KISAH PARA RASUL 2:1-21, YOHANES 14:8-17,25-27
Kemampuan berbahasa adalah penanda khas dari manusia sebagai ciptaan yang dianugerahkan akal budi oleh Tuhan. Lewat bahasa, peradaban manusia berkembang dengan sangat beragam. Itulah yang kemudian melahirkan beragam budaya yang berbeda-beda. Setiap bahasa “mendirikan” dunia tersendiri bagi masyarakat penuturnya. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai pedoman dalam pemahaman kenyataan sosial. Sayangnya di dalam kenyataan itu tercakup pula konflik serta penguasaan satu bangsa atas bangsa lainnya. Bahasa berkelindan dengan kekuasaan karena ia menjadi alat untuk membentuk dan mempertahankan kekuasaan. Melalui bahasa, individu dan kelompok dapat menegaskan dominasi, memengaruhi narasi, dan menciptakan struktur sosial tertentu.
Singkatnya, intensi kekuasaan (penguasa) terlihat dari rekayasa penggunaan bahasa yang dimasyarakatkan. Mari melihat sejenak pada dinamika politik ras yang terjadi di Amerika Serikat. Saat ini orang-orang Amerika berkulit hitam menegaskan identitasnya sebagai keturunan Afrika-Amerika (African-American) dengan semangat kesetaraan. Pernah ada satu masa orang-orang Amerika keturunan Eropa (secara sederhana diklasifikasikan dengan “kulit putih”) menegakkan dominasinya dengan menyebut orang-orang Afrika-Amerika dengan sebutan negro yang bermaksud untuk merendahkan. Dinamika kuasa serupa nampak pada negeri ini, pernah ada masanya pemerintah secara legal formal membedakan status warga sebagai pribumi dan non-pribumi. Sebuah warisan kolonial yang terus dilanggengkan untuk menegakkan dominasi dan menundukkan etnis-etnis tertentu. Masa reformasi telah menghapuskan ketentuan tersebut, tetapi sayangnya wacana ini terus muncul dan di politisasi saat dibutuhkan oleh para kontestan pesta demokrasi.
Dalam Alkitab, Allah menyentak kesombongan manusia pada peristiwa Babel dengan mengacaukan bahasa manusia, karena dalam kesaling-mengertian dan keseragaman itu mereka justru hendak menyaingi Allah dengan menara tinggi yang hendak dibangun. Kesombongan manusia mengakibatkan perpecahan, iri hati, rasa benci dan peperangan. Peristiwa Babel menampilkan bahasa sebagai medium perpecahan dan keangkuhan manusia. Namun, dalam peristiwa pentakosta orang-orang justru bisa kembali saling mengerti. Apa yang hendak Allah sampaikan dari hal tersebut?
Kisah Para rasul 2:1-21, setelah sepeninggal Yesus para murid berdiam di Yerusalem hingga hari Pentakosta tiba. Lalu turunlah Roh Kudus dalam rupa lidah-lidah seperti nyala api. Mereka dikuasai oleh Roh Kudus dan yang menjadi penanda dari peristiwa tersebut adalah saat mereka berkata-kata dalam bahasa lain (Bhs. Yunani: Xeno—ξένος yang berarti ‘asing’ dan Lalia—λαλιά yang berarti ‘lidah’ atau ‘bahasa’). Seketika itu juga terjadi perubahan drastis. Murid-murid yang sebelumnya mengunci pintu dan menutup jendela rapat-rapat karena takut, tiba-tiba berkata-kata dengan lancarnya perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan Allah dalam Kristus. Para murid berbicara bahasa asing yang dimengerti oleh orang-orang dari berbagai bangsa yang saat itu datang ke Yerusalem. Allah mengutus Roh-Nya untuk mempersatukan kembali yang terpecah belah dan membangun kembali yang telah runtuh dengan bahasa yang mempersatukan karena diperkatakan dalam kuat kuasa Roh-Nya. Bahasa tidak lagi menjadi medium dominasi dan penguasaan, tetapi sarana penyampai cinta kasih Allah yang tersedia bagi semua orang dengan berbagai budaya serta bahasa.
Kuasa Roh Kudus itu telah lama disampaikan oleh Yesus sendiri sebagaimana terlihat dalam Yohanes 14:8-17, 25-27. Ia menjanjikan Roh Kebenaran yang akan menyertai para murid dalam melanjutkan karya kesaksian Kristus dan mendampingi mereka melalui segala badai terjal yang mungkin akan terjadi dalam proses untuk bersaksi.
Mandat Kristus untuk bersaksi tersebut masih diteruskan kepada umat Tuhan di sepanjang zaman, termasuk kita saat ini. Medium kesaksian paling sederhana adalah melalui kata yang kita ucapkan atau rentetan kata, gambar yang merepresentasikan diri kita dalam media sosial yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia modern. Pentakosta adalah hari dimana Sang Roh Kudus turun dan mentransformasi bahasa manusia. Kecenderungan bahasa untuk memecah belah dan melahirkan dominasi serta penindasan, ditundukkan dalam kuasa-Nya sehingga dapat menjadi alat untuk berkisah tentang karya Agung Allah dalam Putra-Nya yang tunggal Yesus Kristus.
Dalam transformasi yang dihadirkan Allah melalui Roh Kudus, umat Tuhan dipersatukan. Ikatan antar tubuh Kristus jauh lebih kuat dari sekedar asal-usul yang sama. Penebusan-Nya melahirkan bahasa yang sama di tengah-tengah orang percaya yakni “bahasa kasih” yang terwujud dalam kata, pikiran, dan tindakan. Itulah medium kesaksian kita yang menjadi mandat-Nya saat Ia naik ke Surga dan menjanjikan Roh Penghibur.
Pertanyaan reflektif:
Bagaimana kita dapat mengupayakan untuk bersaksi dan menjadi berkat melalui kata-kata yang diucapkan?