“SUDAH CUKUP, TUHAN!”

“SUDAH CUKUP, TUHAN!”

 

Ada sahabat keluarga kami yang memiliki perilaku unik. Keluarga ini memelihara dua ekor anjing. Selalu dua ekor. Tidak lebih, tidak kurang. Walau anjing-anjing itu telah beranak-pinak dan berganti generasi, tetap saja hanya dua yang dipelihara. Dan nama anjing itu selalu sama, “Money” dan “Happy”. Sepertinya kedua ekor anjing peliharaan itu menjadi pengingat bagi keluarga tersebut, bahwa mereka harus selalu bekerja keras mencari “money” agar “happy”.

Ya, keluarga ini memang tipe keluarga pekerja keras yang mengalami zaman Perang Pasifik 1942-1945 yang juga dikenal sebagai zaman Jepang dan era Perang Kemerdekaan 1945-1949. Kehidupan baru mulai dibangun sejak 1950 bersama dengan kehidupan baru negeri ini. Zaman Merdeka. Salah satu anak dari keluarga ini seorang dokter. Menjadi cita-cita generasi ini bahwa anaknya menjadi dokter. Sebuah gambaran zaman baru yang sukses. Dokter dipandang sebagai orang yang bekerja di belakang meja, melakukan diagnosa, menulis resep dan dibayar mahal. Berbeda dengan gambaran kehidupan orang tuanya yang mengalami penderitaan zaman perang dan harus berdagang demi sesuap nasi, jungkir balik demi masa depan anak-anak yang lebih baik. “Hemat Pangkal Kaya” adalah etos kerja yang ditekankan kepada anak-anaknya.

Zaman berganti . . .Ketika cucunya yang lahir di era 1990-an dan tumbuh-kembang di era 2000-an diperkenalkan dengan etos kerja tersebut, sang cucu protes. “Opa, hemat itu pangkal pelit, bukan pangkal kaya” Ya, cucunya yang anak seorang dokter tidak lagi mengalami masa-masa kerja keras-masa perjuangan. Sang cucu lahir di keluarga kelas menengah di rumah berkamar tiga, ada mobil, dibekali telepon selular dan dengan mudah mencapai pendidikan Strata-1. Jika orang tuanya atas kehendak sendiri maupun kehendak orangtuanya (kakek si cucu) berjuang meraih gelar kesarjanaan seperti dokter, insinyur, sarjana hukum atau sarjana ekonomi, maka si cucu lebih tertarik pada studi bidang kuliner, pariwisata, komunikasi visual/digital, atau desain interior alih-alih pendidikan arsitektur. Generasi milenial adalah generasi yang lebih pragmatis alih-alih idealis yang menjadi nilai-nilai generasi sebelumnya. 

Jika generasi kakek harus berjuang demi kebutuhan fisiologis dan berusaha meraih rasa aman dan terlindungi serta berusaha meraih cinta, memiliki dan dimiliki, maka generasi cucu sudah mendapatkan itu semua dan berupaya meraih kebutuhan untuk bisa tampil dan mengaktualisasikan diri. Demikian gambaran perbedaan kedua generasi tersebut menurut Teori Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow. Bagaimana Alkitab melihat hal ini?

Matius 4: 1-11 berkisah tentang Tuhan Yesus yang dicobai di padang gurun seusai dibaptis. Dikisahkan bahwa Tuhan Yesus mengalami 3 pencobaan, yakni mengubah batu menjadi roti, menerjunkan diri dari atap Bait Allah untuk diselamatkan oleh malaikat dan segala kekayaan dan kuasa di bumi. Apa respons Tuhan Yesus? Tuhan Yesus menolak semua itu dan berkata, “Enyahlah, Iblis! Sebab ada terulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” [Matius 4:10]. Mengapa demikian?

Jika dikaitkan dengan Teori Maslow di atas, maka nampak adanya keparalelan. Percobaan mengubah batu menjadi roti adalah pencobaan mengenai kebutuhan yang paling mendasar. Kebutuhan fisiologis. Pencobaan menjatuhkan diri dari atap Bait Allah dan diselamatkan oleh malaikat paralel akan kebutuhan rasa aman dan terlindungi serta dikasihi, sedangkan pencobaan ke tiga, harta dan kekuasaan berkaitan dengan harga diri dan aktualisasi diri. Tuhan Yesus sudah melampaui semua itu. Sudah cukup. 

Kembali kepada “Happy” dan “Money” serta “Hemat Pangkal Pelit”, nilai-nilai itu mengasumsikan bahwa seseorang harus sukses dahulu, khususnys secara finansial, barulah ia akan menikmati kebahagiaan, namun Tuhan Yesus, melalui narasi pada Matius 4:1-11 justeru mengajarkan sebaliknya. Janganlah kamu mengejar kebutuhan fisiologis, rasa aman, dicintai dan mencintai, kebanggaan/ harga diri dan aktualisasi diri supaya berbahagia, melainkan berdamai dulu dengan diri sendiri, merasa cukup/ugahari. Lihatlah Doa Bapa Kami yang diajarkan Tuhan Yesus, “…datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami secukupnya …dst.” [Matius 6:10-11]. Tuhan Yesus mengajarkan kita bahwa kerajaan Tuhan turun ke bumi jika kita tidak serakah, melainkan hidup cukup/ugahari. “Berikanlah makanan kami secukupnya …”  Ajaran Tuhan Yesus ini bukanlah ajaran “kaleng-kaleng” atau ajaran yang berasal dari awang-awang atau ruang hampa, melainkan hasil perenungan, penghayatan dan pencobaan di padang gurun. 

Berbahagia adalah soal konsep yang tertanam di kepala kita. Berbahagia adalah soal merasa cukup dan berdamai dengan diri sendiri. Biasanya kita akan berkata “Cukup, Tuhan. Stop, Tuhan” untuk setiap persoalan, pergumulan dan penderitaan yang kita alami. Namun untuk makan enak, hidup senang, harta berlimpah, kita jarang bahkan tidak pernah berkata “cukup”. Semua adalah nafsu dan keinginan yang tidak terbatas untuk merasa puas. Selalu ada target baru, rekor baru yang ingin dicapai. Sebaliknya merasa bahagia adalah merasa cukup, puas, ugahari dan merdeka karena tidak lagi terbelenggu oleh ambisi untuk meraih target/rekor baru. Berani berkata “cukup” untuk semua kesenangan hidup akan membawa kita pada kebahagiaan yang sesungguhnya. 

Dengan merasa bahagia – Kerajaan Surga turun ke bumi – kita semua menjadi orang merdeka yang bebas untuk meraih semua cita-cita tanpa merasa “harus” atau dipaksa oleh target atau ambisi. Sukses bukan hanya sukses finansial-material sehingga kita merasa bisa membeli apapun di dunia ini, termasuk kebahagiaan. Ada berbagai kesuksesan dalam hidup ini, misalnya: hidup sehat. Tuhan tahu bahwa kebahagiaan hanya dapat diperoleh tatkala kita merasa cukup. Karena itu Tuhan mengajarkan dalam doa, “Berilah kami makanan/rezeki yang secukupnya.” Beranikah Anda berkata, “Sudah cukup, Tuhan. Terima kasih.”?


Pdt. Sri Yuliana