Komodor Yos Sudarso: Pemimpin yang Penuh Semangat

Komodor Yos Sudarso: Pemimpin yang Penuh Semangat

 

Luas laut Indonesia 3.273.810 km2, artinya sekitar 63% wilayah Indonesia berupa lautan. Dengan laut yang sedemikian luas ini bisa dibayangkan betapa repotnya negara kita menjaga, mengurus dan memanfaatkannya. Ketegangan acapkali hadir saat mengamankan setiap perbatasan yang menjadi wilayah terluar Indonesia. 

Salah satu kisah heroik yang pernah tercatat dalam sejarah kita adalah pertempuran di Laut Aru yang merupakan bagian perjuangan memasukan Irian Barat (sekarang Papua dan Papua Barat) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI). Bertahun-tahun setelah Konferensi Meja Bundar yang mengembalikan kedaulatan wilayah kepada Republik Indonesia, Pemerintah Belanda tidak segera mengembalikan Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi. Hal ini akhirnya membuat pemerintah mengambil sikap tegas. 

Dalam rabat akbar di Yogyakarta pada 19 Desember 1961, Presiden Sukarno menolak pembentukan negara boneka Papua oleh Belanda. Dalam pidatonya, Sukarno memberikan seruan penting. “Batalkan 'negara Papua' itu! Kibarkan bendera Sang Merah Putih di Irian Barat! Gagalkan! Kibarkan bendera kita! Siap sedialah, akan datang mobilisasi umum! Mobilisasi umum bagi yang mengenai seluruh rakyat Indonesia untuk membebaskan Irian Barat samasekali daripada cengkeraman imperialis Belanda.” 

Pidato ini dikenal sebagai Tri Komando Rakyat (Trikora) dan mampu membakar semangat rakyat Indonesia untuk ambil bagian, tidak terkecuali Yosaphat Sudarso (Yos) yang saat itu merupakan perwira TNI Angkatan Laut. Yos nantinya terlibat penuh dalam rangkaian operasi militer yang ternyata menjadi bakti terakhirnya untuk nusa dan bangsa itu.

Merunut ke belakang, ayah Yos Sudarso bernama Sukarno Darmoprawiro. Sang ayah sehari-hari  bertugas sebagai polisi. Ibunya bernama Mariyam. Saat mengandung Yos, ibunya mengidam ingin menikmati indahnya pantai, sehingga melakukan perjalanan ke sebuah pantai di Semarang. Rasanya anak dalam kandungan selalu mendesak sang ibu untuk bertamasya ke laut. Ketika tiba bulannya, di Salatiga tepatnya di Gladagan, pada tanggal 26 Maret 1925 lahirlah anak laki=laki yang diberi nama Sudarso. Nama lengkap Yosaphat Sudarso baru dimiliki nanti setelah ia memilih jalan mengikut Kristus. 

Sebelum Yos lahir, sebenarnya orangtuanya sudah pernah memiliki anak bernama Suwarno. Namun ia meninggal karena kebakaran yang ditimbulkan dari malam (lilin) untuk membatik yang menjadi kegiatan sehari-hari ibunya. Sejak peristiwa itu ibunya tidak pernah lagi memegang canting (alat batik tulis). 

Kelahiran Yos begitu disyukuri orang tuanya, karena lahir persis setahun setelah kakaknya, Suwarno meninggal dunia. Saat Yos berumur dua tahun kembali orangtuanya dianugerahi anak laki-laki yang kemudian diberi nama Sudargo. Yang menarik saat masih berada di kandungan, ibunya mengikuti kebiasaan yang kerap dilakukan yakni melemparkan belahan kelapa untuk mengetahui jenis kelamin dari anak yang akan dilahirkan. Kalau telungkup belahan kelapanya berjenis kelamin laki-laki, sedang kalau belahan kelapanya telentang berjenis kelamin perempuan. Hasilnya akurat belahan kelapa setelah dilemparkan jatuh telungkup dan Yos mempunyai adik laki-laki. Sedari kecil Bapaknya telah mengajarkan kepada Yos nilai-nilai kesederhanaan dalam hidup, pantang berjiwa minta-minta.

