sekaligus di belakang meja menata administrasi, mengasah dan memurnikan Sr. Aurelia dalam kemampuan kepimpinan, kemampuan berkomunikasi, kesabaran, ketaatan dan kesetiaan. Seperti namanya Aurelia yang berarti emas, melalui berbagai tantangan yang dialami Tuhan makin memurnikan semangat dan panggilan Sr. Aurelia dalam melayani-Nya. 

 

Melayani di Panti Asuhan

Sudah setahun belakangan Sr. Aurelia berpindah tempat tugas melayani di Panti Asuhan IX, di Pematang Siantar.  Panti asuhan ini milik kongregasi FCJM di Indonesia. Mulanya panti asuhan ini dibangun untuk melayani anak-anak yatim piatu. Kini mereka juga melayani anak-anak yatim yang kesulitan ekonomi dan juga anak-anak korban broken home (perceraian). “Banyak terjadi ketika suami dan istri bercerai, tidak jelas suami pergi ke mana, istri ke mana. Anak-anaknya kemudian tidak ada yang peduli dan memperhatikan. Pada anak-anak yang mengalami trauma seperti ini kita pun harus hadir menolong,”terangnya. Saat ini ada 38 orang anak yang menghuni Panti Asuhan IX. Mereka beragam dari kanak-kanak hingga usia menjelang 18 tahun. Di luar 38 anak-anak yang tinggal di asrama panti ini, ada beberapa anak lainnya yang diasuh oleh Kongregasi FCJM tapi tidak tinggal di panti. Mereka rata-rata sedang menjalani kuliah di luar kota dengan beasiswa dari FCJM. Untuk mengurus Panti Asuhan IX, hadir empat orang suster, dua orang karyawan dan satu orang tenaga pengemudi. 

“Menjadi pengasuh dan pendamping di panti asuhan, berarti harus siap hadir sebagai orang tua bagi mereka. Bukan hanya menjadi orang tua satu dua orang anak, tetapi menjadi orang tua, pendidik dan sahabat 38 anak yang memiliki karakter berda-beda. Ada yang lembut, ada yang keras, ada yang mukanya penuh senyum, ada yang ceria namun ada juga yang mukanya selalu cemberut, tidak selalu mudah menangani mereka, apalagi kalau hanya mengandalkan kekuatan diri sendiri,”kata Sr. Aurelia. 

Sr. Aurelia memahami bahwa anak-anaknya di panti berasal dari keluarga yang berlatar belakang berbeda-beda. Tidak jarang anak-anak ini saling bertengkar. Sebagai pendamping dirinya harus mampu menengahi dan mengayomi semua anak tersebut. Ketika mereka berkumpul di panti, mereka diajar untuk saling mengasihi, saling membantu, kompak satu sama lain dan terutama berlatih disiplin dan iman kepada Yesus Kristus.

“Untuk melatih disiplin, mereka harus diajar untuk dari kecil merapikan barang dan kamar mereka masing-masing. Mereka juga memiliki tugas-tugas rutin yang dijalankan bergiliran, mulai membersihkan lokasi panti asuhan, mencuci dan sebagainya. Mereka harus belajar bangun tepat waktu dan tidur tidak terlalu larut, karena setiap pagi, sore dan malam hari diadakan doa bersama. Mereka semua wajib mengikutinya. Selain belajar berdoa dan mendengarkan renungan Kitab Suci, anak-anak panti pada waktu-waktu tertentu diajak untuk jalan-jalan lintas alam, berlatih musik, menari dan olah raga dan berbagai kegiatan lainnya agar mereka tidak merasa bosan. Pada waktu-waktu tertentu pengurus panti bekerja sama dengan para frater mengadakan retret atau rekoleksi bagi anak-anak panti untuk meneguhkan dan menyegarkan kembali iman mereka. 

