Sukanto Aliwinoto: Sahabat Orang-orang Papua

Sukanto Aliwinoto: Sahabat Orang-orang Papua

 

Kampung Daun, di Bandung bukan sekadar restoran namun sudah menjadi salah satu tujuan wisata favorit bagi banyak orang. Mereka datang dari berbagai kota bukan hanya untuk merasakan kelezatan masakan di tempat itu, namun juga suasana tenang, damai dan pedesaan yang ditawarkan.  Membicarakan Kampung Daun tidak bisa lepas dari sosok sang pemilik, Sukanto Aliwinoto. 

Sukanto anak ke-2 dari 5 bersaudara. Awalnya keluarga besarnya bukan penganut Kristen. Dari keluarga besarnya, kedua orang tuanyalah yang pertama kali mengambil keputusan untuk mengikut Kristus. Cita-cita Sukanto sewaktu kecil sebenarnya ingin menjadi ahli mesin atau teknik. Kesenangannya pada dunia teknik membawanya ke berbagai usaha. Ia pernah berjualan alat-alat listrik. Kemudian pada awal 1980-an, Sukanto mengembangkan usaha jual beli mobil. Lewat jual beli mobil hobinya mengemudi dengan kecepatan tinggi dan mengutak-atik mesin tersalurkan. 

Pernah juga, selepas menyelesaikan sekolah menengah di Bandung, Sukanto bekerja di Astra. Tidak lama ia menjadi pegawai di sana.  Niat utamanya memang hanya sebagai sarana belajar, menimba ilmu, dan yang utama menurut Sukanto mencari relasi. Impian Sukanto dari kecil adalah memiliki usaha sendiri. Menurut Sukanto, dengan berwirausaha ia bisa memiliki kemerdekaan dan kebebasannya sendiri. 

Minatnya di dunia kuliner berawal karena mengagumi sosok neneknya yang sangat pintar memasak. Di masa Sukanto kecil, di Cirebon, belum ada restoran. Jika ada pesta pernikahan, jasa nenek Sukanto sering dimanfaatkan dan tanpa dibayar. Kedua tangan nenek saya sama cepatnya saat memotong sayur menggunakan pisau.

Melihat nenek dan ibunya begitu hebat memasak, Sukanto semakin tertarik di dunia kuliner. Di antara cucu neneknya, hanya dirinyalah yang tertarik mempelajari kuliner. Maka, sedari kecil Sukanto sudah belajar menggunakan berbagai peralatan dapur seperti pisau. Semakin dewasa Sukanto semakin mahir pula memasak. 

Enggan Dibaptis

Perjalanan iman dan pelayanan Sukanto boleh dikatakan unik. Sedari kecil ia termasuk orang yang rajin ke gereja. Sukanto mengikuti Sekolah Minggu di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pengampon, Cirebon. Selain itu ia juga menjalani pendidikan dasar dan menengahnya di sekolah milik yayasan zending. Namun, ketika menginjak usia remaja, ia seperti enggan untuk dibaptis. Berkali-kali ayahnya membujuk Sukanto agar mau dibaptis, namun ia belum bersedia.

 “Saya merasa belum siap,”terangnya. Sukanto beranggapan kalau orang menerima baptisan dewasa, namun hidupnya belum berubah, tidak ada faedahnya sama sekali. Ia ingin ketika mengambil keputusan baptis, hati dan kehidupannya akan ia baktikan juga untuk Tuhan.

Sukanto mengakui keterlibatannya dalam berbagai kegiatan pelayanan dan sosial bermula dari kelahiran anaknya yang ketiga dan setelah ia dibaptis. Sejak saat itu Sukanto seperti memperoleh kehidupan baru. Tuhan seperti membukakan mata dan hatinya. Ternyata di sekitarnya banyak orang yang hidupnya begitu susah dan menderita. 

Sebelumnya ia tidak begitu menyadari hal tersebut. Sejak saat itulah Sukanto mulai dikenal sebagai sosok dermawan, dan memulai karya pelayanannya di berbagai tempat. Bukan hanya di gerejanya di Bandung, namun meluas hingga ke berbagai pelosok Nusantara, bahkan hingga ke pedalaman Papua. Kebiasaannya menolong sesama ini ternyata juga menurun kepada anak-anaknya. Sukanto mulai melibatkan keluarganya dan mengenalkan mereka dengan berbagai karya pelayanan sosial. 

