Meester Cornelis Senen: Orang Saleh, Perintis Sekolah Pribumi di Batavia 

Meester Cornelis Senen: Orang Saleh, Perintis Sekolah Pribumi di Batavia 

Meester Cornelis Senen: Orang Saleh, Perintis Sekolah Pribumi di Batavia 

 

Untuk apa kita hidup? Untuk jadi berguna. Tuhan susah-susah bikin kita dengan tujuan supaya kita jadi orang berguna. Demikian tulis Andar Ismail dalam buku Selamat Berguna. Kutip Andar,”Kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik” (Ef.2:10). Maksudnya,”untuk melakukan hal berguna”, atau “untuk jadi berguna”. Agaknya ini pula yang ada dalam benak Cornelis Senen. Meskipun hidupnya tidak selalu mudah, ia ingin melakukan pekerjaan-pekerjaan baik untuk Tuhan, pekerjaan-pekerjaan yang berguna. Baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. 

Cornelis Senen lahir pada 1600 dari keluarga orang kaya di Selamon, Pulau Lontar, Kepulauan Banda. Menurut Willard Hanna dalam Hikayat Jakarta (1988), “mungkin sekali ia seorang peranakan Portugis dan dibesarkan dengan menganut kepercayaan Kristen.” Cornelis lancar berbahasa Portugis. Sekitar 1621, VOC(Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Maskapai Dagang Hindia Timur mengalahkan Portugis dan membantai banyak penduduk Banda dengan kejam untuk menguasai Kepulauan Banda yang kaya dengan rempah-rempah. Banyak penduduk Banda melarikan diri dan bermukin di berbagai kepulauan lainnya. Banyak penduduk Banda yang ditangkap dan diasingkan ke Batavia. Salah satunya yang diasingkan ke Batavia adalah Cornelis Senen. 

Setelah berada di Batavia, situasinya berubah dan Cornelis termasuk keturunan Portugis yang tidak dapat disamakan dengan pribumi Banda lainnya. Cornelis dibebaskan sebagai seorang “Mardijker”. Sebagai keturunan Portugis, sekalipun tinggal satu kompleks dengan budak-budak lainnya, namun diberikan bangsal yang terpisah. Budak- budak  asal Banda seperti halnya budak-budak yang berasal dari berbagai wilayah taklukan VOC dipekerjakan untuk membangun kota Batavia atau bekerja pada keturunan-keturunan Eropa. Banyak budak yang terbunuh atau melarikan diri karena beratnya pekerjaan yang dilakukan.

Istilah Mardijker sendiri berasal dari bahasa Sansekerta “mahardhika” yang artinya “kaya, kuat dan makmur” yang pada mengacu pada orang-orang bebas, yang tidak lagi hidup dalam perbudakan. Dalam bahasa Indonesia menjadi merdeka, yang artinya “bebas”.

Orang-orang buangan dari Banda kemudian diberikan tempat tinggal di wilayah yang disebut Kampung Banda. Cornelis diberikan tanggung jawab sebagai wijkmeester, atau Kepala Kampung Banda. Ia juga menjadi guru jemaat (guru Injil) bagi orang-orang Kampung Banda. Tetapi karena ia dikenal sebagai orang yang bijak dan saleh, Cornelis diberikan tugas yang lebih luas untuk melayani orang-orang merdeka baik yang berbahasa Portugis maupun Melayu. 

Pada 1635 ia membuka sekolah pertama untuk kaum pribumi di Batavia. Cornelis berharap orang-orang pribumi memiliki pengetahuan dan kesalehan yang setara orang-orang Eropa di Batavia. Dalam situasi di mana pemerintah VOC tidak pernah berharap bangsa pribumi menjadi orang-orang yang pintar, usaha dan perjuangan Cornelis pastilah tidak mudah. 

Dalam jemaat Melayu dan Portugis, selain berkhotbah Cornelis rajin mengunjungi sekolah-sekolah, mendidik dan menguji guru-guru, mengajar katekisasi, dan menguji calon baptisan. Pdt. Heurnius, salah satu pendeta di Batavia pada masa itu memuji Cornelis sebagai sosok yang memiliki semangat misioner. Karena semangat dan kesungguhannya melayani, Cornelis diangkat menjadi proponent, yaitu calon pendeta dan pada 1642 gajinya dinaikkan. 

