Agustinus Adisutjipto: Bapak Penerbangan Indonesia

Agustinus Adisutjipto: Bapak Penerbangan Indonesia

 

”Nanti kalau aku kembali dari India, Todi dan kamu akan kujemput lagi,”katanya singkat sewaktu meninggalkan anak dan istrinya di Salatiga untuk kembali ke Yogyakarta. Sudah menjadi kebiasaannya setiap kali ke luar negeri, keluarganya selalu dititipkan dulu di Salatiga, di rumah orang tuanya. Dia tidak tahu, bahwa kali ini dia tidak punya kesempatan untuk memenuhi janjinya. Pesawat-pesawat pemburu Belanda bakal membatalkan maksudnya. Adisutjipto dan rombongan gugur, saat tempat tujuan, Pangkalan Udara Maguwo, sudah persis di depan mata. 

Sejak kecil Tjip memang berani ber-vivere pericoloso, menyerempet-nyerempet bahaya. Sebagai anak asrama Bruderan Ambarawa dia pernah menanttang seorang jagoan di sekolahnya. Lawannya jauh lebih besar, lebih kekar perawakannya dan kelasnya juga jauh lebih tinggi. Tetapi semua ini bukan soal bagi Tjip. Ia orangnya jujur, tak pernah mau main keroyokan. Maka pada suatu hari yang cerah, mereka berdua bersama-sama pergi ke desa lain untuk mencoba mengadu kekuatan, satu lawan satu. 

Semuanya dilakukan diam-diam, oleh karena kalau kepala sekolah mencium maksud mereka, kemungkinan bear, kedua-duanya bakal didepak keluar. Entah bagaimana kesudahannya, tetapi mereka kembali sebagai sahabat karib. Tak perlu diutarakan, sejak itu gengsinya di sekolah terangkat naik. 

Sekolah dasar ditempuh Tjip di Sekolah Bruderan Muntilan. Setelah lulus MULO di Ambarawa, dia mengutarakan isi hati pada ayahnya, ingin belajar terbang. 

“Terbang?”jawab ayahnya.”Jangan Tjip. Kamu masuk AMS dulu, kalau sudah lulus Bapak akan memikirkannya lagi.”

Ia pun masuk AMS B (Jurusan IPA-Red) di Semarang, tetapi justru pandai dalam mata pelajaran bahasa. Tiga tahun kemudian ia tetap pada pendiriannya. Namun waktu itu, orang bukan kulit putih dan bukan keturunan ningrat tidak mudah masuk sekolah penerbangan. Lagi pula ayahnya sebagai seorang penilik sekolah mengetahui suka duka penerbang. Ia lebih suka Tjip menjadi dokter. Sebagai kakak sulung dari empat adik laki-laki, sudah sepatutnya ia memberikan teladan yang baik. Saat itu memang sudah tidak ada pilihan lain. 

Ia kemudian mencatatkan dirinya untuk menjadi mahasiswa Geneeskudige Hoge School di Batavia (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta). Saat itu, asisten fisiologi di perguruan tinggi tersebut adalah Dr. Abdulrachman Saleh, yang nantinya ikut gugur bersama Tjip dalam pesawat yang sama. 

Tjip memang rajin mengikuti kuliah, namun hatinya tetap melayang-layang di angkasa. Ditambah lagi, dia gemar sekali bermain catur, kadang-kadang malah sampai beberapa malam berturut-turut. Setiap kali mengahadapi ujian, selalu ada mata pelajaran yang gagal. Kalau tidak di ilmu biologi, ada saja vak lain yang gagal. Akhirnya, dia tak tahan lagi menekan panggilan hatinya. 

Secara diam-diam Tjip mengikuti tes masuk Luchtvaart Opleidjugschool (sekolah penerbangan) di Kalijati. Ayahnya langsung dihadapkan pada kenyataan. “Aku lulus tes masuk sekolah penerbang dan sudah keluar dari fakultas kedokteran,”kata Tjip waktu pulang ke Salatiga. 