Yos bersekolah di saat Belanda masih berkuasa di Indonesia. Untuk memperoleh pendidikan dasar ia disekolahkan orang tuanya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Salatiga, sama seperti kebanyakan anak bumiputera lainnya. Yos dikenal sebagai anak yang taat kepada orangtuanya. Setiap berangkat ke sekolah, ia ditugasi oleh bapaknya untuk terus menggandeng tangan adiknya dan tidak boleh terpisah kalau belum sampai halaman sekolah. Tugas “menjaga” ini dengan setia dilaksanakannya setiap hari, sampai-sampai membuat residen yang berkuasa saat itu ketika berpapasan dengan mereka merasa heran dan bertanya: “Itu anak siapa?”

Meski lebih banyak rukun, hubungan kakak beradik ini juga dihiasi pertikaian kecil, seperti ketika Sudargo  meminum air kelapa milik kakaknya.  Yos begitu marah hingga tidak mau berbicara dengan adiknya dalam waktu yang cukup lama. Di masa bersekolah di HIS inilah Yos dan adiknya mengalami pertemuan dengan iman Katolik dan kemudian dibaptis.  

Yos kemudian melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwij (MULO) di Semarang tahun 1940 namun tidak bertahan lama karena kedatangan Jepang yang membuat proses belajar yang sudah lima bulan didapatkannya harus terhenti. Yos kembali ke Salatiga, dia melanjutkan pendidikannya di sana dan berhasil tamat tahun 1943. Orangtuanya mempunyai cita-cita Yos bisa menjadi guru. Karena Yos sedari kecil merupakan anak yang patuh, ia kemudian mendaftar diri di Hollandsche Indische Kweekschool (HIK), sebuah sekolah pencetak Guru di Muntilan, Magelang. 

HIK Muntilan didirikan oleh Romo Van Lith seorang imam Yesuit asal Oirschot, Belanda. Dia mendirikan sekolah ini karena percaya guru adalah tokoh masyarakat desa yang paling berpengaruh dan berwibawa di tengah masyarakat yang kelak bisa menjadi pemimpin perubahan. Tetapi lagi-lagi masa pendidikannya terhenti karena pecahnya perang Asia Pasifik. Hanya empat bulan dia mengenyam pendidikan guru di Muntilan. 

Di sekolah Guru itu juga Yos berkenalan dengan Frans Seda yang kelak menjadi menteri di masa pemerintahan Presiden Soekarno maupun Presiden Suharto. Frans Seda terkesan dengan figure Yos Sudarso dan menggambarkan Yos sebagai pemuda bertubuh pendek namun kekar. Tubuhnya yang kekar memang hasil dari kegemarannya berolahraga dan berlatih keras membentuk otot.

Sebagai siswa di HIK, mereka wajib menguasai paling tidak satu alat musik. Yos tertarik dan terampil memainkan biola. Gurunya Pater J. van Schouten seorang pengajar musik handal yang terbiasa memimpin orkes dan koor pada masa itu. Salah satu muridnya yang tersohor di Indonesia adalah Cornel Simanjuntak dengan lagu ciptaanya “Maju Tak Gentar” yang mampu membakar semangat para pejuang kala itu dalam mempertahankan kemerdekaan. Di masa-masa tersebut dia sempat dijuluki Yos Stotteren, karena kalau berbicara gagap. Dia tidak pandai melafalkan kata-kata dalam bahasa Belanda. Yang dia kenal kata tidak menyerah dan terus berlatih walau peluh membasahi bajunya dan matanya berlinang air mata. 

Frans Seda kembali bertemu dengan Yos saat diambil sumpahnya oleh Presiden Sukarno, Frans Seda dipercaya sebagai anggota DPR-GR dan Yos sebagai anggota Dewan Perancang Nasional (Depernas). Pertemuan ini kembali membuat terkesan seorang Frans Seda, “yang menarik saya saat itu Yos tidak lagi tersendat-sendat jika berbicara dan tubuhnya kurus bila dibandingkan saat sekolah dulu”. Frans Seda sampai berkata, “ kau ini aneh Yos, tubuhmu menjadi kecil tetapi jiwamu semakin besar.” Sambil tersenyum Yos menimpali, “Banyak pikiran.”

