DWI PRASETYO MINARTO: Masuk Pertamina Karena Bisikan Tuhan

DWI PRASETYO MINARTO: Masuk Pertamina Karena Bisikan Tuhan

 

Kerja keras tidak cukup. Kerja keras harus didukung dengan ketekunan berdoa. Ora et labora. Kalimat ini terasa pas untuk menggambarkan jalan hidup Dwi Prasetyo Minarto, Senior Manager IT Busines Solution di Pertamina Hulu Energi. Dwi percaya hasil akhir dari setiap usaha dan kerja keras ada di tangan Allah, Sang Pemilik Kehidupan. Di luar kesibukannya di Pertamina, Dwi adalah seorang Sahabat Alkitab, pendukung pelayanan LAI yang setia. 

Sedari kecil ibunya mengajarkan Dwi dan saudarinya untuk bertekun dalam doa dan pembacaan Kitab Suci. Kedua orang tua Dwi  warga Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Malang. Mereka tergolong orang yang taat beribadah dan aktif dalam berbagai kegiatan gereja. “Membiasakan diri berdoa dan membaca Firman setiap hari sudah saya jadikan gaya hidup sejak kelas 1 dan 2 SMP. Saya merasa ada yang kurang jika tidak bersaat teduh,”tuturnya. 

Ketika dirinya menginjak kelas 2 SMA, Dwi memutuskan untuk menerima Yesus secara pribadi dan mendapatkan kelahiran baru. Momennya terjadi pada sebuah ibadah retret di Lawang, Malang “Sejak lahir baru, kecintaan saya kepada Firman Tuhan semakin menggelora. Mungkin ibarat cinta mula-mula, saya merasakan jatuh cinta kepada Tuhan Yesus. Membaca dan merenungkan firman Tuhan menjadi gaya hidup yang saya kembangkan hingga sekarang,”katanya.  

Kedua orang tuanya merupakan karyawan di Perumtel (Perusahaan Umum Telekomunikasi), atau yang sekarang kita kenal sebagai PT Telkom. Maka dunia pertelekomunikasian sudah dekat dengan Dwi sedari kecil. “Bapak saya waktu itu seorang teknisi di Perumtel, lebih banyak menangani pemasangan telepon koin dan jaringan Wartel (Warung Telekomunikasi),”tutur Dwi. 

Sekitar akhir 1980-an hingga 90-an memang teknologi menelpon yang paling booming adalah telepon koin dan Wartel. Telepon koin untuk sambungan telepon lokal. Pengguna memasukkan koin seratus atau lima ratus rupiah ke dalam pesawat telepon dan menekan nomor yang dituju. Satu koin adalah biaya untuk menelpon sekitar dua menit. Kalau ingin menelpon lama harus sedia banyak koin. Sementara Wartel-wartel menjamur di berbagai kota, untuk melayani telepon interlokal. Wartel merupakan bentuk kemajuan teknologi dari sebelumnya masyarakat Indonesia terbiasa berkomunikasi singkat dengan telegram. Pada masa itu jaringan telepon rumah belum sebanyak sekarang, dan biaya telepon masih dirasa sangat mahal untuk sebagian besar masyarakat Indonesia. Wartel menjadi alat bantu untuk menelpon sahabat, pacar atau keluarga yang tinggal jauh di kota lain. Demikianlah peran petugas teknisi pemasang dan perawat jaringan di Perumtel tergolong vital. 

“Mulai akhir masa SD hingga awal SMP saya sering diajak Bapak untuk menemaninya memasang jaringan di berbagai lokasi. Jadi saya ikut merasakan perjuangan Bapak mencari nafkah. Di masa liburan sekolah saya sering diajak menemaninya lembur memasang jaringan. Waktunya tak jarang malam hari.Saya membantu Bapak menarik dan memotong kabel telepon,”kata Dwi. 

