Firman Tuhan Teman Terdekat, Kesaksian Ratna Harefa

Firman Tuhan Teman Terdekat, Kesaksian Ratna Harefa

 

“Apakah impian saya?” Demikian pertanyaan yang diajukan kepada saya dalam sebuah persekutuan pemuda di Tangerang beberapa tahun lampau. Tema persekutuan sore itu “Dreaming a Big Dreams”. Saya menjawab, “Impian saya sejak kecil adalah pergi ke Afrika dan mengabarkan Injil kepada suku-suku terabaikan di sana”. Impian tersebut sesungguhnya tidak muncul tiba-tiba. Saya sudah mengimpikannya sejak remaja. Usai SMA saya pun memilih sekolah teologi sebagai awal perjuangan.

Alkitab bukanlah barang asing bagi saya karena saya lahir dan besar di tengah keluarga Kristen. Sejak kecil kami rajin mengikuti Sekolah Minggu. Orang tua juga sering menceritakan kisah-kisah Alkitab dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Seiring bertambahnya usia, pemahaman saya tentang Alkitab juga bertambah. Perjalanan hidup pun mengajar saya bahwa Firman Allah di dalam Alkitab benar-benar hidup. 

Salah satu ujian besar yang saya hadapi adalah ketika Papa meninggal pada tahun 2010. Firman-Nya menjadi penghiburan bagi saya di masa sulit. Waktu itu saya baru saja bergabung bersama Lembaga Alkitab Indonesia dan baru satu bulan saya ditugaskan di Teluk Bintuni, Papua. Dari Manokwari menuju Bintuni dapat ditempuh dengan mobil double gardan melewati gunung dan hutan belantara selama ± 8 jam atau dengan pesawat kecil bermuatan 6-8 orang selama sekitar 1 jam. Saya ingat betul peristiwa tersebut.

Saya menerima berita duka meninggalnya Papa pada Sabtu pagi, tanggal 27 Februari 2010. Sebelumnya selama lima hari, saya berada di pedalaman memberikan pelatihan bagi tutor-tutor Pemberantasan Buta Aksara (PBA). Di tempat pelatihan tidak ada sinyal maupun listrik. Saya tiba kembali di kota Bintuni subuh tanggal 27 Februari. Rasa lelah karena  perjalanan panjang  membuat saya tertidur. Paginya, saya terbangun dan menyalakan handphone. Pesan pertama yang masuk di handphone pagi itu adalah ucapan duka cita dari para sahabat, disusul pesan dari keluarga yang mengabarkan Papa dipanggil kembali oleh Tuhan semalam. Kabar tersebut sangat mengejutkan saya.  Muncul rasa penyesalan karena saya tidak bisa hadir atau setidaknya mendengarkan kata-kata terakhir beliau sebelum pergi.

LAI memberi saya  kesempatan untuk pulang kampung dan menyelesaikan segala hal terkait pemakaman dan ibadah perkabungan ayah saya. Perasaan saya campur aduk. Tiba-tiba saya merasa enggan untuk kembali ke tempat tugas saya di pedalaman. Saya khawatir dengan masa depan keluarga kami setelah Papa meninggal. Saya khawatir dengan Mama. Saya cemas dengan masa depan adik-adik saya. Saya mengkhawatirkan banyak hal yang sebelumnya tidak pernah saya pikirkan. 

Beberapa waktu kemudian, saya memutuskan kembali berangkat ke Teluk Bintuni. Sepanjang perjalanan saya menangis. Saya merasa sendirian. Rasa takut dan khawatir saya pun semakin besar. Untunglah Firman Tuhan benar-benar hidup dan berkuasa. Dalam kondisi tertekan dan sendiri, saya diingatkan satu nas dalam Alkitab. Nas itu berbunyi, “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu. Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu (Yoh.14:16-18)”. Nas itu betul-betul meneduhkan, bahkan menguatkan saya. Semangat saya dipulihkan kembali. Akhirnya, saya  dapat menyelesaikan tugas selama satu tahun di Teluk Bintuni dan berlanjut tugas pelayanan berikutnya di berbagai daerah lain.