Bagi Sukanto, pelayanan berarti memberi diri dengan ketulusan. Dalam pelayanan sosialnya ke berbagai tempat, Sukanto sering bertemu dengan banyak sahabat baru yang berasal dari berbagai denominasi gereja. Sukanto selalu menekankan, meskipun aliran gereja berbeda, seharusnya setiap pengikut Kristus  tetap bersatu dalam melayani Tuhan. Menurutnya perbedaan dogma, ajaran masing-masing aliran gereja semestinya berhenti di dalam gedung gereja masing-masing. Di luar ruang ibadah, setiap pengikut Kristus semestinya sadar bahwa mereka memiliki panggilan sama sebagai anak-anak Tuhan. Jangan perbedaan dogma dan aliran menjadi ganjalan untuk berinteraksi. 

Selain mengikuti berbagai kegiatan gereja dan sosial, Sukanto juga aktif dalam pelayanan Lembaga Alkitab Indonesia. Awalnya, Sukanto hanya sekadar datang ke kantor pusat LAI atau perwakilannya di daerah untuk membeli Alkitab yang akan dikirimkannya ke berbagai wilayah pedalaman. Hingga suatu saat, LAI menghubungi Sukanto dan mengajaknya bergabung dalam barisan mitra sukarelawan, yang disebut KKPD (Kelompok Kerja Penggalangan Dukungan). Maka, Sukanto pun kemudian mulai aktif dalam berbagai kegiatan KKPD Bandung maupun langsung bersama LAI pusat. Terakhir Sukanto menjadi Ketua Pengurus LAI periode 2013-2018 dan kini menjabat sebagai salah satu anggota Komisi Komunikasi dan Pengembangan Kemitraan LAI.  

Begitu mengetahui bahwa pelayanan LAI begitu luas, Sukanto menyadari bahwa LAI tidak mungkin bekerja sendirian. LAI butuh bantuan umat Tuhan untuk menopang pelayanannya. LAI memiliki tugas yang sangat penting dalam menerjemahkan dan menyebarkan firman Tuhan. 

Bagi Sukanto pribadi, firman Tuhan memiliki arti luar biasa. Firman Tuhan bukan hanya sumber bacaan, namun menjadi dasar setiap kali Sukanto melangkah dan bertindak. Melalui firman Tuhan, manusia dapat mengenal siapa Tuhan dan apa kehendak-Nya dalam hidup manusia. Sukanto berpendapat, kehendak Tuhan seharusnya menjadi dasar dalam setiap keputusan dan setiap pergumulan manusia, termasuk ketika mengambil keputusan tentang usaha dan masa depan.

Berpikir dan Berusaha

Meski boleh disebut sebagai pengusaha sukses, Pak Sukanto mengaku hidupnya tidak selalu berjalan mulus. Saat Indonesia mengalami krisis moneter di sekitar tahun 1998-2000-an, Sukanto juga mengalami masa-masa sulit dalam usaha. Pengalaman krisis yang demikian berat membuat Sukanto pelan-pelan melakukan introspeksi dan mulai berbenah. Sukanto menceritakan, pada saat berada di titik terbawah hidupnya, ia 20 % memikirkan mengapa peristiwa tersebut bisa terjadi, sementara 80% dari pikirannya diarahkan untuk mencari solusi dari permasalahan hidupnya. “Banyak orang yang pola berpikirnya terbalik, 80% memikirkan masalahnya, 20% mencari solusi. Akibatnya, mereka hanya berkutat pada masalahnya terus-menerus,” katanya. “Jangan pernah menghabiskan energi untuk menyesali hal yang telah terjadi,” tegasnya. 

