Dalam dunia biblika, istilah ʿAm ha’arets (עַם הָאָרֶץ) muncul berulang kali dan memuat nuansa yang kaya sekaligus kompleks. Secara harfiah berarti “umat atau penduduk negeri”, istilah ini ternyata tidak tunggal makna. Ia bisa bersifat netral, menunjuk sekadar “penduduk setempat”, tetapi dalam perkembangan sejarah pemakaiannya, istilah ini sering kali sarat stigma sosial maupun religius.
Asal-usul dan Fleksibilitas Makna
Am ha’arets adalah istilah Ibrani yang muncul terutama dalam Perjanjian Lama. Secara etimologis, ia berarti “umat dari negeri/tanah.” Namun, makna yang melekat padanya tidak statis. Dalam Kejadian 23:7, istilah ini dipakai untuk menyebut “penduduk negeri” Het yang berinteraksi dengan Abraham. Di sini, maknanya netral: menunjuk penduduk setempat tanpa konotasi moral atau religius. Namun, pada periode kemudian, terutama pasca-pembuangan, istilah ini sering dipakai dengan nada merendahkan, menunjuk kelompok yang dianggap awam, tidak taat hukum Taurat, bahkan “tidak berilmu.”
Dengan demikian, Am ha’arets adalah istilah yang sangat bergantung pada konteks: bisa berarti rakyat biasa, masyarakat mayoritas, bahkan seluruh bangsa-bangsa, tetapi juga bisa menjadi label stigma.
Dari Netral ke Politis: Dinamika dalam Sejarah
Dalam catatan sejarah Israel, penggunaan Am ha’arets ikut berubah seiring krisis sosial-politik. 2 Raja-Raja 11:13–20 menunjukkan istilah ini dipadankan dengan “rakyat negeri” yang terlibat dalam perubahan politik, yakni penyingkiran Atalya. Konotasinya di sini bukan hanya “penduduk,” tetapi massa rakyat yang diposisikan berseberangan dengan kalangan elit (imam, militer, penguasa). Dengan demikian, istilah ini sarat muatan politis.
Dalam teks-teks Ezra dan Nehemia, makna Am ha’arets semakin tajam sebagai istilah stigma. Penduduk lokal yang tidak ikut mengalami pembuangan Babilonia disebut sebagai Aam ha’arets—digambarkan sebagai penghalang pembangunan Bait Allah, bahkan sebagai bertanggung jawab atas pembuangan itu sendiri. Di sinilah terlihat transformasi: istilah yang semula netral bergeser menjadi alat retorika kelompok elit untuk menegaskan kemurnian identitas pasca-pembuangan.
Am Ha’arets sebagai Stigma Religius
Pasca-pembuangan, kelompok yang kembali dari Babilonia membentuk identitas “Israel yang baru dan sejati,” mengklaim diri sebagai umat yang dimurnikan melalui penderitaan pembuangan. Sebaliknya, penduduk lokal (Am ha’arets) dipandang rendah:
Mereka dianggap bercampur dengan bangsa asing.
Mereka dicurigai tidak setia pada hukum Taurat.
Mereka dilabeli sebagai penghalang agenda pembaruan iman.
Sejak saat itu, istilah Am ha’arets mengalami pergeseran menjadi sebutan yang bernuansa diskriminatif, “orang-orang biasa,” awam, atau bahkan “tidak beradab.” Dalam tradisi rabbinik kemudian, istilah ini kerap identik dengan orang-orang bodoh, tidak berilmu, dan kurang menjaga kesucian.
Kemurnian vs. Stigmatisasi
Fenomena ini menunjukkan ironi yang kuat. Di satu sisi, penekanan pada hukum Taurat, kemurnian, dan kesetiaan adalah bentuk tanggapan spiritual yang lahir dari trauma sejarah Israel: kehilangan Bait Allah, pembuangan, dan ancaman identitas. Namun di sisi lain, usaha menjaga kemurnian itu melahirkan garis pemisah yang tegas bahkan eksklusif terhadap sesama umat. Dengan kata lain, Am ha’arets menjadi simbol ambivalensi:
Kemurnian iman – upaya menjaga kesetiaan kepada Allah melalui hukum-Nya.
Stigma sosial – label yang menyingkirkan kelompok lain, yang dianggap tidak cukup “murni.”
Refleksi Teologis
Belajar dari istilah Am ha’arets, kita diingatkan akan bahaya ketika identitas iman dipelihara dengan cara menstigma sesama. Alkitab sendiri memperlihatkan bahwa makna istilah ini cair, tidak selalu negatif. Namun sejarah menunjukkan bagaimana sebuah istilah bisa diperalat untuk menegaskan superioritas kelompok tertentu.
Pada akhirnya, Am ha’arets mengingatkan bahwa kemurnian iman sejati bukanlah eksklusivitas yang memisahkan, melainkan kesetiaan yang diwujudkan dalam kasih yang merangkul.