MEMAKNAI KENAIKAN TUHAN | Hortensius F. Mandaru, SSL
Kenaikan Tuhan Yesus ke surga merupakan bagian dari narasi iman Kristen yang sering kali divisualisasikan secara dramatis. Gambar Yesus yang terangkat ke langit diiringi awan dan malaikat sering menjadi ikon utama dalam perayaan Hari Kenaikan. Teks-teks utama yang biasanya dijadikan dasar adalah Lukas 24:50–52 dan Kisah Para Rasul 1:9–11, yang menggambarkan peristiwa tersebut secara visual dan naratif. Namun, adakah makna yang lebih dalam dari sekadar fenomena “naik ke langit” secara fisikal?
Visualisasi Kenaikan dan Reduksi Pemahaman
Tradisi populer sering menggambarkan Yesus terangkat ke langit layaknya roket meluncur ke angkasa. Gambaran semacam ini memang memiliki kekuatan imajinatif, tetapi cenderung menyederhanakan pemahaman kenaikan menjadi sekadar peristiwa fisik. Hal ini tampak tidak hanya dalam pengajaran anak-anak, tetapi juga memengaruhi persepsi umat dewasa.
Narasi Lukas dan Kisah Para Rasul memang menampilkan peristiwa kenaikan dalam kerangka historis-naratif. Namun, yang menjadi pokok dalam Lukas bukan sekadar visualisasi kepergian Yesus, melainkan pewartaan tentang kehadiran-Nya yang terus berlanjut melalui berkat, Roh Kudus, dan kesaksian Gereja.
Kenaikan Yesus dalam Teks-Teks Awal Perjanjian Baru
Sebelum narasi Injil Lukas dan Kisah Para Rasul ditulis, surat-surat Paulus telah menyampaikan kesaksian iman akan Yesus yang dimuliakan. Dalam 1 Tesalonika 1:10 dan 4:16, Paulus berbicara tentang Yesus yang kini ada di surga dan akan datang kembali. Tidak ada penjelasan tentang bagaimana proses “kenaikan” itu terjadi, karena fokus Paulus adalah pada pemuliaan, bukan kronologi peristiwa.
Dalam Filipi 2:8–11, Yesus ditinggikan karena ketaatan-Nya sampai mati di salib, dan dalam 1 Timotius 3:16, Ia “diangkat dalam kemuliaan”. Semua ini menyiratkan pemuliaan sebagai aksi Allah terhadap Anak-Nya, bukan gerak spasial menuju langit. Dalam tradisi Yohanes, “peninggian” bahkan dimulai di kayu salib (Yohanes 3:14; 12:32–34), menjadikan salib sebagai awal pemuliaan.
Tradisi Perjanjian Lama dan Simbol Pemuliaan
Bahasa pemuliaan Yesus dalam Perjanjian Baru sangat erat dengan simbolisme Perjanjian Lama. Mazmur 110:1— “Duduklah di sebelah kanan-Ku”—sering dikutip sebagai dasar Kristologi kenaikan. Ini bukan sekadar soal tempat, melainkan otoritas dan pemerintahan Ilahi. Duduk di sebelah kanan Allah melambangkan partisipasi Yesus dalam pemerintahan dan penghakiman eskatologis.
Demikian pula narasi dalam Lukas dan Kisah Para Rasul menunjukkan kesinambungan dengan tradisi PL, seperti berkat Yakub menjelang wafat, atau berkat Imam Harun atas umat. Dalam Lukas 24, Yesus memberkati para murid sebelum naik, menandakan bahwa kepergian-Nya bukan akhir dari kehadiran, melainkan transisi menuju bentuk kehadiran yang baru dan lebih luas.
Narasi Lukas dan Dimensi Historis-Naratif
Lukas menempatkan kenaikan Yesus sebagai peristiwa yang teramati dan objektif. Dalam Lukas 24 dan Kisah Para Rasul 1, Yesus memberkati murid-murid, lalu “diangkat” dan “awan menutup-Nya” dari pandangan mereka. Verba yang digunakan berbentuk pasif: “diangkat” (ἐπαίρω—epairō) dan “dibawa ke atas” (ἀναλαμβάνω—analambanō), menandakan bahwa kenaikan adalah aksi Allah, bukan usaha Yesus sendiri.
Awan dan malaikat menambah lapisan apokaliptik pada narasi ini, serupa dengan gambaran Anak Manusia dalam Daniel 7. Dalam konteks budaya Yunani-Romawi, kisah ini juga menggemakan motif ἀποθέωσις (apotheosis)—pengangkatan manusia menjadi dewa—yang biasa dikenakan pada raja atau pahlawan. Namun, Lukas dengan tegas menegaskan bahwa ini adalah karya Allah yang memuliakan Putra-Nya, bukan kenaikan ilahiah oleh kekuatan diri sendiri.
Kenaikan sebagai Misteri Paskah: Dimensi Teologis
Peristiwa kenaikan tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan misteri Paskah. Dalam pemahaman teologis Gereja, kebangkitan, kenaikan, dan pencurahan Roh Kudus merupakan tiga aspek dari satu kesatuan karya keselamatan:
-
Kebangkitan – dimensi teologis: Allah menyatakan pembenaran-Nya atas Sang Anak yang setia, yang sebelumnya telah dipersalahkan (dihukum) oleh manusia.
-
Kenaikan – dimensi kristologis: Merupakan konsekuensi dari pembenaran—Sang Anak yang taat dimuliakan oleh Bapa di surga.
-
Pentakosta – dimensi eklesiologis: Buah dari kebangkitan Sang Anak bagi umat Allah, yakni pencurahan Roh Kudus kepada orang-orang percaya melalui Anak-Nya yang mulia di surga, sehingga Kerajaan Allah terus bertumbuh dan hadir dalam sejarah dunia dan manusia, hingga kedatangan-Nya kembali (dimensi eskatologis).
Kehadiran Yesus tidak lagi bersifat fisikal dalam ruang-waktu, tetapi bersifat transenden: melalui Roh Kudus, firman, dan sakramen (bdk. Lukas 24:30–31). Karena itu, pengalaman murid-murid terhadap Yesus yang bangkit tidak selalu dapat dikenali secara langsung—karena tubuh Yesus yang bangkit sudah memasuki dimensi kemuliaan, meski masih nyata dan dapat dialami.
Selanjutnya dapat diikuti melalui link:
Sudahkah kita membuka diri untuk karya Roh Kudus yang dijanjikan-Nya?