Corona, Homo Deus, dan Homo Cordium

Corona, Homo Deus, dan Homo Cordium

 

Pandemi virus Corona menghasilkan rasa takut di hati dan pikiran banyak orang. Ketakutan itu perlu kita akui. Namun, apa persisnya yang kita takutkan? Jika kita meraba lebih dalam, akibat paling buruk dari Corona itulah yang kita takuti: kematian.

Manusia memang pasti akan mati, karena memang itulah takdir kita. Perjalanan kita di dunia ini adalah perjalanan menyongsong kematian. Di mana ada kelahiran, di situ pasti ada kematian. Kita sudah mengetahui hal ini. Dari mimbar-mimbar agama, berita tersebut sudah jamak disampaikan. Bahkan, agama-agama menawarkan kepada kita hidup baru pasca kematian. Namun, harapan iman itu juga tidak menyurutkan kegentaran dan kesedihan kita akan kematian. Kita enggan meninggalkan dunia ini, sebab dunia ini memang adalah juga pentas kemuliaan Allah. 

Kita terlahir di sini, menjalankan peran-peran yang didesain untuk kita dari sang Pemilik hidup. Kita pun ikut mencipta sejarah dalam panggung teater Allah. Sejarah itu membangun ingatan dan terus dirawat lewat memori. Bahkan, kita pun berhasrat mengabadikan memori dan sejarah kita sebagai manusia. Karena itu, Yuval Noah Harari memunculkan ide mengensi Homo Deus. Manusia Tuhan ini akan hidup lama. Kematiannya ditunda lewat berbagai upaya rekayasa teknologi. Kita ingin hidup sehat, dan seperti yang diserukan Chairil Anwar: "Aku ingin hidup seribu tahun lagi."

Namun, virus Covid 19 tiba-tiba menyentak kita dengan harapan-harapan itu. Siapa pun dia, dari artis sampai pejabat tinggi, rakyat jelata atau pun orang istana, tidak ada yang imun; semua bisa terjangkit, menjangkiti, dan mati akibat Korono. Apalagi, persebaran virus Korono terjadi dengan begitu cepat, dan membuat dunia patut cemas. Dalam kecemasan itu, kita semakin insaf bahwa kita masih manusia. Kita rentan sakit. Bahkan, kapan saja kematian bisa menjemput kita.

Akan tetapi, kita tentu tidak ingin mati konyol. Kita tidak mau kematian menjemput kita dengan begitu mudah karena keteledoran dan ketidakwaspadaan kita. Keteledoran kita, dalam situasi pandemik ini, tidak hanya bisa mematikan kita, tetapi juga akan berdampak buruk terhadap orang lain, khususnya orang-orang yang berada di dekat kita, seperti keluarga kita sendiri, atau rekan-rekan yang sekantor dengan kita. Karena itu, kita mesti hidup dengan tanggung-jawab dan kasih yang besar. Kita harus membangun hati yang lapang dengan hikmat yang dari Dia, Sang Pencipta dan Pemilik Hidup, terlebih dalam situasi pandemik semacam ini.

Homo Cordium

Prof. Armein Langi, mantan Rektor UK. Maranatha, mengembangkan refleksi dan pemikiran yang patut direnungkan dalam situasi ini. Manusia, menurutnya, bukan hanya Homo Sapiens dan Homo Deus, merujuk pada Harari, tetapi adalah juga Homo Cordium. Manusia memang butuh rasio dan kecerdasan untuk berevolusi. Manusia memang perlu mengembangkan pengetahuan dan teknologi agar ia dapat hidup baik dan sejahtera, bahkan berumur panjang. Namun, manusia juga butuh firman Tuhan. Ia memerlukan kasih dan hikmat Allah untuk bisa learning to live together dalam desain Allah, Sang Pencipta, yang menciptakan segala sesuatu baik adanya. Kesadaran ini yang perlu dikembangkan, sehingga manusia hidup dengan values, bahkan bisa menciptakan nilai, sesuatu yang berharga bagi dunia.

Jika kita percaya bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah baik adanya, maka virus, bakteri, juga baik adanya. Mereka ini menjadi buruk, dan bersifat pandemik seperti Covid 19, karena ada sesuatu yang kurang pas atau salah dalam tata kelola alam semesta yang dilakukan oleh manusia sendiri. 

Perlu untuk kita akui, bahwa manusia seringkali menjadi penindas bagi sesamanya, baik terhadap sesama manusia maupun alam semesta. Karena itu, kita sering menuai akibat buruk. Bukan karena Tuhan marah atau alam dan virus-virus murka, tetapi karena kita manusia yang serakah, dan karena itu kita berbuat salah dalam tata karya sosial dan tata kelola alam semesta. 

Kita bisa membayangkan, seandainya kekeliruan dan kesalahan itu dilakukan oleh pejabat publik melalui kebijakan politik yang keliru; atau melalui perselingkuhan penguasa dan pengusaha yang memperkosa perut bumi dan hutan-hutan demi kejayaan ekonomi. Untuk apa kita kaya raya tetapi kita kehilangan nyawa, tanya seorang Guru Besar terhadap orang kaya yang bodoh. Yang dibutuhkan adalah tanggung-jawab, kasih, dan keadilan untuk semua, termasuk untuk alam semesta.

Momentum Kritis-Reflektif

Situasi yang penuh kecemasan akibat pandemi Covid 19 ini membuat kita patut bertanya, "Siapakah manusia itu?" Siapakah manusia itu dihadapan Pencipta, alam semesta, dan sesamanya manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini patut direnungkan oleh kita semua, terlebih oleh orang-orang yang dikaruniakan kuasa untuk melayani publik. Dalam pengertian mengenai manusia dan relasi-relasi sosial-ekologis itulah kelangsungan dan masa depan kehidupan kita dan dunia ini dipertaruhkan. Karena itu, kita memang harus hidup dengan arete atau kebijaksanaan layaknya seorang Homo Cordium.

Kita mesti belajar untuk hidup bersama. Hidup bersama bukan sekadar ada sama-sama dalam ruangan publik tertentu. Namun, hidup bersesama, hidup bersaudara. Corona tidak pandang bulu; ia tidak membedakan orang menurut etnis atau agama. Karena itu, kita diingatkan untuk kembali hidup bersaudara secara bertanggungjawab satu terhadap yang lain, termasuk dalam mencegah perluasan virus corona. Inilah momentum kita berefleksi dan melakukan karya bersama. Bukan pertama-tama karena kita takut mati, tetapi karena kita ingin membangun hidup yang lebih bermakna, bernilai, dan berguna untuk semua.

Oleh: Pdt. Hariman A. Pattianakotta