Menanti dalam Karya

Berita | 22 Desember 2024

Menanti dalam Karya


LUKAS 3:7-18 

 

Mengapa Kita Sulit untuk Bertobat?

Pada masanya istilah “TOMAT” pernah populer di kalangan umat Kristiani. Kata tersebut merupakan akronim dari “TObat dan kuMAT”  yang dipopulerkan para pengkhotbah untuk menggarisbawahi kecenderungan kita yang seringkali tidak pernah jera untuk melakukan suatu kesalahan atau dosa yang sama. Bukankah hal tersebut yang seringkali terjadi dalam perjalanan iman kita sebagai orang percaya. Kita menyadari akan keberdosaan kita, tetapi di saat yang sama dengan mudahnya jatuh kedalam dosa yang telah disadari tersebut. 

Apa yang sesungguhnya terjadi? Jawaban paling mudah adalah dengan mengalihkannya kepada watak manusia yang memang penuh kedagingan dan rentan terhadap penggodaan. Namun jika kita boleh jujur salah satu faktor yang juga menentukan adalah ketidakseriusan kita dalam menyatakan pertobatan kepada Allah. Setiap minggunya dalam ibadah kita diajak untuk mengakui dan menyesali dosa tetapi begitu mulai minggu yang baru, maka mulai juga babak baru ketertundukan terhadap dosa. Jangan-jangan pertobatan tersebut hanya berhenti pada tataran konseptual saja dan belum diwujudnyatakan dalam bentuk-bentuk konkret. 

 

Pertobatan yang Konkret

Pertobatan pada hakikatnya merupakan suatu hal yang konkret. Bahkan Yohanes Pembaptis menegaskannya dengan menasehatkan agar orang hidup dalam buah-buah pertobatan. Kata buah tersebut digunakan untuk menegaskan dampak dari pertobatan kita yang seharusnya dirasakan oleh orang lain. Bagi Yohanes, sebagaimana yang tercatat dalam teks saat ini, pertobatan harus dimulai dari kesadaran akan kerapuhan kita dan peniadaan kesombongan diri. Maka dari itu setelah menyerukan pertobatan, ia menegur dengan keras para pendengarnya. Ketegasan Yohanes terpancar dari kata yang ia pilih yakni “keturunan ular beludak” untuk menyasar gejala kesombongan rohani yang merasuk pada orang-orang Yahudi saat itu. Mereka merasa diri sebagai bangsa terpilih dan keturunan Abraham sehingga mendapatkan keistimewaan dengan dibebaskan dari segala kewajiban-kewajiban religius termasuk pertobatan kepada Allah. Ia kemudian menegaskan bahwa tidak ada yang dikecualikan dari panggilan pertobatan seraya memperingatkan umat bahwa “…pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik akan ditebang dan dibuang ke dalam api”.

 

Respon yang baik muncul atas peringatan Yohanes, seseorang bertanya kepadanya apa yang harus mereka perbuat. Pada titik inilah Yohanes mencoba untuk mengkontekstualisasikan ajakan pertobatannya. Ia mengangkat beberapa situasi berdasarkan pertanyaan dari pendengarnya yakni pertobatan bagi khalayak ramai, para pemungut cukai, serta prajurit. Bagi khalayak ramai ia berkata untuk berbagi serta berbela rasa kepada mereka yang tengah kesulitan. Berbagilah mulai dari kebutuhan yang paling mendasar yakni baju dan makanan. Kepada pemungut cukai, ia menasehatkan untuk tidak menagih lebih banyak dari yang telah ditentukan. Para prajurit diingatkan untuk tidak merampas, memeras, dan cukupkanlah dengan gaji yang mereka terima. Hal-hal tersebut merujuk kepada dosa yang seringkali diperbuat pemungut cukai dan para prajurit masa itu. Pemungut cukai sering menagih melebihi yang dibebankan kepada mereka, sementara prajurit sering merampas dan memeras rakyat untuk memperkaya diri mereka.

 

Dua golongan masyarakat tersebut dalam kehidupan sosial orang-orang Yahudi adalah dua pihak yang diasingkan dan dipandang berdosa bahkan seolah-olah tidak terampuni. Yohanes pembaptis seolah-olah hendak membuat penegasan bahwa dosa mereka diampuni asalkan keduanya menunjukkan buah pertobatan yang nyata dalam hidup. Tindakan pertobatan ini penting untuk menyambut kedatangan Tuhan yang akan menguduskan kita seutuhnya dalam karya penebusan-Nya. 