Selesai pendidikan dia mendapat pangkat Vaandrig II KV Vlieger (Letnan Muda Calon Penerbang Ikatan Pendek) dan mulai berkenalan dengan Suryadarma, salah seorang instrukturnya. Akibat dari diskriminasi ras, dari sepuluh murid bangsa Indonesia, ternyata hanya lima yang bisa lulus sampai tingkat KMB (Klein Militair Brevet atau Brevet Penerbang Tingkat Pertama). Selanjutnya, hanya dua orang berhasil mencapai tingkat terakhir, Sambodjo Hurip almarhum yang gugur dalam pertempuran melawan Jepang (seorang pemain tenis Indonesia terkenal di zaman sebelum perang) dan Adisutjipto. 

Ketika Perang Dunia II meletus, Tjip ditempatkan di Jawa pada Skuadron Pengintai. Ia terbang dengan pesawat KNIL di atas Tuban sewaktu tentara Jepang mendarat. Rekan-rekannya meloloskan diri ke Australia tetapi dia tidak mau. Selama pendudukan Jepang, dia justru tinggal di Salatiga bersama orang tuanya. Mula-mula tidak bekerja. Untunglah dia senang membaca, terutama filsafat, perang, catur dan kebetulan koleksi bukunya banyak. Jadi, dia tidak pernah merasa kesepian. Baru setahun sebelum perang berakhir, Tjip mulai bekerja pada suatu perusahaan bus Jepang di Salatiga, sebagai juru tulis. 

Suatu hari Tjip pulang ke rumah dengan membawa kabar gembira. Keluarganya sendiri tidak menduga. “Saya akan menikah,”katanya. Sang calon bernama Rahaju, putri Pak Soerojo yang juga berasal dari Salatiga dan malah masih ada hubungan keluarga. Perkawinan dilangsungkan tak lama kemudian. Kelahiran putranya hampir merupakan hadiah ulang tahun kepada Tjip. Putranya dilahirkan tanggal 3 Juli 1945 sewaktu Perang Dunia sedang hebat-hebatnya, sedangkan Tjip lahir pada tanggal 4 Juli 1916. Anak lelaki tersebut diberi nama F.X. Adisusanto dengan nama panggilan Todi. 

Tjip memang seorang pendiam, tetapi tegas, korek, bescheiden (tidak menonjolkan diri) dan selalu ramah. Mungkin karena itu dia sering menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Sewaktu Indonesia sedang menghimpun segala fund and forces untuk merebut kemerdekaan, datang seorang pemuda dari Yogyakarta, namanya Tarsono Rujito, utusan Suryadarma. Tjip diajak ikut membereskan soal-soal penerbangan di Yogyakarta. Tanpa ragu-ragu Tjip segera berangkat. 

Bersama teman-temannya eks Sekolah Penerbangan Kalijati dia mulai memperbaiki pesawat terbang rongsokan bekas milik Jepang. Spare parts (suku cadang-red) tidak ada, impor tidak mungkin karena blockade pihak Belanda. Jadi secara apa adanya saja. Belacu digunakan sebagai pengganti kain linen, larutan hidung sapi untuk pengganti aceton. 

Bagaimana pun juga, pada tanggal 10 Oktober 1945 Tjip berhasil menerbangkan salah satu pesawat dari landasan udara Cibeureum dekat Tasikmalaya, menuju Maguwo. Suatu prestasi besar pada masa itu. Apalagi selama Perang Dunia II dia tak pernah memegang kemudi pesawat terbang dan mesin-mesin Jepang baginya sangat asing. Sesudah itu, dia juga berhasil menerbangkan beberapa pesawat yang ditinggalkan Jepang di Maguwo. Pesawat-pesawat tersebut dari jenis Tjureng yang masih bersayap dua, buatan tahun 1933, dan kemudian disebut pesawat Merah Putih oleh karena diberi tanda milik Republik Indonesia. 

Warisan tersebut sungguh berharga sebagai pesawat latih di sekolah penerbangan yang dipimpin sendiri oleh Adisutjipto dan dibuka pada bulan Desember 1945. Tidak lama kemudian, sekolah tersebut sudah menghasilkan para penerbang angkatan pertama. 

Setiap orang yang ingin menjadi penerbang waktu itu harus berani menyerempet-nyerempet maut. Setiap kali terbang, jiwa mereka dipertaruhkan. Pesawatnya mungkin bisa naik, namun apakah kemudian bisa turun dengan selamat, selalu merupakan pertanyaan besar. Risikonya memang cukup serius. Beberapa penerbang kita jatuh, karena mesinnya rewel di tengah penerbangan. 