Mengikuti Pendidikan Militer

Selepas dari HIK, Yos melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Pelayaran di Semarang. Di sinilah dia semakin ditempa  untuk menjadi pelaut yang tangguh dan jujur. Salah satu temannya yakni  Ambardy seorang Letkol pelaut dan pernah menjabat Kepala Pusat Penerangan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) memberikan kesaksian, Yos seorang pemuda yang penuh semangat, enerjik, keras kemauan, tajam pikirannya, dan suka menolong. Meskipun sangat berbakat dalam kepemimpinan, namun tetap sederhana dan rendah hati.” 

Banyak cerita pada masa pendidikan yang memperkuat kesaksian dari Letkol (P) Ambardy. Seperti kemauan kerasnya untuk tetap ikut berlatih mendayung, padahal saat itu laut sedang bergelora dan gelombangnya begitu besar. Yos tidak mengindahkan saran temannya dan tetap jalan terus. Lain waktu dia juga suka menolong teman-temannya dengan menerangkan setiap pelajaran yang kurang dipahami.

Revolusi kemerdekaan tidak dapat terelakkan, Belanda masih ingin menancapkan tajinya di Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaan di tahun 1945. Yos pun ikut bergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut. Pertempuran pertama yang dia ikuti terjadi di jajaran kepulauan Maluku. Mereka membutuhkan kapal besar untuk membawa tentara maupun sukarelawan untuk ikut bertempur, mereka menjadikan kapal dengan ukuran 60 ton yang di berikan mesin sehingga bisa beroperasi. Kapal ini nantinya adalah moyang dari semua kapal yang menjadi armada Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Disini Yos mengungkapkan pernyataannya yang terkenal: “Alat-alat tidak berperang, yang berperang adalah manusia di belakang alat-alat tersebut.” Perangpun pecah di Pulau Buru. Sempat lolos saat di Pulau Buru, namun Yos akhirnya tertangkap pasukan Belanda di Pulau Seram. Yos kemudian baru dibebaskan saat ada tukar menukar tawanan pada 1947, saat Yos sudah berada di Penjara Makassar.

Setelah bebas, dia mengikuti Latihan Opsir Kilat di Kalibakung, Yogyakarta. Komandannya Mayor RE Martadinata. Hubungan keduanya cukup harmonis sehingga kembali bertemu saat Martadinata sebagai Panglima Angkatan Laut dan Yos sebagai Deputy I atau bisa dibilang tangan kanannya R.E. Martadinata. Hubungan baik juga selalu terjalin antara Yos dengan anak buahnya. Yos sangat penuh perhatian, dia tidak membeda-bedakan orang. Baik dari yang pangkatnya persis dibawahnya sampai pangkat paling rendah di ALRI. Seperti pengakuan seorang kelasi yang merasakan dihargai saat Yos mengungkapkan, “Tahulah engkau, nasib kapal ini tergantung sama sekali dari engkau.” 

Di lain kesempatan dia juga pernah berkata, “Bukankah lebih baik menjadi taji ayam jantan yang sekalipun kecil tapi merupakan senjata ampuh kebanggan si ayam jantan, daripada menjadi seekor kerbau yang sekalipun besar tanduknya, tetapi hanya kopat kapit bertugas mengusir lalat?” Percaya diri selalu ditanamkan kepada anak buahnya. Kedekatannya dengan anak buahnya juga tercermin saat ada dinas di Surabaya. Sudah disiapkan penginapan untuknya, Yos lebih memilih bermalam di kapal bersama anak buahnya.

Selesai masa revolusi kemerdekaan, Yos kembali memperdalam ilmu milternya di Negeri Belanda. Sempat diejek kalau dia bakal menghabiskan masa belajarnya selama 12 tahun dari 2 tahun waktu normalnya dan dia mampu menjawab ejekan tersebut dengan menyelesaikan masa belajarnya enam bulan saja. Saat mengikuti tugas belajarnya itu dia sudah berpangkat letnan, ada terselip foto  saat hendak berangkat ke Belanda, dia terlihat gemuk dan memakai kumis. Di balik fotonya itu dia menuliskan salah satu pedoman hidupnya, “Dunia ini hanya untuk orang yang kuat.”

