70 Tahun LAI dan Ke-Indonesiaan

70 Tahun LAI dan Ke-Indonesiaan

 

Oleh:  Sigit Triyono

 

Pada 9 Februari 2024 ini Lembaga Alkitab Indonesia genap berusia 70 tahun. Perjalanan yang layak dirayakan dan disyukuri karena berbagai masa yang tidak mudah. Semua berhasil dilewati berkat tuntunan dan anugerah-Nya. Menjelang perayaan ulang tahun LAI, setidaknya ada tiga hal yang dapat disyukuri dan menjadi refleksi bersama sebagai bekal melangkah ke depan. Masa depan yang kemungkinan masih banyak hal dan dinamika akan terjadi. 

Pertama, kehadiran LAI meneruskan karya pelayanan para pendahulu, yang telah dimulai oleh Albert Cornelisz Ruyl, seorang saudagar Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang menerjemahkan Injil Matius ke dalam bahasa Melayu yang terbit pada 1629. Sebagai karya seorang “amatir” tentu saja banyak kekeliruan di sana-sini. Meski demikian karya terjemahan ini diakui sebagai terjemahan bagian Alkitab pertama dalam bahasa non-Eropa. 

Setelah Ruyl, muncul berbagai karya terjemahan Alkitab lainnya, baik yang dikerjakan atas nama gereja, lembaga-lembaga misi maupun penugasan dari lembaga-lembaga Alkitab. Di antaranya pada 1668, terbit Perjanjian Baru karya Pdt. Daniel Brouwerius. Pada 1733 terbit Alkitab lengkap dalam bahasa Melayu terjemahan Pdt. Dr. Melchior Leijdecker atas permintaan Majelis Gereja Batavia dan disponsori VOC. Pada 1879 terbit Alkitab bahasa Melayu dalam huruf Latin terjemahan misionaris Gereja Menonit H.C. Klinkert yang diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Belanda (Nederlansch Bijbelgenootchap, NBG). Pada 1938 terbit Perjanjian Lama karya Bode yang bekerja atas penugasan Komisi Penerjemahan Lembaga Alkitab Belanda (NBG) untuk menghasilkan terjemahan Melayu Persatuan. Perjanjian Lama tidak pernah diselesaikan oleh Bode karena ia wafat ketika kapal dibom di perairan Nias. 

Kedua, pada hari Selasa, 9 Februari 1954 LAI secara resmi berdiri dengan penandatangan akte di hadapan notaris Eliza Pondaag. Namun, karya pelayanannya sendiri sudah diawali sejak tahun 1950, sebagaimana tercatat dalam laporan NBG. Berdirinya LAI tidak terlepas dari semangat kemandirian bangsa Indonesia pascakemerdekaan 17 Agustus 1945. Betapa tidak, para pendiri LAI adalah tokoh-tokoh gereja nasional yang kental dengan semangat oikumenis dan mendorong kemandirian sebuah lembaga penyedia Kitab Suci sebagai bagian dari negara yang baru berdiri. Berdasarkan catatan dalam akte pendiriannya, sejak awal para pendiri LAI sudah menetapkan karakter lembaga yang bersifat lintas-denominasi dan lintas-konfesi. 

LAI adalah mitra gereja-gereja yang bersama-sama diberi mandat oleh Allah untuk menghadirkan Alkitab dan bagian-bagiannya dalam berbagai bahasa dan media sampai ke berbagai pelosok negeri. Sebagai “badan logistik” gereja, LAI melayani gereja-gereja dan bermitra dengan berbagai lembaga pelayanan dan penerjemahan Alkitab baik dari dalam dan luar negeri untuk memenuhi kebutuhan yang amat mendasar akan firman Allah. Kita tentunya patut bersyukur, sebagian besar dari gereja-gereja Indonesia yang mewakili berbagai tradisi teologis dan eklesiologis mempercayakan tanggung jawab penerjemahan dan penerbitan Alkitab dan bagian-bagiannya kepada LAI.


Ketiga, perkembangan dan pertumbuhan LAI tidak bisa dilepaskan dari dukungan gereja dan mitra-mitra pelayanan LAI, baik dari dalam maupun luar negeri. LAI senantiasa melibatkan para mitranya dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, untuk mewujudkan misi menerjemahkan, menerbitkan, menyebarkan dan mengupayakan agar Alkitab menjadi pedoman hidup umat. 

Ketiga catatan reflektif di atas secara langsung berkaitan dengan layanan LAI yang selalu terkait dengan semangat kebangsaan dan kebersatuan Indonesia. Alkitab di Indonesia tidak hanya  menumbuhkan iman para pembacanya, tetapi dalam praktiknya juga terbukti secara simbolik mempersatukan gereja-gereja di Indonesia apapun denominasi dan konfesinya. Kebersatuan kita adalah juga gambaran riil penerapan sila ketiga dalam Pancasila: Persatuan Indonesia. (ST 14.1.2024)