Sr. Irena Handayani, OSU:   “Tuhan Engkau Cukup Bagiku”

Sr. Irena Handayani, OSU:  “Tuhan Engkau Cukup Bagiku”

 

“Siapakah yang senang kalau harus melayani orang lain?” demikian kata Plato. Agaknya Plato lebih jujur daripada kita. Sebab seringkali kita berkata bahwa kita mau melayani orang lain, namun dalam prakteknya kita bersikap: Eh, enak saja nyuruh-nyuruh, memangnya aku jongos dia? Melayani sungguh tidak mudah. Karena melayani adalah mengosongkan diri dan menempatkan kepentingan diri sendiri di bawah kepentingan Tuhan dan kepentingan orang lain. Melayani bagi pengikut Kristus bukan sesekali melainkan gaya hidup yang dilakukan sepanjang hayat dikandung badan. Seperti nyala lilin yang bersinar sampai sumbu penghabisan. Pelayanan kristiani bertolak belakang dengan pandangan dunia yang lazim, di mana orang justru mengutamakan kepentingan diri sendiri. 

Tentang pelayanan kita dapat belajar dari perjalan karya Sr. Irena Handayani, OSU. Usianya kini sudah menginjak 65 tahun. Usia yang bagi kebanyakan orang adalah waktunya beristirahat, masanya untuk duduk manis menikmati sisa hidup. 

Beliau kini duduk sebagai anggota Komisi Keadilan dan Perdamaian (KKP) Keuskupan Agung Jakarta. Melalui komisi ini Gereja Katolik berjuang dan bekerja sama dengan semua pihak dalam mewujudkan masyarakat yang adil, toleran dan manusiawi, khususnya dalam menolong dan mendampingi mereka yang miskin, menderita dan tersisih. Di Komisi ini Sr. Irena merupakan Koordinator Divisi Peduli Migran, Perantau dan Pengungsi. 

“Yang kami kerjakan, adalah menolong dan mendampingi para migran yang dipulangkan ke Indonesia oleh berbagai sebab. Jakarta menjadi tempat transit dan penampungan para migran sebelum dipulangkan ke daerah asalnya,”jelasnya.

”Sebagian dari mereka adalah para pekerja yang pulang dari luar negeri dalam keadaan yang serba sulit. Banyak dari mereka pulang tanpa membawa uang, hatinya dalam keadaan tertekan dan menderita. Kita memberikan penguatan spiritual, konseling dan juga tak jarang memberikan berbagai pelatihan ketrampilan,”lanjutnya. 

Bagaimana para migran tersebut pulang dalam keadaan yang demikian nestapa? Menurut Sr. Irena ada banyak hal yang menjadi penyebabnya. Ada beberapa dari mereka yang memang tertipu janji-janji manis bekerja di negeri asing. Ada dari mereka yang masuk ke luar negeri secara illegal, melalui “jalur tikus”. Ada pula yang berangkat secara resmi, kemudian setelah beberapa lama paspornya habis dan tidak memiliki biaya untuk pengurusan paspor. Ada pula yang ditipu majikannya dan tidak digaji. “Banyak dari mereka sudah berkorban menjual tanah dan rumah di kampung untuk mengadu nasib di luar negeri. Ternyata pulang dalam kehampaan,”kata Sr. Irena.  

Di luar pekerja migran, Jakarta ternyata juga menjadi tempat persinggahan dan penampungan para pengungsi. “Mereka datang dari berbagai tempat, ada yang dari Suriah, ada juga yang dari Afganistan,”terangnya. Para pengungsi tersebut dalam keadaan bingung dan ketakutan karena negerinya dilanda konflik dan peperangan. Tak pernah terpikir akan menginjakkan kaki di Indonesia. Kebanyakan dari mereka tidak punya tujuan, yang mereka lakukan adalah menyelamatkan diri dari peperangan. “Dalam keadaan seperti ini gereja berusaha hadir mendampingi dan menjadi sahabat bagi mereka,”terangnya. “Kami bergaul akrab dengan mereka, membantu dalam pengobatan dan pemeriksaan kesehatan, maupun menyediakan bantuan pangan,”jelasnya. Untuk menghadirkan dan mewujudkan semua bantuan tersebut, Sr. Irena berkoordinasi dan bekerja sama dengan paroki-paroki di bawah Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), maupun Lembaga Daya Dharma (LDD) KAJ. 