Mengembangkan Kampung Daun

Beberapa tahun setelah krisis moneter, ia diajak seorang kawannya untuk mengembangkan Kampung Daun. Ia menyambutnya dengan baik. Sekarang Kampung Daun begitu ramai pengunjung yang ingin menikmati berbagai menu masakan, namun juga sekaligus menikmati suasana kesejukan alaminya. Ramainya pengunjung tidak datang dengan tiba-tiba. Menurut Sukanto, kunci utamanya Kampung Daun cepat berkembang karena ia berusaha fokus terhadap usaha kuliner tersebut. Sukanto menceritakan kalau ia terjun langsung dalam usaha tersebut, mulai dari menetapkan kualitas bahan baku, penataan ruangan, hingga urusan dapur. Semua bagian ia monitor langsung. 

Sukanto meyakini benar prinsip usaha restoran yang menganggap tamu adalah raja. Maka komunikasi dengan pelanggan sangat penting untuk membuat mereka senang dengan Kampung Daun dan akhirnya loyal. “Melalui komunikasi pelanggan menjadi tahu apa yang kita kerjakan, dan sebaliknya kita mengetahui apa yang pelanggan harapkan dari kita,” terang Sukanto. 

Meskipun berbagai media cetak, media elektronik hingga media sosial sering menceritakan kepuasan pelanggan saat berkunjung ke Kampung Daun, Sukanto menyatakan ada saja pengunjung yang tidak puas. Sukanto bertekad untuk melayani pengunjung yang tidak puas tersebut dengan baik, agar mengetahui apa penyebab ketidakpuasan mereka.  Bagi Sukanto, usaha apa pun yang dijalani, baik perdagangan, restoran dan sebagainya, memiliki dua kunci sukses, yaitu fokus dan tekun. 

Banyak orang mengatakan kalau Sukanto sangat dekat dengan para karyawannya. Sepertinya nilai-nilai Alkitab bukan lagi sekadar bacaan baginya, namun telah menyatu dalam laku hidup. Bagi Sukanto, karyawan adalah aset dan mitra usahanya, bukan sekadar orang upahan apalagi budak. Sukanto senantiasa mengajak karyawannya untuk bersama-sama mengembangkan Kampung Daun. “Kalau restoran sudah berkembang, mereka juga pasti akan menikmati hasilnya,” katanya. Rata-rata karyawannya merasa betah dan sudah bertahun-tahun berkarya bersamanya. Jarang ada karyawannya yang mengundurkan diri. 

Bersama dengan LAI, Sukanto bukan hanya bertemu dalam acara-acara seremonial atau penggalangan dana. Sukanto ikut serta terjun bersama tim menuju berbagai pelosok Nusantara untuk berbagi Kabar Baik. Dari berbagai perjalanan tersebut, Sukanto makin sadar, masih banyak orang yang membutuhkan Alkitab. Sukanto juga menyadari bahwa pelayanan ke pedalaman selalu mengandung risiko, medan yang ditempuh seringkali sulit untuk dilalui, kondisi kehidupan umat di pedalaman juga penuh kesederhanaan. Belum lagi faktor usia yang membuat Sukanto harus ekstra hati-hati. 

Keluarga sering mengingatkannya untuk berhati-hati, karena mereka peduli dengan kesehatan Sukanto. Terlebih seringnya Sukanto pergi ke berbagai wilayah pedalaman. Namun Sukanto mengatakan, kalau untuk pelayanan ia tidak mau dihambat. Namun, kalau acara bersenang-senang, Sukanto bersedia dilarang. Bagi Sukanto pelayanan adalah kesempatan ketika Tuhan memanggil, belum tentu kesempatan tersebut akan datang dua kali.

Ada satu pengalaman yang membekas di hati Sukanto, yaitu saat mengikuti ekspedisi Satu Dalam Kasih menuju Seko, di pedalaman Sulawesi. Beberapa hari sebelum keberangkatan, Sukanto divonis sakit  Jantung. Namun, hal tersebut tidak menghalangi niatnya untuk ikut menuju Seko. Bersama rombongan ia melintasi puluhan kilometer jalan terjal dan melewati barisan pegunungan. Motor yang dinaiki rombongan seringkali terjebak lumpur. 