Pengalaman menemani bapaknya bekerja, membuat Dwi  demi sedikit memahami cara kerja jaringan telepon. Bahkan mulai memahami bagaimana menyetting jaringan di sebuah Wartel. Tumbuh minat untuk mendalami bidang-bidang ilmu elektronika dan telekomunikasi. Tapi saat itu baru sebatas senang membantu dan mengagumi pekerjaan Bapaknya. 

 

Ingin masuk ITB

Sekitar kelas dua SMP, wawasan Dwi mulai bertambah.  Cita-citanya mulai membulat. Sesuatu yang jarang ditemui pada remaja-remaja seusianya. Ia bertekad masuk kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di Tanah Air. Awalnya Dwi diajak orang tuanya mengunjungi Pakde-nya (kakak orang tua) yang tinggal di Bandung. Kebetulan kakak sepupunya kuliah di Jurusan Teknik Lingkungan ITB. Suatu hari Dwi diajak kakaknya tersebut mengunjungi kampus ITB. Dwi merasa kagum melihat bangunan dan suasana kampus yang luar biasa tersebut. Muncul niat di batinnya untuk masuk ITB. Sambil melihat suasana kampus, Dwi pun menaikkan doa dalam hatinya: “Tuhan, jikalau Engkau menghendaki, tolonglah aku agar nanti bisa berkuliah di tempat ini.” Jika nantinya lulus dan bekerja ia ingin membahagiakan orang tuanya. 

Niat dan cita-citanya tersebut juga ia ungkapkan kepada orang tuanya. Ayah dan ibunya pun mendorongnya untuk semakin giat belajar. Tak lupa Dwi tidak pernah putus menaikkan doa kepada Tuhan. Awalnya Dwi ingin masuk Jurusan Teknik Sipil ITB. Waktu pun terus berjalan. Ketika Dwi duduk di bangku kelas 3 SMA cita-citanya sedikit bergeser. Waktu itu Dwi sudah mengikuti program bimbingan belajar (Bimbel) di sebuah lembaga bimbingan belajar. Banyak info-info baru yang diperolehnya mengenai berbagai jurusan di ITB. Ada rating-rating (peringkat) jurusan-jurusan di ITB. Menurut Dwi, yang tertinggi adalah Jurusan Informatika dan Teknik Elektro. Dwi berhasrat masuk ke salah satu jurusan terbaik di ITB tersebut. Maka Dwi pun semakin tekun melakukan persiapan dan berdoa. Saat UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) tiba, Dwi menjalani dengan keyakinan akan penyertaan Tuhan. 

Masuk ITB

Saat pengumuman tiba, Dwi dan seluruh keluarga bersorak gembira. Dwi diterima di Jurusan Informatika ITB. Cita-citanya masuk ke jurusan terbaik di kampus terbaik terkabul. Ada air mata syukur dan keharuan. Pepatah mengatakan usaha tidak mengkhianati hasil. Kerja keras panjang Dwi beroleh hasil yang gemilang. Namun, Dwi menganggap apa yang diperolehnya hanya anugerah Tuhan semata. Agaknya Dwi sependapat dengan pernyataan pemazmur: Jika bukan bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan Tuhan yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga.(Mazmur 127:1)

Dari mula tinggal di Bandung hingga menyelesaikan kuliah, Dwi indekos di daerah Balubur, Bandung. Daerah sekitar Pasar Balubur tempat dirinya indekos, sekarang sudah menjadi wilayah mal Baltos, Balubur Town Square. Karena Dwi merasa Tuhan yang memberikannya anugerah tempat kuliah terbaik, dirinya tidak mau menyia-nyiakan anugerah Tuhan tersebut. Seperti kebiasaan lamanya, usaha sekaligus berdoa. Ora et labora. Ia berusaha untuk selalu mendapatkan nilai yang baik sebagai kesaksian hidup dan sekaligus wujud penghormatan kepada perjuangan orang tua yang telah memungkinkannya kuliah di tempat yang jauh dari kampung halaman. 