 

Teguh dalam Pertobatan Kita

Pertanyaan dari pemungut cukai dan prajurit tersebut seolah-olah mewakili kita di masa kini yang menjalani ragam profesi, kegiatan, atau pekerjaan. Jika diletakkan dalam konteks saat ini mungkin pertanyaannya adalah bagaimanakah pertobatan itu bagi seorang pegawai negeri, karyawan swasta, polisi, akuntan, pendeta, dan sebagainya. Jawabannya terletak pada diri kita masing-masing yang memahami gumul juang, tantangan, serta pencobaan dari jalan hidup yang sedang kita tempuh. Seharusnya kesimpulan kita adalah tindakan-tindakan konkret yang mengejawantah dalam karya yang kita kerjakan sehari-hari.

 

Tindakan konkret yang coba kita rumuskan sebagai buah pertobatan tersebut pada masa kini mendapatkan tantangan gejolak zaman yang mengarahkan manusia pada adiksi terhadap dunia maya. Pada masa kita apa yang nyata dan maya sangatlah tipis batasnya. F. Budi Hardiman dalam bukunya Aku Klik Maka Aku Ada menyatakan bahwa manusia saat ini adalah homo digitalis yang merasa eksis atau mencapai eksistensinya saat ia terkoneksi dengan dunia maya. Aktualisasi diri diperoleh melalui jumlah like yang diterima, apresiasi postingan dalam kanal Instagram atau Tiktok, serta berapa banyak jumlah followers atau subscribers. Sebaliknya bagi homo digitalis, ia akan sangat merasa terganggu berdasarkan apa yang terjadi di kanal media sosialnya. Entah itu pada jumlah followers yang berkurang, komentar pedas para netizen, atau jumlah like yang sedikit.

 

Bayangkanlah betapa mudahnya kita terjerumus untuk menjadikan “buah pertobatan” kita sebagai upaya untuk mencapai aktualisasi diri di dunia maya. Menolong orang lain dan menampilkannya di feed instagram kita untuk mendapatkan likes dan komentar yang baik. Mencantumkan ayat-ayat Alkitab setiap hari dan menampilkan diri di gereja pada hari minggu supaya terlihat saleh bagi para pengikut kita di media sosial. Apakah dengan demikian hal tersebut tidak boleh kita tampilkan di media sosial kita? Tentu saja boleh, tetapi perlulah kita untuk senantiasa menguji diri apakah ada terbesit hasrat dalam segala tindakan tersebut menjadikan segala apa yang baik hanya sebagai sarana untuk mencapai aktualisasi diri kita.

 

Saat ini yang terpenting adalah senantiasa memurnikan hati kita. Kita diingatkan di adven keempat ini untuk menyambutnya dalam pertobatan yang sejati dan utuh serta terarah kepada Tuhan saja. Dengan setia dan konsisten menghasilkan buah pertobatan yang dirasakan oleh sesama meskipun tidak ada apresiasi dari apa yang kita lakukan tersebut. Pada akhirnya hidup kita adalah soal sembah dan bakti kepada Tuhan. Hanya dari Dia-lah kita berasal dan kepada-Nya saja segala puji-pujian dan hidup kita. 

 

Untuk Direnungkan:

Bagaimanakah kita dapat mewujudkan buah-buah pertobatan yang sejati? Adakah hambatan atau tantangan yang kita temui?

Logo LAILogo Mitra

Lembaga Alkitab Indonesia bertugas untuk menerjemahkan Alkitab dan bagian-bagiannya dari naskah asli ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kantor Pusat

Jl. Salemba Raya no.12 Jakarta, Indonesia 10430

Telp. (021) 314 28 90

Email: info@alkitab.or.id

Bank Account

Bank BCA Cabang Matraman Jakarta

No Rek 3423 0162 61

Bank Mandiri Cabang Gambir Jakarta

No Rek 1190 0800 0012 6

Bank BNI Cabang Kramat Raya

No Rek 001 053 405 4

Bank BRI Cabang Kramat Raya

No Rek 0335 0100 0281 304

Produk LAI

Tersedia juga di

Logo_ShopeeLogo_TokopediaLogo_LazadaLogo_blibli

Donasi bisa menggunakan

VisaMastercardJCBBCAMandiriBNIBRI

Sosial Media

InstagramFacebookTwitterTiktokYoutube

Download Aplikasi MEMRA

Butuh Bantuan? Chat ALIN


© 2023 Lembaga Alkitab Indonesia