Karier di Militer

Perjalanan hidupnya di bidang militer terus berkembang, dia ikut dalam operasi militer di perairan Aceh sebagai Komandan Korvet Rajawali. Setelahya dipromosikan menjadi Komandan Divisi Kapal Selam dan akhirnya mengikuti pendidikan lagi di Akademi Angkatan Laut (AAL) Surabaya sebagai bagian dari kursus ulangan perwira. Pada 1950, setelah Belanda secara penuh mengakui kedaulatan RI, Yos menjabat sebagai komandan dan memimpin cukup banyak kapal milik republik, dari KRI Alu, KRI Gajah Mada, KRI Rajawali, hingga KRI Pattimura. Yos juga sempat menjabat sebagai hakim pengadilan militer selama 4 bulan pada 1958. Semua diikutinya dengan baik dan mampu menjawab keraguan orang-orang yang ada dilingkaran ALRI akan pengabdian penuhnya kepada negara. ALRI dia lukiskan sebagai anak kandung rakyat. Rakyat adalah induknya, karena itu tak boleh melepaskan diri dari induk itu. Kemajuan ALRI berarti kemajuan induknya, jangan malah berjalan sendirian. 

Gejolak internal ALRI pada 1959 menjadi titik krusial dalam karier militer Yos Sudarso. Ia turut dalam rombongan Letnan Kolonel Ali Sadikin yang tidak sepakat dengan kepemimpinan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAU), Laksamana Subiyakto. Konflik tersebut disebut-sebut terkait dengan perbedaan pandangan politik, juga idealisme, di kalangan perwira angkatan laut. Demi meredam polemik, Subiyakto mundur, digantikan R.E. Martadinata yang memang dulu pernah menjadi atasannya langsung. Tak lama usai suksesi itu, Yos Sudarso naik pangkat berturut-turut dalam tempo singkat, dari Deputi I/Operasi, dengan pangkat Letnan Kolonel hingga Komodor (Laksamana Pertama). Saat Yos gugur dalam Pertempuran Laut Aru pada 15 Januari 1962 itu, ia menjabat sebagai Deputi Operasi KSAL atau orang nomor dua di Angkatan Laut Republik Indonesia. 

Sebagai seorang perwira dia tidak pernah menggunakan pengaruhnya untuk mengambil keuntungan pribadi. Banyak relasi yang datang berkunjung dan selalu diterima baik oleh Yos, namun apabila pembicaraan beralih ke soal bisnis segera tamu itu dipersilahkan membicarakannya dengan perwira lain. Kejujurannya terpelihara baik sampai dia menjadi perwira penting di ALRI.

Sebagai pemuda dewasa Yos memilih Josephine Siti Kustini, gadis asal Ngawi, Jawa Timur yang belajar di sekolah susteran di Surabaya untuk menjadi istrinya. Saat melamar Yos berkata terus terang kepada Kustini, bahwa pada tempat pertama dia adalah milik negara, setelah itu barulah dia milik keluarganya. Pernyataan Yos ini akhirnya disadari bukan sekedar formalitas belaka, melainkan keyakinan hatinya sesuai dengan panggilan hidupnya selaku seorang perwira Angkatan Laut. Mereka menikah tahun 1955 dan dikaruniakan lima anak namun dua di antaranya meninggal.  Pasangan ini hidup secara sederhana, sifat yang sudah diturunkan oleh ayahnya. Teladan kesederhanaan Yos terlihat walau dia sudah menjadi orang kedua tertinggi di ALRI saat itu, ia menerima seragam tanpa di vermaak langsung dikenakan begitu saja sehingga di bagian leher tampak kelonggaran. Di lain waktu Yos juga lebih memilih untuk tidak mengganti pet kebanggaan ALRInya walau sudah dihimbau agar diganti dengan yang baru oleh sesama perwiranya. “Mengapa harus diganti? Ini juga baik. Apakah orang lain juga sudah ganti semua?” begitu kilahnya.