Pernah Dwi begitu menyesal, ketika menginjak semester dua nilai IPK nya di bawah 3.00. “Waktu itu IPK saya hanya 2,95, kurang sedikit lagi dapat nilai 3.00,”kenangnya.”Saya merasa malu, terutama kepada orang tua. Saya teringat kerja keras dan pengorbanan mereka,”lanjutnya. Orang tua Dwi sendiri tidak mempermasalahkan nilai tersebut dan terus mendorongnya berjuang agar ke depannya memperoleh hasil lebih baik. 

“Saya sempat berkeluh kesah kepada Tuhan di dalam doa, dan memohon ke depannya diberikan hasil yang lebih baik,”tuturnya. Tentu saja tidak berhenti hanya di doa, namun Dwi semakin tekun belajar. Dan sekali lagi hasil tidak mengkhianati usaha. Pada waktu kuliahnya menginjak semester 7 Dwi berhasil meraih nilai maksimal, IPK 4.00. Artinya ia memperoleh nilai A di semua mata kuliah. Dwi begitu bersyukur atas pertolongan Tuhan. Bahkan atas keberhasilannya tersebut, dirinya diberi kesempatan untuk menyampaikan kesaksian dalam ibadah persekutuan mahasiswa kristen ITB. Dalam kesaksiannya Dwi mengakui bahwa keberhasilannya semata oleh kasih karunia Tuhan. 

Di luar kepadatan jadwal kuliah, Dwi aktif dalam berbagai kegiatan persekutuan. Selain aktif terlibat dalam Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) ITB, Dwi juga terlibat dalam kegiatan kerohanian bersama SION Ministry. Bagi Dwi hidup harus senantiasa ada keseimbangan antara yang jasmani dan rohani. Mengejar cita-cita hidup memang penting, namun mengejar tujuan surgawi tidak boleh dilupakan. 

“Berkuliah di Bandung dan tinggal jauh dari orang tua, kita harus hati-hati dalam pergaulan. Firman Tuhan menguatkan iman saya dalam menjalani hari-hari sebagai mahasiswa maupun anak Tuhan di perantauan,”tuturnya. “Mungkin banyak orang melihat, Bandung sebagai kota yang terkenal bebas dalam pergaulan. Banyak pendatang larut dan terjatuh di dalamnya. Namun, puji Tuhan saya diberikan teman-teman yang satu visi. Baik teman-teman seiman maupun yang non-kristiani mereka sama-sama memiliki cara bergaul yang santun dan baik. Mereka senantiasa berfokus pada tugas dan panggilannya untuk belajar dengan tekun. Maka saya pun dapat melalui semua tantangan dengan baik,”lanjutnya. 

 

Teknologi Video Conference

Ada yang unik dari studi Dwi Prasetyo di ITB. Ia mengambil judul tugas akhir tentang teknologi video conference. Sesuatu yang di masa sekarang menjadi urat nadi komunikasi sejak pandemi merebak. Sekarang hampir semua orang, dari mulai karyawan perkantoran, ibadah gereja, hingga kegiatan sekolah menggunakan teknologi video conference setiap hari, dengan aplikasi-aplikasi umum seperti: Zoom, Google Meet, Microsoft Teams dan sebagainya. Saat belum banyak orang yang mengenalnya apalagi menggunakannya, Dwi sudah menjadikan tema tersebut sebagai materi tugas akhir kuliahnya. 

“Waktu dulu sebenarnya tujuannya ingin cepat lulus saja, pak. Kebetulan dosen pembimbing saya memiliki beberapa topik yang bisa dijadikan tema skripsi. Setelah beberapa topik itu dibagi, saya kebagian video conference,”tuturnya. 

“Memang cukup chalenging membahas tema video confrence ini. Tapi saya rasa, berkat teknologi yang disediakan dan dikembangkan Google saya bisa mempelajari hal tersebut. Google mulai booming dan ada beberapa tools yang bisa saya optimalkan membangun sistem video confrence ini berbasis Java,”lanjutnya. 

