MAURITS MANTIRI: JIKA RAKYAT TERSENYUM, TUHAN JUGA TERSENYUM

MAURITS MANTIRI: JIKA RAKYAT TERSENYUM, TUHAN JUGA TERSENYUM

 

“Kita seharusnya memandang gereja dan politik atau ketatanegaraan tidak terpisah,”terang Maurits Mantiri, Walikota Bitung, Sulawesi Utara.”Saya sering mendengar dari kalangan gereja itu suci, politik itu kotor. Seakan-akan gereja berada dalam dunia lain, dan politik ada di dunianya sendiri. Padahal tidak ada pemisahan, karena kita hidup dalam dunia yang sama, dunia yang diciptakan Tuhan untuk kebaikan semua dan untuk kemuliaan-Nya. Baik kita sebagai warga gereja maupun warga negara berada dalam udara yang sama yang setiap hari kita hirup, tegasnya lebih lanjut. 

Mauritnya menyebut, gereja di Indonesia hidup dalam ruang-ruang politik dalam hal ini ketatanegaraan. Keberadaan dan pertumbuhannya juga dipengaruhi perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang berlaku. Karena itu, jika gereja ingin menghadirkan kebaikan, keadilan dan tanda-tanda Kerajaan Allah di tengah dunia, gereja dan warganya tidak boleh “alergi” dengan politik, malah harus terlibat dan mewarnai pengambilan keputusan politik. Maurits menegaskan politik tidak kotor, karena politik punya tujuan membawa masyarakat kepada kesejahteraan. Yang harus dijauhi menurutnya adalah oknum politikus yang berperilaku “kotor” dan yang jalannya “sesat”. 

Pada 2002, Maurits Mantiri meninggalkan kenyamanannya sebagai seorang manajer produksi sebuah perusahaan pengalengan ikan yang besar, memasuki dunia politik yang penuh ketidakpastian. 

“Saat itu saya sudah mapan secara materi. Sementara sebagai politisi saya belum tentu terpilih sebagai anggota legislatif. Kalaupun terpilih sebagai anggota dewan, penghasilannya belum tentu sepasti jabatan saya sebelumnya. Bicara soal gaji, tentu saja gaji sebagai manajer perusahaan perikanan lebih besar. Karena batin saya tidak rela melihat ketidakadilan maka saya masuk politik,”ungkapnya. Dorongan awalnya adalah ketika melihat Megawati pada saat itu diperlakukan tidak adil.

“Muncul juga semangat untuk membela rakya kecil yang membuat saya terdorong memasuki dunia politik. Beberapa partai saya coba kemudian saya merasa lebih cocok bergabung dengan PDI-P dan bergabung di sana. Tahun 2004 saya mencalonkan diri sebagai anggota Dewan dan terpilih,”lanjutnya. 

Masa kecil dan remaja yang penuh perjuangan dan menghadapi berbagai pengalaman ketidakadilan dan kesulitan hidup, membuat Maurits ingin membantu dan menolong masyarakat kelas bawah berjuang memperbaiki kesejahteraan. 

 

Anak Bitung Asli

 

Maurits Mantiri, lahir pada 26 Maret 1965 di Bitung, Sulawesi Utara. Pendidikan dasar dan menengahnya dijalani di Bitung. Sementara gelar insinyur perikanan diperolehnya dari Universitas Sam Ratulangi, Manado pada 1991. Nantinya sembari menjabat Wakil Walikota Bitung, ia menyelesaikan gelar Magister Manajemen pada 2018, dari almamater yang sama, Universitas Sam Ratulangi. 

Maurits menyebut dirinya berasal dari keluarga sederhana dan masih berpola pikir tradisional. Ayahnya orang Minahasa, ibunya berasal dari Sangir. Meskipun keluarga besarnya sudah lama masuk Kristen, papanya yang orang Manado asli masih berpikir tradisional. Papanya dan keluarga besar dari pihak papa masih percaya kepada hal-hal dan ilmu-ilmu gaib. Ambil contoh, setiap kali ada ular hitam masuk ke dalam rumah, keluarga Maurits segera mengadakan upacara tolak bala dan membuang sial. Mereka mesti memotong babi, memanggil orang pintar dan sebagainya. Pendeknya kedatangan ular hitam menghabiskan uang keluarganya. 

“Di Minahasa sekitar tahun 1970-an memang demikian,”tutur Maurits.”Mama saya seorang Sangir, guru sekolah dan penatua berpikir sebaliknya. Kalau setiap ular hitam masuk, kita potong babi, makin lama habis babi kita potong.”