Pernah terjadi seorang penerbang Sekutu yang datang ke Solo untuk menjemput eks tawanan perang dan IPWI interniran dalam rangka APWI ingin mencoba pesawat. “Tentu saja, silakan,”kata pejabat yang berwenang. 

Ia langsung naik. Sewaktu turun, di bawah sudah menunggu beberapa wartawan. Muka si penerbang tersebut pucat pasi. “It needs a lot of courage to fly such a machine.” Ucapan tersebut tidak perlu lagi diberi komentar. 

Beberapa kali Tjip pernah mengalami keadaan gawat. Sekali terjadi pada suatu cross contry flight ke Sumatra pulang-pergi. Dalam pesawat tersebut ikut juga Suryadarma. Mereka sedang dalam penerbangan antara Serang (Gorda)-Tasikmalaya, ketiga tiba-tiba di atas pegunungan daerah Banten Selatan mesin pesawat mulai batuk-batuk. Mereka mencoba kembali ke Gorda. Suara pesawat semakin tidak karuan. Suryadarma melihat ke bawah, mencari tempat untuk pendaratan darurat. Tjip dinasihati apakah tidak lebih baik mereka mendarat dulu, sebelum pesawat macet atau meledak. 

Sepertinya pesawat tidak akan dapat bertahan, makin lama makin mendekati tanah, Tetapi Tjip tetap tenang. Ia terbang terus sampai persis pinggiran lapangan Gorda. Pesawatnya akhirnya bisa selamat. Biar pun sudah rongsokan, namun untuk perjuangan menegakkan kemerdekaan pesawat tersebut tidak ternilai harganya. 

Tetapi nasib Tjip tidak selamanya mujur. Pernah dia ikut dengan suatu formasi, terdiri atas enam buah pesawat Tjureng menuju Banten dan Sumatra Selatan. Perjalanan pulang dilakukan melalui bagian selatan Jawa Barat. Pesawat yang dikemudikannya rewel. Ia terpaksa melakukan pendaratan darurat. Waktu itu senja hari. Pesawatnya menerjang sebuah pohon kelapa yang melintang, sehingga pesawat pun terjungkir. Tali-tali pengikat penumpang putus, rekannya Tarsono Rujito menjadi korban. 

Risiko para penerbang RI waktu itu besar bukan saja karena peralatannya payah. Musuh mengintai di mana-mana. Persenjataan AURI pada saat itu sangat terbatas, sedangkan pihak Belanda punya radar dan beberapa pesawat pemburu. Ada ungkapan klasik, siapa yang tidak kuat harus cerdik. Maka AURI menggunakan trik tertentu untuk mengelabui musuh. 

Semua penerbangan dilakukan pada malam hari atau menjelang pagi, tanpa pernah mengadakan komunikasi radio. Kapan pesawat akan mendarat atau berangkat, sangat dirahasiakan. Para penumpang pun baru diberitahu sekitar sejam sebelumnya lewat kurir. Agar bisa mengetahui mulai kapan harus siap. Penumpang yang kebetulan tidak ada di tempat, akan langsung ditinggalkan. Kelalaian kecil sudah dapat membawa maut. Kapal terbang yang dikemudikan Freeberg antara lain hilang oleh karena operator radionya memberi isyarat (radio) yang ditangkap musuh. 

Pendaratan juga selalu dilakukan di waktu malam, padahal kondisi lapangan udara gelap gulita. Yang mengetahui jam tibanya pesawat hanya Suryadarma, sebagai pimpinan tertinggi angkatan udara. Kalau suara pesawat sudah kedengaran, dia segera keluar mengambil jip, bergegas menjemput ke ujung landasan. Orang lain ditugaskan naik kendaraan lain, untuk menjaga awal landasan pacu. 

Sorot lampu kedua kendaraan tersebut merupakan satu-satunya petunjuk bagi si penerbang. Kadang-kadang malah hanya Suryadarma sendiri yang menunggu di ujung landasan. Maklum, pada saat kendaraan bermotor dalam kondisi running memang jarang. Pendaratan pun dilakukan langsung, tidak boleh terbang berputar-putar, untuk menghemat bahan bakar. 