“Memang hasil akhirnya karya saya masih point ke point, jadi komunikasi dari satu PC ke PC lain. Serba simple saja. Karena baru sebatas ujicoba. Tidak pernah terbersit akan berkembang seperti sekarang penggunaannya. Mungkin kalau dikembangkan bisa menjadi produk baru yang booming dan malah bisa mengalahkan Zoom,”katanya sambil tertawa. 

Masuk Pertamina

Dwi lulus dari ITB sekitar tahun 2002. Di biodata alumni ITB, Dwi menulis kata mutiara favoritnya: tiada hari tanpa bersyukur. Agaknya lulus dari kampus ternama tidak membuatnya jumawa, malah menjadikannya makin rendah hati dan meyakini kuasa Allah. 

Tak lama kemudian dirinya langsung bekerja sebagai seorang programmer freelance. Ia merasa cukup nyaman dengan pekerjaannya tersebut. Namun, Tuhan agaknya punya rencana lain. Sekitar Februari 2003, ada info lowongan di berbagai perusahaan atau lembaga besar seperti Pertamina dan Bank Indonesia. Ketika membuka informasi lowongan di Pertamina, ada seperti suara yang terdengar jelas oleh Dwi yang mengatakan,”Tempatmu di situ!” Suara itu berkali-kali terdengar dan terasa sangat kuat. Dwi meyakini ini adalah bisikan Roh Kudus yang mengarahkannya ke pilihan yang baik dan tepat bagi hidupnya. Akhirnya Dwi memutuskan untuk mencoba melamar ke Pertamina. 

Semua proses penerimaan dia jalani. Hingga tiba waktunya wawancara. Sebelum berangkat mengikuti wawancara di tempat kos Dwi berdoa. “Kalau memang ini benar rencana Tuhan, pasti Tuhan akan memberikan pertolongan,”katanya yakin. 

Karena meyakini ini adalah rencana Tuhan, Dwi ingin membuktikan dengan tampil beda. Jika wajarnya orang berangkat wawancara dengan pakaian rapi, Dwi malah sengaja memilih pakaiannya yang paling kusam dan buruk di lemari. Namun, ia malah tampil percaya diri. “Saya datang wawancara dengan baju yang sudah robek-robek di bagian leher. Warnanya juga sudah kusam, kalau istilah Jawanya sudah bulak,”kenangnya sambil tertawa. 

Ternyata janji dan rencana Tuhan tidak pernah meleset. Meski hadir wawancara dengan baju yang terkusam, Dwi diterima bekerja di Pertamina dan ditempatkan di Cirebon. Ada cerita yang unik. Begitu tahu bahwa Dwi diterima sebagai karyawan Pertamina, Ibunya di Malang ditanya oleh ibu-ibu gereja di kampungnya: Dwi bayar berapa supaya bisa masuk Pertamina? Ibunya kaget mendengar pertanyaan tersebut. Banyak orang menyangsikan Dwi masuk Pertamina dengan jalan lurus. 

Pertemuan dengan LAI

Di Cirebon, Dwi merintis karirnya di Pertamina. Kota Cirebon juga mempertemukan Dwi dengan pasangan hidupnya, Chandra Melany Purnama Sari. Istri Dwi berasal dari Yogyakarta. Meski berasal dari latar belakang gereja yang berbeda, Dwi warga jemaat GBI Rajawali, Cirebon dan kekasihnya dari Gereja Katolik, namun karena keduanya punya cara pandang dan hati yang terbuka, hubungan keduanya tidak mengalami permasalahan. 

“Saya dan istri punya cara pandang yang sama, yang utama Tuhan dan Junjungan kita adalah Tuhan Yesus. Alkitab kita pada dasarnya juga sama. Apa yang dikatakan oleh Alkitab itulah yang kita ikuti,”terangnya. Meski sekarang sama-sama berjemaat di GBI, setiap pulang kampung ke Malang, Dwi juga beribadah ke GKJW bersama  keluarganya. Ketika pulang ke Yogyakarta, tempat istrinya, mereka juga tetap menikmati ibadah di Gereja Katolik. Dari pernikahannya Dwi dikaruniai dua orang putri cantik, Grizelda Celine Wilhelmina, Graciela Chessa Wilona.