Maurits sebagai seorang anak yang termasuk cerdas di angkatannya, lebih cenderung mengikuti pandangan mamanya. Suatu sore ketika Maurits kecil pulang dari bermain bola, di tiang pintu depan rumahnya melingkar ular hitam. Maka Maurits segera mengambil pemukul untuk mematikan ular tersebut dan membuktikan bahwa pandangan papanya salah. Waktu itu Maurits masih berusia sekitar 10tahun, masih kelas 4 SD. Papanya marah dan menegur Maurits. “Mengapa kamu bunuh ular itu, mati kamu nanti!”teriak papanya. 

“Pa, lihat saja, apakah saya nantinya saya akan mati kalau Tuhan berpihak pada saya. Kita tunggu saja seminggu kemudian,”balas Maurits. Ternyata seminggu ditunggu tidak terjadi apapun, semua aman. Maka sejak hari itu keluarga Maurits berhentik melakukan upacara yang menghabiskan biaya tersebut. Ternyata pembaruan pikiran sebuah keluarga bisa digerakkan oleh seorang anak 10 tahun. Sejak saat itu, keluarganya mulai aktif dalam kegiatan gereja. 

Tapi itu ternyata belum selesai. Pernah waktu Maurits duduk di kelas 1 SMP, mamanya sakit. Bukannya mengantar berobat ke dokter, papanya lebih memilih memanggil “orang pintar”. Orang pintar tersebut mempersiapkan berbagai bahan-bahan untuk ritual pengobatan mama Maurits. Dari semua anggota keluarga, hanya Maurits yang tidak mau ikut ritual tersebut. “Saya tidak mau ikut, dari dapur saya berkomentar ‘Mah, masa sih Tuhan Yesus mau digantikan dengan kuasa yang lain, yang tidak jelas?”komentar Maurits. Kata “orang pintar” yang dipanggil suhu tersebut mamanya sakit karena dibuat oleh orang yang tidak suka. Suhu tersebut dipercaya memiliki kekuatan melebihi orang biasa. Ketika ritual selesai, dan mengantar suhu tersebut pulang, mereka dicegat oleh segerombolan orang. Suhu tersebut terlihat sombong dan keluar mobil, mengira orang takut dengan latar belakangnya sebagai “orang pintar”. Ternyata para pencegat tersebut tidak takut dan memukul sang suhu tersebut. Hingga makin yakinlah Maurits, “orang pintar” tersebut tidak lebih seorang yang banyak bicara namun tidak punya kemampuan. Maka pandangan keluarganya pun mulai berubah terhadap para orang pintar. 

Aktif di Gereja dan Pramuka

Sejak kecil Maurits sudah rajin mengikuti Sekolah Minggu dan menghafal cerita-cerita Alkitab. Masuk remaja, Maurits sudah sering dilibatkan berbagai kegiatan gereja, seperti menjadi panitia perayaan, pemain drama-drama natal atau paskah (tonil). Bahkan saat menginjak kelas 1 SMA, ia sudah dipercaya mengajar Sekolah Minggu. Pernah ia mengikuti pembinaan Guru Sekolah Minggu yang diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia, sekitar tahun 1981. 

Melihat kesungguhan dan keaktifan Maurtis di gereja, seorang pendeta dari Gereja Pentakosta ingin mengajaknya untuk melanjutkan sekolah di Malang. Namun, mamanya tidak setuju, sehingga Maurits tetap menjalani SMA di Bitung hingga selesai pada 1984. Memilih fakultas perikanan, karena gurunya menyebut masa depan perikanan sangat cerah. Sementara Sulawesi Utara dan Bitung khususnya terkenal dengan penangkapan dan pengolahan hasil perikanan laut. “Pilihan ini nantinya terbukti cukup tepat, karena begitu saya lulus S-1, di sekitar Bitung bermunculan pabrik-pabrik pengalengan ikan,”tuturnya. 