“Yang kami lakukan murni kegiatan kemanusiaan. Tidak ada hubungannya dengan politik. Kami menyambut para pengungsi tersebut seperti kami juga menyambut Tuhan Yesus sendiri. Alkitab sendiri jelas menulis bahwa Tuhan hadir dalam diri mereka yang lapar, papa dan menderita,”terangnya. 

Selain sebagai anggota KKP, Suster Irena merupakan Koordinator Talita Khum Indonesia Jaringan Jakarta. Talita Khum Indonesia adalah organisasi yang dibentuk oleh Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia (IBSI) untuk melawan perdagangan manusia (human trafficking). Dalam semangat kesetaraan gender organisasi ini juga menentang segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Keikutsertaannya dalam Talita Khum Indonesia sudah dijalaninya sejak tinggal di Bandung. 

Untuk menghadiri berbagai pertemuan maupun pelayanan, Sr. Irena berkeliling Jakarta dengan naik kendaraan umum dari biara tempat tinggalnya di Bumi Serpong Damai (BSD). Paling sering adalah kereta listrik (KRL) maupun bus Transjakarta. Untuk orang yang berusia 65 tahun kesehatan dan semangat Sr. Irena boleh dikatakan luar biasa. “ Puji Tuhan. Saya menjalani semua kegiatan dengan happy, dengan penuh sukacita. Semua bisa terjadi kalau dilakukan dengan penuh sukacita,”terangnya. Sambil menikmati perjalanan kereta maupun transjakarta, Sr. Irena melakukan meditasi dan doa. 

Sebagai anggota Ordo Santa Ursula, Sr. Irena menjalani sebagian besar masa pengabdiannya dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Pernah ia mengajar sebagai seorang guru SD, guru SMP, maupun guru SMU. Pernah juga ia dipercaya menjabat Kepala Sekolah SMP, kepala Sekolah SMU hingga Ketua Yayasan. Saat ditanyakan, apa kunci utama sekolah-sekolah Ursulin sehingga terkenal memiliki kualitasnya yang bagus? Sr. Irena menjawab singkat,”Kita mengelola dengan hati.” Bagi Sr. Irena mengelola dengan hati menjadi faktor kunci dalam mengembangkan lembaga pendidikan. Tidak peduli sekolah tersebut berada di pedalaman Agats (Papua), Nanga Pinoh (Kalimantan), maupun di tengah Kota Jakarta. Prinsip melayani dengan hati, dengan penuh belas kasih adalah prinsip yang diajarkan oleh pendiri ordo Santa Angela Merici. “Di dunia pendidikan kita harus memiliki hati untuk mendengarkan, untuk menyapa hati. Menyapa dan membuka hati akan mengubah manusia,”jelasnya. Lebih lanjut Sr. Irena memandang prinsip ini juga harusnya menjadi prinsip pendidikan di dalam keluarga. “Ketika anak-anak mendapatkan cinta dan hati yang utuh dari ibu dan bapaknya, sesulit apapun perjalan hidup sebuah keluarga, anak-anak akan survive,”lanjutnya. Orang tua maupun para pendidik mesti memiliki kepedulian untuk mendengarkan dan mendekati dengan hati. 

Sedari Kecil

Cita-cita Irena Handayani sedari kecil memang ingin menjadi suster. Awalnya, karena mengagumi sosok Sr. Gabriel, Kepala Sekolah TK Santo Bernardus, Madiun. Mere Gabriel, demikian sapaan akrabnya, merupakan sosok yang sangat mencintai anak-anak dan punya perhatian yang besar terhadap orang-orang kecil seperti tukang becak dan pemulung. Kasihnya yang demikian tulus memukau hati Irena hingga ia berpikir,” Kalau besar nanti saya ingin menjadi suster seperti Suster Gabriel.”

Keluarganya tidak pernah melarang cita-cita Irena. Malah sangat mendukung. Ibunya, Laurentia Yovita Harini, bahkan memberinya dorongan demikian:”Kalau mau jadi seorang suster harus rajin dan sangat pintar. Tidak bisa biasa-biasa saja.”