Berkarya di LAI bagi saya bukanlah kebetulan dan bukan juga karena tidak ada pilihan lain. Menurut saya, tugas di LAI adalah jawaban dari doa dan mimpi saya selama ini, mimpi untuk melakukan kegiatan misi ke daerah-daerah terpencil. Meskipun belum sampai ke Afrika, tapi melalui LAI Tuhan memberikan saya kesempatan untuk bermisi ditengah-tengah umat-Nya yang berada di berbagai pelosok Nusantara. 

Selepas lulus kuliah sebenarnya beberapa pilihan masa depan sempat saya pikirkan. Termasuk harapan orang tua untuk pulang ke Nias dan menjadi Pendeta. Namun, dua minggu sebelum ijazah keluar, saya mendapatkan panggilan kerja di LAI. Tugas saya waktu itu adalah sebagai Pimpinan Lapangan Program Pemberantasan Buta Huruf dan Pembaca Baru Alkitab yang sering disingkat PBH/PBA dan sekarang lebih dikenal dengan Program PBA. Petualangan saya pun dimulai. Program PBA memberikan lebih banyak kesempatan untuk menikmati masa-masa di mana Alkitab adalah teman terdekat dalam berbagai situasi. Karena banyaknya tantangan yang harus saya hadapi. Program PBA adalah salah satu Program LAI untuk membantu umat yang buta huruf supaya mereka bisa membaca Alkitab. Umat yang putus sekolah atau bahkan tidak pernah sekolah sama sekali, dilatih supaya bisa membaca. Usia peserta program bervariasi dari umur 10-60 tahun. Untuk melatih mereka membaca dan menulis tidaklah mudah. Bagi mereka yang baru mengenal huruf, semua huruf terlihat sama bentuknya. Apalagi kalau melatih mereka menulis, mata pensil sampai patah berulang-ulang. Kalau pakai pulpen, gantian bukunya yang robek sampai beberapa lembar karena menulisdengan tenaga dalam. Kalau sudah terjadi seperti itu, suasana kelas jadi riuh dengan tawa. Ada juga warga belajar yang nyeletuk, “Gimana tidak patah pensilnya, selama ini biasanya pegang cangkul dan parang untuk berkebun, jadi susah ngerem tenaganya”.

Kondisi perjalanan yang saya tempuh sehari-hari juga cukup menantang. Jemaat buta huruf pada umumnya berada di daerah terpencil. Kendala yang sering muncul di daerah terpencil adalah akses komunikasi dan transportasi yang masih sangat terbatas. Kampung tempat warga belajar (peserta buta huruf) jauh dari kota. Ada beberapa lokasi di mana warga belajar justru tidak tinggal di kampung tetapi di ladang. Untuk sampai di kampung, bisa ditempuh dengan sepeda motor yang sudah dimodifikasi atau dengan berjalan kaki masuk hutan, menyusuri sungai, bertemu dengan ular, babi hutan, rusa dan binatang hutan lainnya. Belum lagi kalau hujan deras, jalan berlumpur, motor harus didorong dan dibersihkan dari lumpur. Kalau sungai banjir, terpaksa menunggu sampai surut dan bisa dilewati. Entah mengapa peristiwa menunggu air surut sering terjadi di malam hari. Seolah kurang komplit rasanya kalau malam itu berjalan biasa saja, sehingga perlu ada sedikit tantangan. Itulah kondisi yang saya hadapi yang terkadang membuat saya berpikir untuk menyerah dan berhenti. Tapi di saat pikiran-pikiran itu muncul, seperti ada suara yang mengingatkan untuk tetap teguh. Jika Tuhan saja mau meninggalkan surga yang nyaman dan turun ke dunia menjadi manusia biasa dengan siksaan yang luar biasa, saya yakin apa yang saya alami masih belum seberapa. Di saat seperti itulah, Alkitab kembali menjadi teman terdekat, di mana Tuhan berbicara dan memberikan kekuatan dan hikmat.

Tiap saat, saya menaikan doa kepada Tuhan, kiranya LAI terus dimampukan untuk berkarya, menghadirkan Alkitab bagi semua. Semoga umat Tuhan diberbagai tempat dapat merasakan hadirnya Firman Tuhan yang menumbuhkan iman percaya mereka kepada Kristus Sang Juruselamat. Terimakasih kepada LAI yang telah memberikan kesempatan untuk merasakan indahnya berbagi kepada sesama.

Ratna Sari Harefa, Kepala Kantor Perwakilan LAI di Medan.