Di luar keaktifannya di gereja, selama duduk di bangku sekolah Maurits terlibat aktif dalam kegiatan Pramuka. Sejak SD ia sudah terbiasa mengikuti perkemahan-perkemahan Pramuka. Demikian juga perlombaan dan festival-festival olah raga antar Gugus Depan Pramuka. Kebetulan mamanya yang adalah guru juga seorang pembina Pramuka yang sangat aktif. Jadi Maurits dan kakak-kakaknya didorong untuk terlibat dalam kepramukaan. Terakhir kali di Bangku SMA, Maurits ikut dalam Jambore Nasional di Cibubur. Seorang kakaknya, ikut Jambore Nasional yang diselenggarakan di Sibolangit, Sumatera Utara. Pernah juga Maurits ikut Jambore tingkat Asia Pasifik di Karangkates, Surabaya. Pramuka menempanya dengan banyak manfaat seperti: kedisiplinan,  kepemimpinan kerja sama dan banyak hal baik lain. Seperti di dalam gereja, lewat Pramuka Maurits memperoleh pembinaan mental spiritual. 

Berjuang dan Belajar Mandiri

Sejak kecil Maurits memang sudah dibiasakan orang tuanya untuk menjadi pejuang dan petarung. Tidak ada suasana manja dalam keluarga. Terlebih kehidupan keluarganya sempat mengalami masa-masa yang tidak mudah. 

Mamanya hanya seorang guru SD dengan penghasilan pas-pasan. Sementara papanya beberapa kali berjuang untuk membangun usaha, dan berkali-kali pula mengalami jatuh bangun. Pernah papanya mencoba merintis usaha transportasi, beternak babi, kopra dan usaha pertanian. Masa sulit hadir ketika pemerintah melarang kopra diekspor langsung keluar dan harus melalui perusahaan pengumpul. Papanya yang sudah membuat perjanjian dengan sebuah perusahaan Taiwan akhirnya batal akibat aturan baru pemerintah tersebut. Papanya sudah mengumpulkan dan membeli banyak kopra dari para petani dan membangun gudang. Akibatnya usaha papanya bangkrut. Papanya menghibur suatu ketika,”Kita pernah nyaris kaya tapi digagalkan.”

Sebenarnya secara ekonomi keluarganya tidak kekurangan. Namun mamanya selalu mengajarkan kemandirian  dan kemauan berjuang. Di luar waktunya mengajar, mamanya tanpa sungkan-sungkan menjadi juru masak dalam pesta-pesta perkawinan atau hajatan masyarakat. Kadang cuma diupah makanan, kadang diberikan ongkos sekadarnya. Namun melalui peristiwa itu mamanya sedang memberi teladan bagi anak-anaknya untuk pantang menyerah dan terus berusaha berjuang. 

“Gara-gara mama pintar memasak, kami semua terlatih membuat abon ikan, membuat minyak goreng, hingga berjualan es,”tutur Maurits. Ia mengenang waktu masih SD, di tengah panas terik matahari, sepulang sekolah ia pikul termos es dan berkeliling kampung sambil teriak,”Es…es…es!” Pada masa itu, orang membayar es bisa dengan uang bisa dengan barang bekas yang nantinya dijual kembali oleh Maurits. 

“Akibat papa bangkrut dan tidak jadi kaya, kami dilatih untuk belajar mandiri dari kecil. Belajar mencuci baju sendiri, menyetrika sendiri, bahkan memasak sendiri. Semua biasa kami lakukan,”katanya. Papanya bahkan mengajar semua anaknya kebiasaan makan bersama. “Makan harus rame-rame!”kata papanya. Tujuannya bukan sekadar demi kebersamaan, tapi yang utama agar bisa menghemat makanan. “Karena kalau kita makan sendiri-sendiri, persediaan nasi dan lauk di dapur tidak akan cukup. Tetapi kalau bersama, kita bisa saling berbagi dan mencukupkan dari apa yang ada,”kenang Maurits. 

Menikah Cepat

Selama menjalani pendidikan di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Maurits bukan hanya aktif dalam perkuliahan namun juga aktif dalam persekutuan oikumene mahasiswa Kristen Unsrat. Di luar kampus ia aktif dalam persekutuan pemuda di gerejanya (GMIM) dan menjadi pengurus Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Kegiatan yang begitu padat membuat Maurits belajar berdisiplin dengan waktu dan belajar menata jadwal kegiatan. Kebiasaan baik yang terus dibangunnya hinga sekarang.  

Ketika masih duduk di tingkat 2 bangku kuliah, sekitar 1986, Maurits memutuskan menikahi pacarnya sejak remaja,Rita A.L. Tangkudung. Sebuah keputusan yang mengagetkan banyak pihak, karena Maurits tergolong masih sangat muda. Masih sekitar awal 20-an tahun. Pacarnya dua tahun lebih tua. Tetapi mereka berdua memang sudah kenal lama, karena teman sesama aktivis gereja. Istilahnya cinta lokasi. 

