"EMPAT ASA SATU TAHUN: TETAPLAH BERDOA"

 

Satu tahun Pandemi Covid-19, satu tahun voicenote Doa Bagi Bangsa, satu tahun mingguan e-magazine Warta Sumber Hidup, dan satu tahun layanan Digital LAI, adalah empat peristiwa yang mengingatkan kita semua untuk menghadirkan asa tiada henti.

Awal tahun 2020, meski kita sudah mendengar berita tentang serangan virus Covid-19 di Wuhan China, namun semua aktivitas normal seperti biasa. Jadwal kerja tidak ada perubahan. Traveling tetap terselenggara, semua perencanaan kerja dieksekusi sesuai dengan jadwal yang telah disepakati. Semua berubah drastis, setelah pertengahan Maret 2020 pemerintah RI mengumumkan bencana nasional Covid-19.

Saya teringat suatu hari Sabtu di tahun 1993. Cuaca cerah terang benderang, saya dan isteri sibuk dengan segala persiapan pembaptisan anak pertama kami di hari Minggu esoknya. Anak pertama kami belum genap berusia satu tahun. Bapak dan Ibu saya hadir dari kampung untuk menyaksikan pembaptisan cucunya.

Pukul 22.00 WIB ketika kami semua bersiap untuk istirahat, tiba-tiba terdengar teriakan suara tetangga: "banjir....banjir...!!". Kami seisi rumah masih belum menyadari apa yang terjadi, karena di langit sama sekali tidak ada hujan tidak ada petir. Malahan terang bulan sempat kami lihat.

Saya membuka pintu depan diikuti Bapak saya dengan wajah ingin tahu. Setelah pintu terbuka, benar saja ada air menggenang di halaman rumah. Kami berdua melihat ke langit yang masih tampak terang benderang karena bulan bersinar. Suatu paradoks yang sungguh terasa tidak masuk akal. 

Cepat-cepat saya masuk rumah dan memberitahu seisi rumah bahwa memang benar ada banjir. Segera kami semua bergerak menaikkan barang-barang ke atas meja dan kursi. Seumur-umur kami belum pernah mengalami kebanjiran. Tidak ada pengalaman sama sekali. Kami bergerak serba gagap dan mencoba membendung pintu rumah dengan berbagai benda, berharap agar air tidak masuk rumah.

Pelan tapi pasti air terus naik. "Bendungan" yang kami buat di pintu tak ada artinya. Alhasil air masuk rumah setinggi kurang lebih sepuluh sentimeter. Selewat tengah malam air mulai menyurut dan menjelang subuh kami baru bisa tidur karena kecapekan dan letih.

Perasaan saya campur aduk antara heran, takut, khawatir, bingung, sedih dan penuh tanda tanya. Air yang masuk ke dalam rumah tidak seberapa tinggi, tapi dampak beban perasaan dan pikiran sangatlah terasa. Hari Minggu pagi kami tetap membawa anak kami untuk dibaptis dengan perasaan campur aduk antara sukacita dan letih.

Gambaran saya saat pertama mengalami kebanjiran di tahun 1993 mirip dengan situasi dan kondisi di awal Maret 2020. Semula semuanya serba normal, karena belum ada yang terinfeksi Covid-19 di Indonesia. Manakala ada pengumuman pemerintah tentang bencana nasional Covid-19, maka mendadak semua perasaan dan pikiran bercampur aduk.

Meski demikian, gerak cepat harus dijalankan. Prioritas pertama adalah menjaga agar seluruh karyawan LAI tetap dapat hadir melayani umat di tengah pandemi. Muncullah kemudian "Doa Bagi Bangsa". Sebuah voicenote sekira tiga menit yang berisi doa bagi pergumulan bangsa Indonesia dan diviralkan setiap hari ke seluruh mitra LAI melalui jaringan Whatsapps.

Kemudian disusul penerbitan Warta Sumber Hidup, majalah cetak yang terbit setahun tiga kali, diubah menjadi majalah elektronik yang terbit seminggu sekali dan diviralkan melalui berbagai media sosial.

Lalu disusul dengan acara-acara melalui YouTube channel LAI, Instagram, Facebook, dan link Zoom yaitu: Bincang Alkitab, LAI adalah kita, Inspirasi Generasi, Seminar Alkitab, kursus Alkitab, acara-acara khusus yang semuanya berbasis online.

Setahun sudah pandemi Covid-19 kita alami. Setahun juga LAI berjibaku di tengah Pandemi Covid-19, melakukan berbagai upaya agar tetap dirasakan kehadirannya di tengah umat. Tak ada pilihan lain kecuali tetap berkarya dan terus berdoa. Agar asa tetap ada bersamaNya.

Salam Alkitab untuk Semua.

Dr. Sigit Triyono