 

Bersyukur dan Setia

Pandemi juga menjadi tantangan tersendiri bagi Sr. Aurelia dan rekan-rekannya dalam menjaga dan merawat anak-anak panti. Para pelayan panti harus benar-benar memantau kegiatan anak-anak panti terutama kegiatan di luar panti. Karena mereka tinggal bersama dan harus saling menjaga satu sama lain. Sejak mengikrarkan diri untuk berkaul kekal pada tahun 2001, kini Sr. Aurelia hampir memasuki 21 tahun masa pelayanan.  

“Tidak ada yang bisa saya banggakan. Saya hanya bisa bersyukur bahwa hingga detik ini saya masih setia dalam panggilan mengikuti Tuhan. Begitu banyak rintangan dan cobaan, namun saya boleh melewati itu semua,”katanya. Sr. Aurelia meyakini bahwa tanpa bantuan mujizat dan pertolongan dari Tuhan ia tidak mungkin melewati masa panjang tersebut. 

Berbicara tentang mujizat dan penyertaan Tuhan, Sr. Aurelia menceritakan dua pengalaman hidupnya yang cukup berarti dan menguatkan imannya. Waktu ia mengikrarkan kaul kekal pada 2001, Bapaknya sakit dan keadaannya kritis. Menjelang kaul kekal saya berdoa memohon kepada Tuhan, demikian: “Tuhan, bapak saya sedemikian lama tidak pernah setuju saya menjadi suster. Sebentar lagi saya akan mengikrarkan kaul kekal. Izinkan saya kalau Tuhan menghendaki, agar bapak saya bisa mengikuti peribadahan dan memberikan berkat tumpangan tangan agar hamba-Mu setia mengikuti panggilan-Mu.”

Doa tersebut dijawab oleh Tuhan. Bapaknya diberikan pemulihan, dan pada hari kaul kekal hadir dalam ibadah. Dari awalnya mengalami sakit parah dan kritis, Tuhan memberikan tambahan usia tujuh tahun lagi.”Baru pada 2007 akhirnya bapak saya meninggal,”tutur Sr. Aurelia. 

Yang kedua, Tuhan menolongnya lepas dari beberapa kali sakit parah yang mengancam keselamatan jiwanya. Pertama, waktu Sr. Aurelia masih kelas 6 SD ia sakit mengalami demam lama. Tidak terasa ia dirawat di RS selama sekitar satu bulan. Dokter sudah menyatakan tidak ada harapan, bahkan meminta kedua orang tuanya untuk membawa Aurelia pulang ke rumah. Keluarga besar berkumpul untuk menaikkan doa bersama. 

“Dari hari Jumat hingga Sabtu, kondisi saya semakin memburuk, sehingga keluarga bahkan sudah mempersiapkan kuburan untuk saya. Kemudian ada orang-orang tua di kampung yang berdoa untuk saya, dan setelahnya mendadak saya sembuh. Melalui peristiwa seperti ini iman saya diteguhkan, hidup mati manusia sepenuhnya ada di tangan Tuhan,”terangnya. 

“Pernah juga ketika saya menjalani kuliah di Yogyakarta, saya beberapa waktu sakit dan kemudian diperiksa, ternyata ada benjolan di payudara. Untunglah tidak ganas. Setelah operasi dan perawatan di RS St. Carolus Jakarta kemudian kondisi saya membaik. Waktu itu kuliah saya sebenarnya sudah menjelang selesai,”kenangnya. 

 

Mengawali dan Mengakhiri dengan Doa

Berbagai pengalaman dan peristiwa yang dialami semakin menyadarkan Sr. Aurelia bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkannya sendirian. Tuhan selalu siap untuk memberikan pertolongan dengan cara-Nya. “Setiap pagi, siang ataupun malam, saya selalu memulai dan mengakhiri segala sesuatu dengan doa. Saya selalu berusaha mengandalkan pertolongan Tuhan. Bagi orang yang menjalani kaul kekal, jika hanya mengandalkan kekuatan diri sendiri pasti akan sulit bertahan, karena cobaan dan tantangan selalu datang setiap saat,”terangnya. 