Bagi Irena ibunya adalah sosok luar biasa. “Ibu saya bukan seorang sarjana ataupun seorang berpendidikan tinggi, namun ia sosok yang hebat karena mendidik anak-anaknya dengan hati.” Irena merupakan anak kesembilan dari 12 bersaudara. Ayahnya Engelbertus Soekatimin Pudjowinoto adalah sorang Katekis yang tugasnya membantu para rama (pastor) untuk mengajar Agama Katolik. Ayahnya sering bepergian ke berbagai tempat untuk kegiatan pelayanan. Ibunya sebagai seorang ibu rumah tangga mendidik 12 anak dengan sekuat tenaga dan sepenuh hati. Dari kecil Irena dan saudara-saudaranya sudah terlatih untuk mandiri dan bertanggung jawab. “Kami sejak kecil sudah belajar mengerjakan berbagai tugas rumah tangga, seperti: Menyapu halaman, menyiram tanaman, membantu memasak, mencuci baju dan sebagainya,”katanya. Setiap pagi hari semua kegiatan diawali dengan doa bersama, dan di malam hari seluruh keluarga wajib berkumpul untuk berdoa bersama. 

Tempat tinggal keluarga Irena yang dekat dengan gereja memungkinkan ia dan sebelas saudaranya terbiasa dengan berbagai kegiatan dan pelayanan di gereja, seperti: Putra Altar, Legio Maria, Orang Muda Katolik (OMK),maupun SSV. Irena lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG) pada 1973 dan setelahnya ia mengajar SD selama tujuh tahun. Namun, keinginan untuk menjadi seorang suster masih kuat tertanam di hatinya. Untuk memperlengkapi diri, Irena berkuliah di Fakultas Pendidikan, Universitas Katolik Widya Mandala, Madiun. Ia mengambil Jurusan Konseling.  Ia masih ingat betul pesan ibunya, seorang suster harus pintar. 

Setelah ia menyelesaikan kuliahnya pada usia 25 tahun, Irena memutuskan masuk Noviciat Ordo Santa Ursula, yaitu masa pendidikan dan pembimbingan bagi seorang religius (yang memutuskan hidup selibat) dalam Gereja Katolik. “Saya masuk Novisiat Ursulin pada 31 Agustus 1980 di Biara Santa Ursula di Jl. Supratman, Bandung,”katanya. “Awalnya saya masuk bersama 15 teman satu angkatan. Setelah Masa Postulan selama satu tahun, empat orang mengundurkan diri. Sehingga memasuki tahapan kaul pertama tinggal 12 orang dan saat mengikrarkan kaul kekal (setelah 8 tahun menjadi suster) tinggal 9 orang.” 

Selesai menjalani masa Noviciat, pada 1984 Sr. Irena ditugaskan untuk mengajar di SMU St. Theresia, di Jakarta. “Padahal sewaktu saya melamar dan mulai menjalani pendidikan sebagai calon suster, saya bercita-cita menjadi guru di desa-desa terpencil di Papua, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur hingga Sulawesi,”terangnya. “Sampai karya pelayanan saya berakhir dalam pendidikan formal, cita-cita tersebut tidak pernah terwujud,”lanjutnya sambil tertawa. Namun, ia boleh berkesempatan untuk berkeliling ke berbagai kota di Indonesia dalam rangka memberikan berbagai materi pelatihan. 

Sr. Irena sungguh suatu berkat yang luar biasa boleh bergabung sebagai pengikut Santa Ursula Merici dan mengenal pengikut-pengikutnya yang mencintai dan memberdayakan kaum perempuan dari segala strata, baik yang miskin dan kaya, yang kuat maupun lemah, yang pandai hingga yang kurang pandai. Untuk segala hal yang telah ia terima dan jalani dalam hidup ia senantiasa bersyukur. 

“Ibu saya mendidik semua anak-anaknya untuk belajar bersyukur dan menyadari berkat-berkat Tuhan melalui pelajaran Doa Bapa Kami. “Dalam Doa Bapa Kami dikatakan: Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya. Artinya, mencari rezeki jangan berlebihan, yang secukupnya untuk hari ini saja. Secara tersirat kita diajak jangan serakah dan belajar berbagi dengan orang lain,”jelasnya. Maka, ia pun tetap bisa menikmati kehidupan biara yang penuh disiplin tanpa harus kehilangan sukacita. Dalam kaitan mengucap syukur dan berbagi ini, Sr. Irena juga selalu ingat akan teladan Simbah Puteri (neneknya) di masa lampau. Neneknya mengajari untuk selalu berterima kasih bahkan kepada pohon-pohon yan tumbuh di sekitar rumah karena telah menikmati banyak buahnya. “Kalau ada buah dari pohon yang berlebih dan dipetik oleh orang,  Simbah Puteri tidak akan marah, asal tidak merusak pohonnya,”kata Sr. Irena. Baginya secara tidak sengaja, Simbah Puterinya telah mendidiknya untuk belajar merawat bumi. 

