Kepatuhan Menuju Ke Masa Depan

Kepatuhan Menuju Ke Masa Depan

 

Sebagian dari kita mungkin sulit membayangkan dan mendefinisikan arti “kepatuhan”. Apakah yang dimaksud dengan patuh berarti menuruti apapun yang diperintahkan dan takut menolaknya? Walaupun kita mempunyai hak bebas untuk memilih.  Kepatuhan dan ketakutan menjadi sesuatu yang sulit dibedakan. Bagi seorang anak kecil, dengan sederhana ia memahami patuh berarti harus melompat saat kita disuruh melompat. Jika ia tidak melakukannya, maka ia akan mendapatkan hukuman. Bagi seorang anak, ketidakpatuhan membuatnya takut karena dapat menimbulkan hukuman. Berbeda dengan pemahaman seorang ibu, misalnya, yang memahami kepatuhan adalah bentuk dari tanggungjawab. Dan ia melakukannya dengan sadar. Bukan karena takut atau karena tidak punya pilihan.

Bagi sebagian orang, kepatuhan tampaknya terbatas dan mereka lebih memilih untuk mengikuti hati nurani mereka. Hati nurani yang dibangun di atas dasar pengetahuan dan kesadaran bahwa setiap manusia memiliki kebebasan. Kebebasan untuk memilih dan mengikuti jalan yang dipercayainya sebagai jalan yang benar. Ada semacam kontradiksi dalam pemahaman mengenai “kepatuhan” ini. Di satu sisi, orang dituntut untuk patuh kepada otoritas yang lebih tinggi jika ia ingin bahagia. Di sisi lain, orang yang mengikuti suara hati nuraninya dengan bebas adalah orang yang bahagia (karena tidak berada di bawah tekanan siapapun). Pertanyaannya sekarang: Apakah orang yang hidup dalam kepatuhannya tidak bisa merasakan kebahagiaan?

Mari kita renungkan pertanyaan itu sembari kita mengoreksi pemahaman kita mengenai kepatuhan dan kebebasan. Jika kita gabungkan keduanya, maka kepatuhan bukan dilihat sebagai hukum dan keharusan yang menekan dan membatasi kebebasan seseorang, melainkan sebagai jalan menuju masa depan yang bahagia dan bebas dari rasa takut.

Untuk dapat mencapai masa depan yang bahagia dan bebas dari rasa takut, kita harus membentuk kepatuhan di dalam diri kita. Membentuk kepatuhan dengan benar, tidak dengan memberikan hukuman, ancaman, dan kata-kata yang menakutkan. Bukan pula dengan iming-iming hadiah dan janji-janji. Kepatuhan dengan tujuan mendapat hadiah hanya dilakukan oleh orang-orang yang pemahaman imannya masih di tingkat usia kanak-kanak. Menurut James Fowler, orang yang demikian masih berada pada tahap iman yang mitis-harafiah, yaitu orang yang menjalani kehidupan imannya dengan dilandasi rasa takut dan patuh begitu saja pada aturan-aturan moral yang ada di masyarakat dan gereja. Kepatuhan seperti ini biasanya dilakukan oleh anak usia 8-11 tahun, namun banyak juga ditemui pada diri orang-orang dewasa.

Seyogyanya, kepatuhan memberi ruang bagi siapapun untuk menemukan kebenaran dengan caranya masing-masing. Sebagai umat Kristen, kita percaya bahwa kebenaran hanya dapat ditemukan di dalam Allah. Karenanya, kepatuhan kita hanya kepada otoritas tertinggi, yaitu Allah sendiri. Kepatuhan kepada Allah akan membawa kita kepada kebenaran yang membebaskan dari perbudakan dan keberdosaan kita. Mereka yang menemukan rahasia kepatuhan dalam kebenaran akan menemukan sukacita dan kebebasan besar dalam menaati perintah dan pikiran Allah. Pemazmur mengekspresikannya dengan fasih dalam Mazmur 119, seperti: Aku telah memilih jalan kebenaran, telah menempatkan hukum-hukum-Mu di hadapanku (ayat 30). Aku akan mengikuti petunjuk perintah-perintah-Mu, sebab Engkau melapangkan hatiku (ayat 32).

Sederhananya, kebahagiaan dan sukacita tidak ditemukan un sich dalam kebebasan. Kebahagiaan dan sukacita ditemukan ketika kita menaruh iman kita kepada Allah. Kebahagiaan dan sukacita ditemukan dalam kebebasan untuk tunduk / taat / patuh kepada kebenaran dan perintah Allah. Kebenaran Allah tidak menindas, tetapi membebaskan. Bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dipeluk. Ketika kita masuk ke dalam kepatuhan yang penuh kasih terhadap hukum-hukum Allah, kita masuk ke dalam kebebasan, dan kebebasan itu tentu saja membawa kebahagiaan dan sukacita. Hanya ketika kita memahami dan mengalami semua ini dalam diri kita, maka kita akan berhasil menjalani kehidupan kita dalam kepatuhan dan menikmati serta mensyukuri hidup kita. Inilah yang disebut dengan iman yang benar, yaitu iman yang dibangun atas dasar pengetahuan dan kesadaran yang utuh. Kepatuhan yang dilakukan dengan iman yang benar akan membawa kita ke masa depan yang penuh sukacita dan tanpa rasa takut.

Pdt. Sri Yuliana, M.Th