Meskipun mereka memutuskan menikah cepat, di hadapan kedua orang tua mereka berjanji sesegera mungkin menyelesaikan kuliah. Meskipun tidak selalu antara harapan berjalan seiring. Maurits sedikit tertunda penyelesaian kuliahnya dan baru selesai 1991. Dari pernikahan ini Maurits dikaruniai dua orang putera. Istrinya seorang insinyur teknik dan menjadi seorang pegawai negeri (ASN) di lingkungan Kementerian PUPR. 

Mulai Bekerja

Pada tahun 1991, Maurits menyelesaikan pendidikan S1. Di masa itu, Maurits begitu sibuk dengan berbagai kegiatan di gereja. Terutama dalam kegiatan kepemudaan. Orang tuanya mencoba mengingatkannya,”Maurits kamu ini sudah kawin. Kamu ini malah sibuk urus ini itu, kapan kamu serius mencari kerja?”

Pendetanya di gereja tahu pergumulan Maurits. Katanya,”Maurits, kamu tetap semangat mengurus pemuda di gereja. Tuhan tidak mungkin berdusta kepadamu.” Pendetanya mengajak Maurits yakin dan jangan mencemaskan masa depan.Pendetanya memberi masukan karena Maurits sempat ragu dan mencemaskan masa depan keluarganya terutama istri dan anaknya.  

Tahun 1992, ia diterima bekerja di PT Estada Pesca, sebuah perusahaan perikanan di Bitung. Di perusahaan ini Maurits merintis karir dari bawah, dari buruh biasa hingga menjadi senior supervisor. 

“Saya memang tidak menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Karena saya berkaca dari mama, yang seorang PNS hidupnya serba pas-pasan,”katanya. “Cita-cita saya ingin menjadi Direktur Perusahaan.” 

Dari mulai masuk bekerja hingga mejadi supervisor, Maurits hanya memerlukan waktu satu setengah tahun. Cukup cepat di angkatannya. Kuncinya katanya  adalah ketekunan dan kesediaan memberi lebih. Hal yang sudah biasa dilakukannya dalam pelayanan di gereja maupun persekutuan mahasiswa. 

“Mereka yang disebut karyawan yang rajin, kerjanya paling antara 10-12 jam per hari. Saya waktu itu mampu memberikan waktu bahkan 17 jam sehari. Gaji saya waktu itu sekitar 85 ribu sebulan. Hanya cukup untuk makan keluarga kami. 

Sejak menikah Maurits dan keluarganya tinggal bersama orang tua istrinya. Ini menjadi sebuah tantangan tersendiri, karena di kalangan Manado kalau orang tinggal bersama mertua banyak orang sering meremehkan dan menyindir tinggal di “Pondok Mertua Indah”. Cara berpikir Maurits berbeda. Menurutnya dalam konsep kekristenan tidak salah tinggal bersama mertua. Karena anak memiliki tanggung jawab mengurus dan merawat orang tuanya di masa tua. Anak tidak boleh menelantarkan orang tuanya. Jadi dengan tinggal bersama, kedua pihak bisa saling menolong dan menopang. 

Suatu sore, saat Maurits pulang dari tempat kerja, anaknya Raldi sakit panas tinggi, hingga mengalami kejang-kejang. Untunglah mertuanya punya banyak pengalaman menangani anak yang demam tinggi hingga kejang. Sehingga bisa memberikan pertolongan pertama dengan tepat kepada Raldi. Maurits membawa puteranya ke rumah sakit dan setelahnya membayar biaya pengobatan sebesar 85 ribu rupiah. 

“Itu adalah gaji pertama saya bekerja. Gaji pertama habis hanya untuk membayar sekali biaya pengobatan. Pengalaman ini pernah saya ceritakan ke anak saya,’gaji pertama papa dari pabrik habis cuma untuk bayar kamu’. Satu bulan kita gak memegang uang,”ceritanya sambil tertawa. Meskipun beberapa kali mengalami pergumulan sulit atau perjuangan-perjuangan hidup, Maurits dan istrinya tidak pernah mengeluh dan membebani orang tuanya. 