Maka, Sr. Irena memiliki moto hidup: “Tuhan, Engkau cukup bagiku”. Baginya Tuhan sudah memberikan segala-galanya buat keluarganya. Jika berbekal rasio semata, sungguh sulit keluarganya yang dengan 12 anak dapat hidup cukup. Namun, Tuhan ternyata memberikan banyak berkat yang tidak terduga. “Bapak saya sebagai seorang katekis, tidak memiliki gaji. Sehabis mengajar agama yang dibawanya bukan uang, melainkan singkong, sayur, buah-buahan, beras ketan dan sebagainya pemberian dari umat,”kenangnya.  

Ketika pada 2015 Sr. Irena berhenti berkarya dari dunia pendidikan formal, sempat muncul kerinduan dan serasa ada sesuatu yang hilang. Sebuah perasaan yang wajar karena puluhan tahun dijalani sebagai guru dan pendidik. Namun, Tuhan seperti tahu kerinduannya. Sekali-kali Sr. Irena bertemu dengan para remaja setingkat SMU pada saat memberikan  sosialisasi pencegahan Human Trafficking bersama Kelompok Talita Khum Indonesia maupun sosialiasi keseteraan Gender bersama teman-teman mitra Imadei KAJ ke sekolah-sekolah dari mulai SD hingga SMU dan SMK. 

Yang paling menggembirakan seorang pendidik menurut Sr. Irena adalah perjumpaan kembali dengan mantan murid, rekan pengajar, orang tua murid. “Pernah di Jakarta saya bertemu dengan mantan murid saya semasa menjadi guru SD di Madiun. Puluhan tahun tidak bertemu dan ternyata ia masih mengingat saya dengan baik,”katanya. Ia merasa amat berbahagia ketika mantan murid  atau rekan sekerja masih mengenangnya. “Artinya ada ikatan batin dan tanda persahabatan di antara kita,”lanjutnya. 

Sr. Irena mengakui dirinya dulu dikenal sebagai sosok pendidik yang penuh dedikasi dan disiplin. Namun, tidak pernah ia temui ada mantan murid yang terluka atau mengalami sakit hati. Karena semua yang ia lakukan merupakan bentuk kasih sayangnya sebagai seorang pendidik  demi kebaikan murid-muridnya. 

Di luar kegiatannya di KKP dan Thalita Kum Indonesia, Sr. Irena masih membimbing kelompok-kelompok doa dan meditasi. Pandemi Covid-19 membatasi pertemuan secara langsung, dan pertemuan sekarang dilakukan secara online melalui media Zoom. “Meditasi dan doa itu penting, mendekatkan diri kita kepada Tuhan. Sumber kekuatan rohani kita dari Tuhan.” Bagi Sr. Irena doa dan meditasi yang teratur akan membantunya memperoleh kedamaian batin. 

Jika Tuhan memberikan umur panjang, Sr. Irena berharap ia tetap bisa berkarya, menjadi sahabat bagi semua orang, khususnya bagi mereka yang lemah, yang miskin, yang teraniaya khususnya korban-korban kekerasan dan pelecehan seksual, juga kaum diffable. “Saya tidak memiliki uang yang bisa diberikan, namun saya bisa menjadi sahabat mereka melalui doa, mediasi dan mendengarkan mereka,”ujarnya. “Saya memang tidak memiliki uang, namun saya punya waktu, saya juga punya hati untuk mereka yang membutuhkan doa dan persahabatan,” pungkasnya.

Siapa yang senang jika harus melayani orang lain? Itu kata Plato. Namun, Sr. Irena dengan gembira membaktikan hidupnya untuk melayani sesama. Tidak ada yang lebih utama dalam hidup selain melayani Tuhan, seperti moto hidupnya: Tuhan, Engkau cukup bagiku!  (keb)