Satu-satunya hubungan radio dengan luar negeri dilakukan oleh AURI. Kecuali untuk tugas komunikasi, mereka juga harus mengadakan diplomasi dengan luar negeri dan ini baru dapat dilakukan kalau berani mendobrak blokade Belanda. Dalam rangka ini Tjip pernah pergi ke India dan Filipina, khusus mencari tenaga instruktur untuk sekolah penerbangannya dan merekrut para penerbang asing. 

Tjip juga terbang ke India untuk bertemu dengan Jawaharlal Nehru dan Mohammed Ali Jinah. Kedua pemimpin yang nantinya berseteru tersebut kemudian menghubungkannya dengan seorang konglomerat setempat, namanya Patnaik. Pengusaha populer dengan nama Dakota. Menjadi kurir, sangat sulit dan berbahaya. Dalam melaksanakan tugas tersebut, hubungannya dengan Presiden Sukarno, tentu saja sangat erat. 

Tjip pernah menerbangkan Bung Sjahrir ke Jakarta untuk melakukan perundingan, kemudian ke India membawa Haji Agus Salim dan sejumlah tokoh lain. Tetapi sejak 9 April 1946, Tjip diangkat sebagai Wakil Kepala Staf II Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara dengan pangkat Komodor Udara (Kolonel). Kepala stafnya Suryadarma. Selain jabatan tersebut, Tjip juga mendapat tugas khusus mendidik para calon penerbang. 

Menjelang akhir Juli 1947, untuk kesekian kalinya ia berhasil menembus blokade tentara Belanda. Kali ini bersama Dr. Abdulrahman Saleh. Tujuannya India. Menurut rencana, Tjip dan anak buahnya tidak ikut pulang karena maih harus tinggal di Australia untuk melaksanakan sebuah misi khusus. Tetapi pada 28 Juli telah diumumkan lewat pers dan radio Malaya bahwa keesokan harinya sebuah pesawat VT-CL air dengan membawa bantuan obat-obatan akan mendarat di Yogyakarta. Dalam berita tersebut juga disebutkan, sudah ada persetujuan antara pemerintah Belanda dan Inggris untuk mengamankan misi penerbangan kemanusiaan tersebut. 

Suryadarma mendengar kabar tersebut dari seorang dokter PMI. Kata dokter tersebut, akan datang pada hari itu jam sekian pesawat terbang dari Singapura membawa obat-obatan. Ia kaget. Bagaimana mungkin? Ia tidak pernah merasa diberitahu sama sekali. “Asal Belanda tidak menggunakan kesempatan ini,”pikirnya. Ternyata firasatnya benar. Dokter PMI tadi juga tidak tahu, siapa saja yang akan ikut pesawat tersebut. 

Pada kira-kira jam yang sudah ditentukan, Suryadarma berangkat dengan mobil menuju Maguwo, sekitar 10 km timur Yogyakarta. Ia belum lagi masuk landasan sewaktu sekonyong-konyong melihat sebuah pesawat terbang mendekat. “Pilotnya pasti bukan Mas Tjip,”pikirnya dengan hati lega. “Andaikan dia, pasti terus turun.”

Tiba-tiba dari arah utara muncul dua pesawat pemburu Mustang milik Belanda. Pesawat Dakota tak bersenjata tersebut langsung diserang, tertembak dan segera kehilangan ketinggian. Pilot Dakota tampaknya harus segera membuat pendaratan darurat. Suryadarma segera memacu kendaraannya ke selatan, di mana kira-kira pesawat itu akan mendarat. Ternyata, pesawat nahas itu terbentur pohon, patah menjadi dua dan langsung terbakar. Seluruh tubuh pesawat kocar-kacir, kecuali bagian ekor yang masih agak utuh karena tersangga pematang tepi sawah. 

Tjip ternyata ikut di dalam pesawat tersebut. Semua awak dan penumpang tewas. Satu-satunya yang selamat Abdulgani, seorang penumpang, anggotan Barisan Tani dari daerah Comal. Penerbang pesawat seorang Inggris, juru radionya dari Indonesia, juru tekniknya orang India. Penumang yang tewas istri pilot, Tjip, Dr. Abdulrachman Saleh dan Zainal Arifin, wakil perdagangan RI. Pesawat tersebut milik Patnaik, pengusaha besar di India. 