 

Pertempuran di Laut Aru

Saat pertempuran di Laut Aru terjadi, Yos menjabat sebagai Deputi Operasi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) atau orang nomor dua di ALRI. Operasi di Laut Aru merupakan rangkaian dari misi membebaskan Papua Barat dari Belanda setelah Presiden Sukarno menyerukan Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961. Urusan Papua Barat memang belum bisa dituntaskan di Konfrensi Meja Bundar. Ada tiga Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) yang dilibatkan dalam operasi senyap di perairan Maluku pada malam 15 Januari 1962 itu, yakni KRI Macan Tutul, KRI Macan Kumbang, dan KRI Harimau. Mereka berangkat awal Januari dari Tanjung Priok, pelabuhan Jakarta. Sebenarnya ada empat kapal tipe Motor Torpedo Boat (MTB, kapal cepat torpedo) buatan Jerman. Satu terdampar mengalami nasib buruk, jadi tinggal KRI Macan Tutul, KRI Harimau dan KRI Macan Kumbang yang mencapai Kepulauan Aru tepat waktu. Terdapat juga sebuah kapal suplai dengan sekitar 150 tentara Indonesia di dalamnya. Yos adalah pemimpin KRI Macan Tutul. 

Pergerakan Yos dan tiga unit KRI yang beroperasi di Laut Aru itu ternyata tercium oleh armada perang Belanda. Ada tiga kapal perang berukuran besar dengan persenjataan yang lebih lengkap di kubu lawan, salah satunya Hr. MS. Evertsen yang dilengkapi torpedo yang bisa menghancurkan buritan kapal lawan. Sadar kalah perlengkapan tempur, Yos memerintahkan ketiga kapal republik putar balik agar mundur untuk sementara. Kapal Belanda yang menyangka gerakan itu adalah manuver untuk menyerang segera melepaskan tembakan. 

Yos berpikir keras, harus ada kapal republik yang selamat. KRI Macan Tutul yang dipimpinnya lantas pasang badan sebagai umpan, memberi peluang dua kapal republik lainnya untuk menyelamatkan diri. KRI Macan Tutul kini harus berhadapan dengan kapal perang Belanda yang siap menembak. Tembakan pertama meleset. Namun, di kesempatan kedua, KRI Macan Tutul kena telak. Kapal perang buatan Jerman Barat itu pun terbakar dan perlahan tenggelam.

Seorang kelasi menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya. Dia melihat Komodor Yos membalut luka di bagian kepala. Mendadak tembakan dari jarak dekat meletus. Kelasi tersebut jatuh tiarap. Ketika bangkit, tak dilihatnya lagi Komodor Yos. Rupanya dia mengalami luka berat. Tetapi masih sempat masuk ke ruangan peta. Di situ ada radio walkie talkie. Dengan peralatan tersebut Yos menyampaikan pesan terakhir, “Kobarkan semangat pertempuran, Macan Tutul tenggelam dalam pertempuran laut secara gentleman and brave (kesatria dan berani).” 

Laut yang dulu dianggapnya sebagai jembatan pemersatu dari negara kepulauan menjadi tempat peristirahatan terakhirnya. Pengabdiannya selesai sama dengan apa yang pernah diucapkannya dahulu saat mau menikah, bahwa ia sepenuhnya adalah milik negara. 

Seperti yang tercantum dalam Injil Markus 12:17 ”Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” Yos hingga akhir hidupnya taat dan setia dalam menjalani tugasnya bagi negara. Semangat, keteguhan batin, kejujuran dan kesederhanaan yang dimiliki oleh Yos Sudarso merupakan bukti kasih dan imannya kepada Kristus, Sang Pemilik Kehidupan yang kekal.

 

Kepustakaan

Berbagai sumber tulisan tentang Yos Sudarso dari internet.

Sketsa Tokoh, Catatan Jakob Oetama, Intisari. 

 

Perlando Panjaitan