Pernah orang tuanya mencoba menyurati rektor Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), agar bersedia menerima Maurits sebagai tenaga pengajar di Universitas Sam Ratulangi. Karena kebetulan mertuanya juga dosen di Fakultas Ekonomi perguruan tinggi tersebut. Ketika Maurits tahu rencana mertuanya, dirinya menolak. Ia tidak bersedia masuk melalui KKN atau surat khusus. Ia ingin berjuang sendiri dan membangun mimpinya sendiri mengandalkan ketekunan diri dan pertolongan Tuhan. 

Memenangkan Penghargaan Sinar Mas Grup

Sekitar 1994, ia pindah bekerja di PT Sinar Pure Foods, anak perusahaan Sinar Mas Grup. Prestasi Maurits di tempat yang baru juga cukup baik. Dalam posisi sebagai karyawan hingga supervisor ia mulai aktif dalam serikat perburuhan baik di perusahaannya sendiri, maupun di tingkat Kota Bitung. Ia mengikuti berbagai pelatihan yang diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Semua hal tersebut memperluas wawasan dan menumbuhkan jiwa kepemimpinannya. 

“Saya juga membuat persekutuan oikumene di perusahaan. Saya berani memberi jaminan kepada perusahaan bahwa persekutuan tidak akan mengganggu kinerja perusahaan dan bahkan akan meningkatkan produktivitas,”tuturnya.”Lewat persekutuan kita berikan motivasi agar mencapai sukses setiap orang harus menjadi teladan di tempat kerja, jangan terlalu banyak tidur, jangan malas, jangan sedikit-sedikit izin, jangan mengambil apa yang bukan hak kita, misalnya menipu timbangan ikan dari nelayan dan ternyata manfaatnya sangat positif,”lanjutnya. 

Ternyata dari sebuah perusahaan yang pada 1995 hampir bangkrut, perusahaan pada 1997 mulai meraih untung besar. Perusahaan mendapatkan berbagai pernghargaan dari berbagai pihak. Imbas lainnya karir Maurits pun mulai naik dan dirinya dikirim mengikuti training ke berbagai tempat.  

Sekitar 1999, Sinar Mas Grup mengadakan perlombaan manajemen “Rising The Sky”. Perlombaannya adalah setiap peserta diminta untuk membuat ide-ide kreatif dan menjabarkan dalam proses yang bisa memberikan keuntungan bagi perusahaan di atas 1 M. Maurits memberanikan diri ikut perlombaan tersebut. Saat mempersiapkannya ia membaca banyak membaca buku. Dia yang sudah terbiasa membuat presentasi dengan Power Point berusaha mempresentasikan programnya dengan baik. Saingan-saingannya dalam lomba tersebut dari beragam latar belakang perguruan tinggi, bahkan ada lulusan dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat dan lulusan program doktor dari Negeri Belanda. Pernah ada seorang peserta bertanya,”Pak Maurits lulusan dari mana?” Maka Maurits pun menjawab,”Dari Unsrat Manado.” Tampaknya peserta tersebut tidak terlalu mengenal Unsrat karena wajahnya tampak biasa saja mendengar jawaban Maurits. Setelah melalui beberapa tahapan penilaian, ternyata Maurits berhasil memenangkan The Best Presentation dalam perlombaan tingkat nasional tersebut. Sebuah kebanggaan tersendiri. 

Beralih ke Bidang Politik

Setelah beberapa waktu menimbang-nimbang, pada 2002 Maurits mengundurkan diri dari perusahaan yang memberinya kemapanan dan kepastian kesejahteraan keluarga. Waktu itu dirinya sudah menjadi Manajer Produksi. 

“Alasan saya masuk politik karena tidak nyaman setiap melihat ketidakadilan di sekitar saya. Mungkin ini dibentuk karena pengalaman-pengalaman masa kecil hingga remaja yang saya dan keluarga alami. Waktu itu saya melihat ketidakadilan yang dialami Ibu Megawati yang menggerakkan saya untuk merenung dan memberikan bakti lebih buat masyarakat,”tuturnya. 

“Motivasi saya masuk politik bukan gaji, karena gaji saya sebagai manajer jauh lebih besar. Ini bukan sekadar ucapan, saya seperti digerakkan untuk lebih peduli dan membela kehidupan masyarakat bawah. Saya mencoba melihat visi dan misi, mencoba bergabung dengan beberapa partai, namun agaknya saya merasa cocok dengan PDI Perjuangan (PDI-P). Apalagi menurut saya PDI-P lahir dan muncul dari ketidakadilan,”lanjutnya. 

