“Hosana”, Sang Raja Sudah Datang!

“Hosana”, Sang Raja Sudah Datang!

Markus 11: 1-11 TB

Setelah kita menjalani Minggu-minggu pra-paskah, kini kita memasuki Minggu Palem dan Sengsara. Dalam liturgi ini terdapat dua bagian. Bagian pertama adalah Minggu Palem, yaitu prosesi peringatan masuknya Kristus ke kota Yerusalem dan dielu-elukan dengan daun palem dengan seruan “hosana” artinya “selamatkanlah kami sekarang”. Palem (palma, palm (of the hand) adalah juga telapat tangan yang terbuka menyerupai daun palem) merupakan tanda kemenangan. Dengan melambaikan daun palem sambal menyerukan “hosana”, umat menaruh pengharapan akan kemenangan yang akan diraih Yesus di kota Yerusalem.

Di samping daun palma, keledai juga turut memiliki makna yang cukup dalam. Keledai erat dengan simbol perdamaian dan kesederhanaan, berbeda dengan seekor kuda yang memiliki image perang. Seseorang yang datang dengan menggunakan keledai, pastilah membawa pesan damai. Berbeda dengan seseorang yang menunggangi seekor kuda, hampir dipastikan ia ingin menyampaikan pesan untuk berperang.

Perayaan Minggu Palma merupakan awal dari permenungan kisah sengsara Yesus. Di sini Yesus ingin menegaskan bahwa ia hadir untuk mendamaikan hubungan manusia dengan Tuhan. Yesus rela menjadi manusia dan bersedia menanggung beban dosa dunia dengan menjadi domba tebusan yang salah yang membiarkan dirinya disembelih (bdk. Im 14:25).

Dalam kondisi saat ini, dimana hampir sebagian besar penduduk dunia mengalami keterpurukan sebagai akibat dari serangan wabah COVID-19, barangkali kita membayangkan kedatangan Tuhan ditengah kita dengan membawa peristiwa besar yaitu menghilangkan virus korona secara drastis dan dramatis. Namun dari kisah masuknya Yesus di Yerusalem, kita diajak merenungkan kembali makna kedatangan Tuhan Yesus dijalani-Nya secara sederhana, naik keledai, dan membawa pesan damai. Bukan pesan yang spektakuler layaknya seorang raja yang baru pulang dari peperangan.

Yesus yang datang ke tengah-tengah bangsa kita bukan Yesus yang mengajak kita untuk berperang melawan COVID-19 melainkan berdamai dengannya. Artinya kita menjalani hidup tidak dengan perlawanan yang hasilnya akan sia-sia, melainkan menjalaninya dengan damai, mematuhi protocol kesehatan, menjalani pola hidup sehat, dan mengisi kehidupan dengan kegiatan-kegiatan yang positif dan bermanfaat. Dan kini perlahan-lahan kita menemukan titik kemenangan kita dengan adanya vaksinasi dan pemulihan dibeberapa bidang kehidupan. Yesus yang datang dalam kesederhanaan itu adalah Raja kita yang hadir ditengah kita dengan sebuah kesiapan secara penuh dengan memberi hidup dan mati-Nya bagi kita. “Hosana” mari kita sambut kedatangan-Nya dan memercayakan hidup kita sepenuhnya kepada Kristus.

 

Minggu Sengsara

Dalam Kesengsaraan-Nya, Allah Menyapa Kita.

Yesaya 504-9; Markus 14:1-15:47

Minggu sengsara adalah bagian kedua dalam liturgi Minggu Sengsara. Bagian ini merupakan pengenangan sengsara sekaligus sebagai pendahuluan dari kisah sengsara Kristus meurut Injil Yohanes yang dibacakan kembali pada Jumat Agung. Pada minggu sengsara ini dibacakan kisah sengsara Kristus menurut Injil Sinoptis.

Kesengsaraan seringkali menjadi suatu peristiwa yang selalu ingin kita hindari. Pada saat seorang pendoa dalam doanya mengucapkan “Kami tolak menderita, tolak sakit ginjal, tolak kemiskinan, tolak kegagalan dan sebagainya.”

Timbul pertanyaan, kalau menderita atau dianiaya oleh karena melakukan kebenaran, bagaimana? Apakah perlu ditolak juga? Setiap manusia pasti pernah menderita. Dan selalu demikian selama ia hidup di dunia ini. Ada banyak sebab manusia menderita, ada yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri, namun, ada juga orang yang menderita karena kehendak Allah untuk menunaikan misi-Nya, termasuk para Rasul Yeus yang akhir hidupnya mati karena dianiaya, disiksa, disalib bahkan dipenggal kepalanya seperti Rasul Paulus. Dalam fakta kehidupan, manusia tidak bisa berbuat lain kecuali menghadapinya. Oleh karena itu, pemahanan makna penderitaan yang salah dapat menimbulkan sikap rohani yang salah pula. Seseorang dapat menyalahkan diri sendiri, bila ia tidak berhasil atau gagal atau terserang penyakit.

Biasanya pertanyaan yang muncul: Apa dosa saya kepada Tuhan? Mengapa saya terkena penyakit ini? Mengapa ada virus Corona dan saya di PHK? Dan sebagainya. Kita lupa mana penderitaan yang datang akibat keteledoran dan ulah kita sendiri dan mana penderitaan yang tidak bisa kita hindarkan. Bukankah Nabi Elia juga terkena dampaknya ketika terjadi kekeringan di negerinya (I Raja-raja 17:5-6)?

Dalam Minggu Sengara ini kita diajak merenungkan kembali bagaimana sikap Yesus saat menghadapi situasi yang penuh dengan sengsara itu. Apa yang dilakukan-Nya saat mendekati detik-detik kematian-Nya menanggung dosa yang tidak diperbuat-Nya? Ya, Yesus menjalani setiap proses sengsara-Nya dengan kesadaran bahwa sengsara ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari Ke-illahi-an-Nya. Sengsara yang ditanggungnya ini adalah gambaran dari Diri-Nya yang adalah Imanuel – Allah yang menyertai kita.

Oleh karena itu, merenungkan makna penderitaan adalah penting, karena karena penderitaan itu merupakan fakta yang tidak dapat kita hindarkan. Inilah salah satu maksud penetapan perayaan minggu-minggu sengsara, yang dikenal masa Pra-Paskah, dalam kalender gerejawi. Sebuah penghayatan terhadap penderitaan Yesus untuk direnungkan dan dihayati maknanya dalam kehidupan kita, bahwa Allah ada bersama kita. Dalam kesengsaraan-Nya, Allah menyapa kita.