Di puncak pegunungan yang tipis oksigen, Sukanto merasa detak jantungnya terdengar begitu kencang. Namun, atas penyertaan Tuhan, pembagian Alkitab berjalan lancar. Kebersamaan di antara rombongan pun semakin erat. Di pedalaman yang ada hanyalah rasa persaudaraan dan keinginan saling membantu. “Segala uang, bahkan kartu kredit tidak laku di pedalaman. Uang bukan segalanya,”katanya. 

Sebagai manusia, Sukanto juga pernah mengalami rasa jenuh. Namun, Sukanto menekankan agar kita jangan sampai berlarut-larut dalam rasa jenuh. “Kita harus belajar menata permasalahan dan menyegarkan kembali semangat pelayanan,” katanya. Biasanya Sukanto mengajak rekan sepelayanan untuk sharing dan berdiskusi. Ada tertulis dalam Alkitab, “Besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya”.  

Sahabat Orang Papua

Sukanto juga dikenal karena kecintaannya pada tanah Papua. Awalnya Sukanto berpikir, banyak penginjil atau misionaris yang demikian mencintai Papua, mengapa kita sebagai saudara sebangsa tidak tergerak untuk menolong mereka? Selain itu, Sukanto berpendapat banyak orang ingin melayani, namun hanya di sekitar wilayah perkotaan. Melayani di daerah pedalaman, seperti di Papua, jelas tidak mudah. Kita sering kali mengalami berbagai tantangan dan kendala, seperti: akomodasi yang susah atau medan pelayanan yang susah untuk ditempuh. Maka, Sukanto merasa harus mengambil bagian pelayanan di mana orang tidak mau menjalaninya. Kebetulan Tuhan memberikan banyak talenta dan kemudahan bagi Sukanto untuk menjadi saluran berkat bagi Papua. 

Dalam rangka pengembangan Papua, Sukanto memandang permasalahan utamanya adalah pendidikan. “Di Pulau Jawa, ada banyak SD Inpres. Di Papua tidak ada SD Inpres. Dari  segi siswanya sendiri, anak-anak Papua memiliki kesulitan jika harus pulang pergi setiap hari ke sekolah karena jarak rumah yang jauh dari sekolah dan medan yang harus ditempuh seringkali bergunung-gunung,” terangnya. 

“Alternatifnya mungkin kita harus membuat semacam asrama di dekat sekolah buat mereka tinggal. Mungkin tiap dua bulan mereka baru pulang ke rumah. Di asrama tersebut, selain melatih kemandirian, kita pun bisa mengajarkan nilai-nilai kedisiplinan untuk melengkapi pendidikan formal,”lanjutnya. 

Untuk memperlihatkan kecintaannya kepada Papua, Sukanto belakangan merintis dan mengembangkan restoran Papua “Danau Sentani” di Bandung. Sukanto ingin memperkenalkan Papua kepada banyak orang. Banyak media yang menceritakan Papua begitu menyeramkan, daerah yang sepertinya tidak bertuan, padahal tidak demikian. Sukanto ingin menunjukkan, Papua sesungguhnya penuh dengan keindahan dan keramahtamahan. Papua memiliki banyak potensi yang bisa digali. 

Banyak usaha telah dijalani oleh Sukanto. Berbagai pelayanan pun telah diikutinya. Banyak daerah sudah dijelajahi. Dari berbagai pengalaman tersebut, Sukanto memandang hal yang paling penting dalam hidup adalah jangan pernah memusingkan bagaimana kita lahir dan bagaimana kita meninggal. Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana kita menjalani hidup. Tentu saja harapan setiap pengikut Kristus adalah menjalani hidup sesuai kehendak Tuhan. Meskipun hidup menurut kehendak-Nya tidak mudah, Sukanto terus berjuang untuk menjalaninya. 

Di masa mendatang, Sukanto masih terus berharap untuk menjadi kepanjangan tangan Tuhan dalam membantu orang-orang yang membutuhkan, bukan hanya satu suku atau satu golongan saja, namun sebanyak mungkin orang. Karena bagi Sukanto, hidup sekarang adalah untuk Tuhan dan mati adalah keuntungan. 

 

Catatan:

Sukanto Aliwinoto adalah  pengusaha kuliner, pemilik restoran Kampung Daun dan restoran Danau Sentani di Bandung.