Tanggapan masyarakat Yogyakarta lain sama sekali. Menjelang sore hari itu Yogyakarta dinyatakan dalam keadaan bahaya udara. Bunyi sirene meraung-raung waktu sebuah pesawat berputar-putar di udara. Karena pesawat tersebut tidak segera turun tetapi naik kembali, masyarakat malah mengira pasti pesawat musuh yang ingin membuat gara-gara. 

Sewaktu mereka melihat dua pesawat lain menyergap pesawat yang mencurigakan tersebut, penduduk bersorak-sorai. Mereka mengira kedua pesawat itu adalah pesawat AURI yang mengejar pesawat musuh. Alangkah kagetnya mereka melihat pesawat terbakar di tengah sawah. 

Suasana duka rakyat Indonesia pada umumnya dan AURI khususnya sukar dibayangkan. Mereka telah kehilangan pahlawan, putra-putra terbaik bangsa, tulang punggung angkatan udara. Semuanya, disebabkan serangan udara terhadap pesawat sipil atas perintah langsung Jenderal Spoor, panglima tentara Belanda. 

Sebaliknya, Tjip terlalu percaya kepada janji-janji yang sudah diberikan Belanda. Tujuan utama Belanda dengan perbuatan biadab tersebut adalah membuat takut pilot-pilot asing, agar tidak mencoba untuk membantu perjuangan Indonesia. Selain itu, serangan ini juga dimaksudkan untuk membunuh penerbang pesawat pengangkut satu-satunya di Indonesia, agar jangan lagi bisa melakukan pendobrakan udara serta melaksanakan misi-misi istimewa lainnya. 

Tetapi Belanda lupa akan bunyi pepatah, “Satu jatuh sepuluh tumbuh”. Kota Yogyakarta langsung berkabung. Peti jenasah diletakkan di Hotel Tugu dengan berjajar. Pada hari pemakaman, jalanan di depan hotel dan sepanjang Jalan Malioboro penuh sesak manusia. Upacara dilakukan menurut empat agama. Tjip penganut Roma Katolik yang taat. Beberapa korban yang lain beragama Islam. Pilot Inggris dan istrinya anggota Gereja Anglikan, sedangkan jenasah juru teknik berkebangsaan India beragama Hindu dan akan dikremasi. 

Nyonya Adisutjipto dan keluarga mendengar kabar duka tersebut melalui radio. Saat itu mereka masih di Salatiga. Oleh karena Agresi Militer Belanda pertama, hubungan Salatiga dan Yogyakarta terputus. Dalam berita radio tersebut dikatakan, mereka akan dijemput di Ngeblak. Tetapi, bagaimana mereka mencapai desa itu?

Dari pihak keluarga Tjip, hanya adik laki-laki bungsunya, kebetulan siswa Sekolah Penerbangan dan tinggal di Yogyakarta, yang bisa mengantarkan kakaknya ke tempat peristirahatan terakhir di pemakaman Kuncen, Yogyakarta. 

Di tempat nahas, Desa Ngoto, arah tenggara Yogyakarta, sekarang ini telah didirikan sebuah tugu peringatan. Tanggal 29 April untuk selanjutnya dianggap sebagai Hari Berkabung AURI. Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, secara anumerta pangkat Tjip dinaikkan menjadi Laksamana Muda Udara. Tanggal 6 Februari 1961, Nyonya Adisutjipto menerima anugerah Bintang Mahaputra bagi suaminya, dari Presiden Soekarno. 

Puluhan tahun telah berlalu sejak peristiwa keji tersebut terjadi. Tidak ada alasan bagi AURI untuk melupakan jasa salah satu pendirinya. Setelah gugurnya Agustinus Adisutjipto, Bu Tjip tetap tinggal di Yogyakarta bersama orang tuanya. Tetapi pada 9 April 1961, pada Hari Angkatan Udara, AURI mengajak Bu Tjip menetap di Yogya. AURI telah mempersembahkan sebuah rumah sebagai tanda penghargaan kepada Bapak Penerbang mereka. Pada Hari Ulang Tahun ke-7 Republik Indonesia pada 17 Agustus 1952, nama Pangkalan Udara Maguwo diubah menjadi Pangkalan Udara Agustinus Adisutipto, mengabadikan perjuangan Pak Tjip dalam menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. 

 

Dikutip dari: 

Sketsa Tokoh, Catatan Jakob Oetama di Intisari.