"Berselancar di Atas Buih"

Oleh Sigit Triyono

"Bagaimana dengan berbagai tawaran yang bisa menjebak kader muda kita menjadi pragmatis dan kompromis?" tanya seorang sahabat dalam obrolan informal refleksi akhir tahun 2022. Saat yang tepat untuk mendiskusikan kesiapan kader muda dalam menapaki masa depan.

Pertanyaan di atas bagi saya menjadi tuntunan untuk melihat ulang perjalanan sepanjang tahun 2022 dan menyongsong tahun baru 2023 dengan fokus kaderisasi. 

Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita menelisik tiga hal penting: "berbagai tawaran", "pragmatis", dan "kompromis".

Pernyataan "berbagai tawaran" mengandung konotasi dan mengarah kepada tawaran akan fasilitas, kemudahan, kedudukan, kekuasaan, serta uang atau materi lainnya dengan jalan pintas. 

Sebelum lebih jauh menjawab pertanyaan di atas, saya teringat akan nasihat pahlawan nasional kita, Dr. TB Simatupang yang masih sangat relevan untuk menghadapi berbagai fenomena kekinian, yaitu perlunya: berpikir positif, kritis, kreatif, dan realistis.

Nasihat ini akan saya pergunakan dalam menjawab pertanyaan di atas dengan tambahan satu poin: "taat kepada panggilan".

Pertama, kita perlu berpikir positif terlebih dahulu. Sejauh berbagai tawaran di atas bukan dalam rangka gratifikasi atau "membeli" harkat dan martabat pribadi kader muda, atau "membeli" pengaruh dirinya di dalam organisasi dimana dia aktif, maka tawaran tersebut layak dipertimbangkan.

"Berbagai tawaran" di atas tentu bukan hanya datang dari seseorang, satu pihak atau tokoh yang memiliki "banyak kelebihan", tetapi bisa juga datang dari berbagai pihak yang memang jasanya menyediakan banyak kemudahan, dan berbagai fasilitas lain. Bukankah era sekarang adalah era serba "gratis"? Terutama yang berkaitan dengan jasa teknologi digital, yang dikenal dengan fenomena "bakar uang".

Kedua, kita memang harus kritis.  Bukan saja kader muda yang menghadapi berbagai tawaran yang bisa berakibat kepada posisi dilema, tetapi para seniornya pun mengalami hal serupa. Intinya, memang tidak mudah menghadapi tawaran-tawaran menarik, dan fenomena "banjir informasi" serta banyak sekali tawaran kemudahan dengan jalan pintas.

Kita juga perlu kritis dengan selalu bertanya, apakah benar ada pihak yang memberikan penawaran tanpa pamrih apapun? Disinilah pentingnya berpikir analitis ( analytical thinking ). 

Dengan tetap positif, dan dalam kehati-hatian, kita bisa mengacu kepada banyak pengalaman di masa lalu. Tidak ada makan siang gratis. Kita perlu sungguh-sungguh mengenali siapa yang membawa "berbagai tawaran" tersebut.

Ketiga, kita harus kreatif. Dengan daya imajinasi dan semangat mencari berbagai terobosan, kita bisa mencari celah dimana kita tidak harus serta merta menolak "berbagai tawaran". Setidaknya bisa diendapkan terlebih dahulu, direnungkan, dicari dimana titik temu, tanpa harus didikte oleh pihak yang membawa "berbagai tawaran" tersebut.

Disini kita memerlukan banyak masukan dari berbagai pihak dan juga banyak referensi agar kita bisa menemukan "ide-ide cemerlang". Kita perlu terbuka untuk berdiskusi demi pengayaan berbagai sudut pandang.

Keempat, untuk mengarahkan kepada keputusan konkret maka kita harus realistis. Dengan dasar positif, kritis, dan kreatif, maka berpikir dan bersikap realistis bukan mengarah kepada jalan pintas atau memilih cara termudah. Realistis yang dimaksud adalah menetapkan pilihan terbaik dari antara pilihan-pilihan yang tidak mudah. 

Risiko terukur harus diperhitungkan agar bisa didapatkan manfaat sebanyak-banyaknya bagi banyak pihak, tanpa mengorbankan nilai-nilai luhur yang mendasari keputusan tersebut.

Kelima, kita harus kembali kepada "taat kepada panggilan". Seberat apapun, sesulit apapun, dan serumit apapun, kita harus berani hadapi sebagai konsekuensi dari "taat kepada panggilan". Bukankah kita meyakini Tuhan yang memanggil kita, Dia juga yang akan terus menyertai dan menguatkan dalam perjalanan ke masa depan?

Kekuatan spiritual menjadi kekuatan paripurna dalam menghadapi berbagai dilema. Disinilah relevansinya memiliki iman "sebiji sesawi" dan menjadi "carang di pokok anggur".  Dengan demikian kekuatan ilahi akan selalu nyata di dalam diri kita dan dalam keadaan apapun.

Lalu bagaimana dengan kata "pragmatis" dan "kompromis"? Tentu konotasi dua kata ini dalam konteks pertanyaan di awal tulisan ini cenderung ke arah negatif. Dengan kata lain dua kata ini condong bermakna: "serba ikut", "seba manut", dan "tanpa ribut-ribut" serta "tak perlu mikir berkerut".

Tentu bila dijalankan secara sungguh-sungguh kelima poin di atas, yaitu: berpikir positif, kritis, kreatif, realistis, dan taat pada panggilan, maka para kader muda dalam menghadapi "berbagai tawaran" di sepanjang hidupnya, tidak akan terjebak pada jalan pintas pragmatis, dan kompromis.

Masa depan adalah misteri. Dibutuhkan kader muda yang antuasias dan lincah untuk menguak misteri tersebut. Kelima poin di atas memperlengkapi kader muda agar tidak terjebak kepada jalan pintas pragmatis dan kompromis yang menjerumuskan mereka ke dalam "berselancar di atas buih" yang sangat ringkih dan high risk. Sekali habis buihnya, bisa ambyar masa depannya.

"Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah"  1 Yohanes 4:1.

Selamat memasuki tahun baru 2023 dengan penuh optimis dan pengharapan positif. Tuhan sudah ada di depan kita, memberikan tuntunan untuk mempersiapkan para kader muda yang tangguh dan penuh integritas. (31.12.2022).