Kehadiran rohaniwan seperti dirinya tidak selalu diterima umat dengan penuh sukacita. Tak jarang ia juga mengalami penolakan, kritikan dari umat yang melukai hati. Namun, semua tantangan tersebut diterimanya dengan sabar dan penuh sukacita karena ia menyadari pelayanannya datang dari panggilan Tuhan. “Karena kebaikan dan kemurahan Tuhan semata sehingga saya mampu menjalankan setiap tugas pelayanan yang diberikan kepada saya,”tuturnya. 

Bagi Sr. Aurelia mujizat tidak harus datang melalui hal-hal yang luar biasa, penyertaan dan rahmat Tuhan setiap hari pun merupakan mujizat dari-Nya. Bahwa hingga hari ini dirinya masih diberikan kesehatan baginya juga merupakan mujizat.  Penyertaan Tuhan dalam pelayanan setiap hari pun merupakan mujizat. 

“Dengan bermodalkan jubah “putih kotor” ini, saya tidak pernah khawatir melayani Tuhan ke manapun saya diutus. Tidak hanya orang Katolik sahabat dari Gereja Protestan maupun muslim sering memberikan pertolongan dan membantu pelayanan saya,”katanya. Belasan tahun lampau setelah peristiwa gempa di Nias, seorang perantau Nias di Jakarta yang menghormati kerja keras pelayanannya, mengundangnya untuk datang ke Jakarta untuk sekadar berkeliling ibukota tanpa ia harus keluar dana sepeserpun. Peristiwa seperti itu sering ia alami sebagai tanda kehadiran Tuhan melalui orang-orang di sekitarnya. 

Sekiranya Tuhan masih memberikan usia yang panjang untuk melayani, Sr. Aurelia hanya ingin memberikan karya yang terbaik untuk Tuhan dan untuk kongregasi, ke manapun ia diutus. Sebelum melayani di Panti Asuhan IX di Pematang Siantar ini, Sr. Aurelia beberapa lama bertugas di Roma Italia, di Kantor Pusat Kongregasi FCJM. Tugasnya mengerjakan berbagai tugas administrasi dan rumah tangga di sana. Sr. Aurelia sadar, panggilan menjadi seorang suster kongregasi artinya setiap saat harus siap meninggakan zona nyaman, setiap saat harus siap dipindahtugaskan ke tempat yang membutuhkan kehadirannya. 

Para Pastor yang bertemu dengannya dengan bercanda sering berkata,”Wah, Sr. Aurelia, anda dari desa pergi menuju Kota Abadi (Roma), sekarang malah pulang kembali ke desa dan melayani panti asuhan.” Mungkin bagi yang belum memahami akan bertanya, mengapa bisa seperti itu? Sr. Aurelia hanya bisa mengatakan bahwa semua karena Tuhan. Di manapun Tuhan menempatkan harus selalu siap dan menjalaninya dengan penuh ketaatan. “Di panti asuhan, tidak jarang kita harus ikut memasak, menenami anak-anak belajar dan bahkan menyiapkan dan menyediakan makanan untuk babi di kandang. Semua harus kita jalani dengan sukacita,”tuturnya. 

Menjadi pelayan berarti harus siap mengosongkan diri dan menempatkan kepentingan diri sendiri di bawah kepentingan orang lain dan Tuhan. Harus siap diperintah, disuruh-suruh dan ditolak. Harus siap diutus ke tempat yang tidak nyaman. Ini berkebalikan dan bertolak belakang dengan jalan hidup umum yang dicari setiap manusia. Lumrahnya setiap orang ingin mengutamakan kepentingannya sendiri. Lebih suka memerintah daripada diperintah. Dan selalu ingin di tempat yang lebih nyaman dan lebih aman. 

Berjalan di belakang Yesus memang adalah berjalan melawa arus. Tidak banyak orang yang mau dan siap menjadi pelayan. Bahkan yang dengan taat menyerahkan seluruh hidupnya untuk Kristus. Dari yang tidak banyak itu adalah Sr. Aurelia. Ia belajar setia mengikuti teladan Yesus yang berkata,”Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan.”(Luk. 22:27). Bagaimana dengan Anda?