TABLET TANAH LIAT

TABLET TANAH LIAT

 

Di seluruh Asia Barat Kuno, sejak sekitar 3100 SM dan selanjutnya, tulisan merupakan tanda peradaban dan kemajuan. Pada milenium 2 SM ada beberapa percobaan yang menjurus kepada pengembangan abjad, dan dampaknya adalah meningkatnya jumlah orang yang melek huruf. Kendati baru sedikit dokumen yang ditemukan di daerah Mesir, Siria dan Mesopotamia, cukup masuk akal untuk menganggap bahwa dekatnya Palestina dengan pusat kebudayaan lain membuatnya dapat mengambil bagian dalam seni karya tulis sepanjang kurun waktu itu. Ada beberapa media yang digunakan untuk menulis, salah satunya adalah tablet tanah liat. “Batu bata” yang dipakai oleh Yehezkiel (Yeh. 4:1) mungkin terbuat dari tanah liat, sama dengan lempeng-lempeng yang digunakan untuk perencanaan dan penelitian di Babel, walaupun kata itu dapat dipakai untuk menyatakan sembarang ubin datar.

Dokumen-dokumen dari tanah liat, yang permukaannya bertuliskan huruf cuneiform (tanda berbentuk baji yang dicetak di tablet tanah liat), berbeda-beda ukurannya sesuai banyaknya tempat yang diperlukan untuk teksnya. Penulisan bergerak dari kiri ke kanan dan tertib segaris dan diteruskan ke bawah pada permukaan yang sama sampai tepi bagian bawah, kemudian dilanjutkan ke permukaan di belakangnya dari tepi bagian atas dan kiri.

Sistem penulisan awalnya terdiri dari gambar yang mampu mengomunikasikan pesan secara kuat. Seiring dengan ketepatan yang semakin dibutuhkan, gambar-gambar ini menjadi abstrak, hanya menjadi simbol daripada gambar. Pada 3100 SM, cuneiform ditemukan di Sumeria, menjadi tanda lebih abstrak dan bukan hanya menerangkan kata-kata, melainkan juga silabel sehingga tulisan benar-benar melambangkan bahasa. Orang Akad mengadopsi cuneiform ini dan menyebarkannya ke seluruh kerajaan, dan pada milenium ke-2 SM, bangsa Elam, Huria, dan Het menggunakannya.


Albert Tambunan, dari berbagai sumber