Di Kota Cirebon pula, Dwi bertemu pertama kalinya dengan LAI. Suatu ketika LAI melakukan presentasi Program Satu Dalam Kasih di berbagai gereja di Cirebon. Seorang rekan istrinya, Pak Igan, anggota jemaat GBI Kalvari mengajaknya hadir mendengarkan presentasi. Setelahnya Dwi ternyata terpanggil untuk membantu pelayanan LAI, sebagai anggota KKPD (Kelompok Kerja Penggalangan Dukungan) yaitu mitra relawan LAI dalam menggalang dukungan dari umat Tuhan di berbagai kota. Sejak itu dirinya sering melakukan presentasi, mewartakan pelayanan LAI ke berbagai gereja di Cirebon dan sekitarnya. Selain itu Dwi secara pribadi juga mendukung pelayanan LAI sebagai seorang Sahabat Alkitab melalui donasi rutin. Apa yang membuat Dwi mau mendukung pelayanan LAI? 

“Tuhan sudah begitu baik kepada saya. Karena itu saya memiliki kerinduan melayani Tuhan dengan apa yang saya punya dan bisa. Saya memiliki keterbatasan waktu karena pekerjaan yang saya jalani. Saya rindu menyebarkan Kabar Baik tentang keselamatan dari Tuhan Yesus kepada sebanyak mungkin orang. Paling tidak saya bisa mendukung dengan dana dan doa. Kemudian di waktu-waktu tertentu saya bisa membantu pelayanan LAI melalui pewartaan ke gereja-gereja, karena pada hari Minggu saya libur,”terangnya. 

Ketika ia dipindahkan ke Jakarta, Dwi menjadi lebih sibuk lagi. Dirinya tidak sempat membantu pelayanan LAI lewat presentasi, namun komitmen untuk mendukung pelayanan LAI melalui doa dan dana terus ia tekuni. Baginya bukan masalah nilai dan besarnya, melainkan masalah ketulusan dan ungkapan syukur atas kebaikan Tuhan. Menurut Dwi, kita harus semakin tekun mengabarkan Injil, karena ketika semua orang di seluruh dunia sudah mendengar Kabar Baik, Kristus akan segera datang kembali. 

 

Menjadi Garam dan Terang di Pertamina

 

Sejak 2003 hingga sekarang, terhitung sudah 19 tahun Dwi Prasetyo Minarto berkarya di Pertamina. Banyak orang luar menganggap Pertamina adalah perusahaan basah, ladang uang dan banyak “tikusnya”. Kesaksian Dwi justru sebaliknya. Dari awal berkarya Tuhan memberikan Dwi rekan-rekan tim yang sevisi. Meskipun berbeda iman dan latar belakang, semua memiliki integritas dan kejujuran yang baik. 

“Bukan hanya teman sevisi, atasan-atasan saya integritasnya juga menjadi panutan. Demikian juga soal iman tidak menjadi persoalan. Semua berdasarkan integritas dan profesionalitas. Kalau di perusahaan lain terdengar kabar untuk promosi harus merelakan imannya, di Pertamina tidak ada hal seperti itu. Kebetulan atasan saya yang baru pensiun juga seorang kristiani. Atasan sebelumnya juga demikian,”katanya. Dengan suasana kerja yang dipenuhi orang-orang berintegritas, Dwi pun terdorong menunjukkan kinerja terbaiknya, sekaligus menunjukkan jati dirinya sebagai pengikut Kristus yang harus menjadi garam dan terang dunia di manapun Tuhan mempercayakannya. Kerja kerasnya bahkan pernah diganjar penghargaan sebagai Project Manajer terbaik dari Pertamina se-Indonesia. Ternyata bisikan Tuhan tidak pernah salah. Tuhan yang sudah memilih, Tuhan juga yang menolongnya mencapai tingkatan tinggi dalam karier. 