Setelah dua tahun bergabung, pada 2004 Maurits mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bitung dan kemudian terpilih sebagai anggota Dewan. Periode 2006-2010 menjadi Ketua Komisi A DPRD Kota Bitung, 2010-1015 Maurits dipercaya sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Bitung. Pada 2016-2021 Maurits dipercaya masyarakat menjadi Wakil Walikota Bitung dan akhirnya mulai 2021 hingga saat ini beliau melangkah menjadi Wali Kota Bitung. 

Moto kepemimpinannya sederhana, “Membuat Masyarakat Tersenyum”. Baginya jika rakyat bisa tersenyum, maka Tuhan pun akan tersenyum. Maka tagline yang selalu digaungkannya di Bitung untuk memotivasi seluruh aparatur di bawahnya adalah Sepakat, artinya Selesaikan Permasalahan Rakyat. Ia tidak pernah berhenti untuk mencoba inovasi-inovasi atau cara-cara baru dalam menaikkan kesejahteraan masyarakat. 

Menurutnya menolong dan melayani masyarakat adalah tanggung jawab setiap pemimpin dan pelayan masyarkat. Misalnya, menolong orang yang mengalami kecelakaan di tengah jalan, menyapa orang yang kesepian, mengobrol dengan masyarakat bawah merupakan tugas wajar seorang pemimpin bahkan setiap manusia terhadap sesama. Semua tidak harus dipandang sebagai pencitraan. Pencitraan muncul dari ketidaktulusan, sementara berbuat kebaikan muncul dari ketulusan dan panggilan sebagai orang percaya. 

Bitung bagi Sulawesi Utara maupun Indonesia memegang peran penting, karena dari sekitar 14 pabrik pengolahan ikan yang besar di Indonesia, tujuh di antaranya berada di Bitung. Mayoritas produknya adalah ikan cakalang dan tuna. Namun, Maurits tidak ingin Bitung hanya berjaya di sektor lautan dan perikanan. Ia berharap Bitung bisa lebih sejahtera dengan sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Salah satu usahanya adalah menjadikan Bitung sebagai kota digital. Menurutnya teknologi digital bisa menolong dan menyelesaikan banyak hal dengan lebih efisien dan lebih efektif. 

“Kami menggaungkan “Bitung Kota Digital” dimulai dengan meningkatkan kualitas internet di Bitung. Kami membuat sekitar 1.000 titik Wi-Fi yang baru. Hampir setiap RT kami buat satu titik Wi-Fi,”katanya. “Jika tingkat keterbukaan dan pengetahuan masyarakat meningkat, maka kemajuan pada bidang lain akan mengikuti,”lanjutnya.

Menurut Maurtis angka putus sekolah di Bitung dalam usia produktif sekitar 30.000 orang. Untuk menolong mereka memperoleh ijasah sekolah melalui penyetaraan tidak mudah. Mengembalikan mereka ke bangku sekolah tidak memungkinkan. Jika mereka yang putus sekolah ini dibiarkan, mereka ini akan menjadi drunken master, anak-anak nakal, dan tanpa harapan. “Jika mereka yang berlatar belakang pendidikan SD dan SMP ini tetap diterima di dunia kerja, biasanya mereka susah berkembang, dan hanya menjadi beban perusahaan,”kata Maurits. “Dengan pembelajaran sistem online yang dirancang Dinas Pendidikan Bitung, masyarakat tergerak untuk ikut serta,”katanya. “Banyak dari mereka sangat senang ketika akhirnya memperoleh ijasah SMA.”

Informasi terbaru Google Indonesia tertarik untuk menjalin kerja sama dengan Pemerintah Bitung untuk membantu program pendidikan online ini melalui Google for Education. Maurits juga berkomitmen untuk menyediakan beasiswa bagi putra-putri Bitung untuk belajar lebih lanjut di bidang teknologi informasi maupun bidang lainnya. 

“Kalau kota sejahtera, maka masyarakat akan hidup rukun dan damai. Itulah yang berusaha kita wujudkan,””terangnya. 

Visi jangka panjang Maurits adalah Kerajaan Tanpa Akhir, yaitu menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah, kerajaan yang penuh rahmat dan damai sejahtera di tengah dunia (2 Tim. 4:1). Selagi masih hidup di dunia, setiap orang berarti masih diberikan kesempatan oleh Tuhan. Selama masih kuat, Maurits ingin terus melayani. Baginya hidup adalah kesempatan untuk melayani Tuhan dan sesama. Hingga Tuhan menjemput pulang ke dalam Kerajaan Tanpa Akhir yang penuh damai sejahtera.