Kini Dwi menjabat sebagai Senior Manager IT Busines Solution di Pertamina Hulu Energi di Jakarta. Melangkah jauh dari posisi awalnya sebagai seorang Supervisor Programmer saat awal karirnya di Cirebon. Baru-baru ini di bawah kepemimpinan Pak Dwi, Pertamina Hulu Energi (PHE) memperoleh dua penghargaan utama pada ajang bergengsi Digitech Award 2022, yaitu The Best IT Governance & The Best Digital Workplace dan The Best Transformation & Digital Innovation

Dwi menyebut transformasi digital yang dilakukan bagian IT PHE berfokus menigkatkan value baik dari sisi bisnis, produktivitas ataupun efesiensi biaya. Kami tidak ingin menerapkan digital di area IT saja tapi sebagai pendorong dan penggerak untuk meningkatkan value bisnis” jelas Dwi Prasetyo Minarto.

Dwi Minarto menambahkan, IT PHE berfungsi strategyc partner yang bisa membarikan masukan dan pandangan agar bisnis perusahaan menjadi lebih baik.

Di luar karirnya di Pertamina, Dwi yang memiliki hobi olahraga, mendengar khotbah di YouTube dan bermusik ini aktif dalam pelayanan di gerejanya di GBI Legenda Wisata, Cibubur. “Di ibadah Minggu kami berdua sering dijadwalkan sebagai pelayan usher, kemudian juga terlibat dalam berbagai kepanitiaan non-rutin,”tuturnya. “Hanya saja sejak pandemi, saya lebih banyak aktif di kelompok sel,”lanjutnya. 

Setia, Adil dan Rendah Hati

Waktu kecil, setiap mendengar cerita-cerita Alkitab dari guru-guru Sekolah Minggunya, Dwi sering merasa penasaran. Sampai di rumah cerita di Sekolah Minggu dia kulik ulang. Dia baca Alkitabnya untuk melihat apakah ceritanya memang benar demikian. Ia begitu senang setiap kali mendengar kisah tokoh-tokoh Alkitab. Ia mulai memahami betapa luar biasa Tuhan bekerja dalam hidup setiap tokoh Alkitab.

“Tuhan bekerja bukan hanya pada masa kesuksesan setiap tokoh tersebut, melainkan juga di saat jatuh. Kehidupan mereka menjadi cerminan kehidupan kita. Demikianlah awal mula saya jatuh cinta dengan Kitab Suci, dari keinginan mengenal tokoh-tokoh Alkitab lebih mendalam,”tuturnya. 

Dwi sudah menamatkan pembacaan Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu 8 kali. Perjanjian Baru malah sudah khatam lebih dari sepuluh kali. Kecintaan kepada firman Tuhan ini juga mulai ditanamkannya kepada kedua putrinya. Dwi sering memperkenalkan pesan-pesan moral dari kisah-kisah Alkitab sambil ngobrol santai dengan anak-anaknya. Ia mengajak anaknya berimajinasi dan membayangkan suasana batin tokoh-tokohnya. Belajar dari jatuh dan bangunnya tokoh Alkitab dan belajar dari kedekatan mereka kepada Tuhan. 

Ia berharap nantinya anak-anaknya dapat bertumbuh dengan baik dan memiliki iman yang semakin teguh kepada Tuhan Yesus. Ia memahami anak adalah berkat dan titipan dari Tuhan. Maka tanggung jawab orang tua menurut Dwi adalah mempersiapkan anak agar nantinya menjadi berkat bagi sesama. Dwi berharap di manapun nanti anak-anaknya berada, nama Tuhan Yesus yang dimuliakan. 

Harapan Dwi sesuai dengan motto hidupnya, yang ia kutip dari Mikha 6:8: “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik, Dan apa yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati dihadapan Allahmu?” 

“Tidak ada hidup yang lebih indah daripada menjalani hidup dengan tekad setia kepada Tuhan, berlaku adil kepada semua orang, dan bersikap rendah hati. Niscaya hidup kita akan dipenuhi damai sejahtera,”tutur Dwi menutup pembicaraan.