Nama Cornelis semakin disegani, Sebagai seorang pemuka agama dan pemimpin masyarakat yang dihormati ia biasa disapa dengan sebutan Meester (baca: mister). Ia sering ditugaskan untuk menyelidiki berbagai masalah, yang menyangkut umat yang berbahasa Melayu bahkan orang Tionghoa. Meskipun Cornelis Senen sosok yang sangat disegani, sampai kematiannya ia tidak pernah menjadi seorang pendeta penuh. Mengapa demikian? 

Awalnya karena pemerintah VOC sendiri yang menentang pengangkatannya, alasannya karena mereka tidak senang kalau seorang Mardijker atau Merdeka menjadi anggota Majelis, apalagi menjadi pendeta jemaat. Pada masa itu orang-orang Eropa merasa kelas mereka lebih tinggi dari warga keturunan ataupun pribumi. Meskipun sebagian petinggi VOC menolaknya, Gubernus Jenderal Joan Maetzuyker selalu mendukung Cornelis. 

Tak lama sikap pemerintah terhadap pencalonan Cornelis mulai melunak, namun para pendeta tidak bersedia menerimanya sebagai aggota Dewan Gereja. Pada waktu hendak menempuh ujian pada 1657, ia ditolak. Pernah Cornelis mengunjungi keluarga Melayu yang menyunatkan anaknya. Dan karena kunjungan tersebut Cornelis mendapatkan teguran keras dari Dewan Gereja di Batavia. 

Versi lainnya, seperti ditulis Thomas van den End dalam Ragi Carita 1, Cornelis menempuh ujian di hadapan Majelis seperti setiap calon-calon pendeta yang lain. Dalam ujian tersebut pengetahuan Cornelis dianggap kurang, karena tidak pernah mengenal pendidikan dan pemikiran-pemikiran teologi Barat (Eropa). Karena itu ia tidak diberi kedudukan yang setingkat dengan pendeta-pendeta Belanda yang mengenyam pendidikan teologi di Eropa. Terhadap semua yang dialaminya Meester Cornelis tetap menjalankan pelayanannya dengan penuh kesabaran tanpa memprotes perlakuan tidak adil yang diterimanya. Status calon pendeta tidak menjadi masalah baginya. Ia tetap memimpin umatnya dan menerjemahkan berbagai buku agama ke dalam bahasa Melayu. 

Meskipun hanya calon pendeta, Cornelis ternyata sangat dihormati banyak orang Belanda dan pendeta-pendeta Belanda. Berdasarkan notula (catatan laporan rapat) majelis, Cornelis adalah seorang gembala jemaat yang sangat baik. Selain orang yang sangat berbakat dalam pelayanan, ia juga sangat terampil berbahasa Portugis. Banyak orang meminta nasihatnya seputar bahasa Portugis. Ia juga menjadi rujukan nasihat terkait pelayanan kepada orang-orang Merdeka dan Melayu. 

Thomas van den End menyimpulkan lewat riwayat hidup Cornelis Senen menjadi nyata nasib seluruh kekristenan Indonesia pada zaman VOC. Banyak orang Belanda pada masa itu tidak sanggup menilai orang-orang Kristen Indonesia dengan mengesampingkan ukuran-ukuran Barat. Meskipun pelayanan Cornelis sungguh bermutu, namun tetap dipandang rendah oleh orang Belanda. Padahal menurut van den End, gereja di Belanda termasuk wilayah jajahannya mestinya menganut tata gereja Calvinis yaitu tata gereja  presbiterial. Di mana prinsip utamanya tidak boleh ada jemaat/pejabat yang berkuasa atas jemaat/pejabat yang lain. Akibatnya kelas-kelas dalam masyarakat tersebut, kekristenan Indonesia tidak pernah mandiri dan tidak tidak dapat berkembang mencapai kedewasaan. 

Padahal Majelis Gereja dan pendeta-pendeta di Batavia pada masa itu menghadapi berbagai tugas yang sangat berat dalam menggembalakan umat, khususnya warga-warga gereja berkebangsaan Eropa. Sebagian besar orang-orang Eropa yang datang ke Batavia adalah orang-orang kasar, suka mabuk, suka berkelahi, dan tidak segan-segan melanggar perintah ketujuh (jangan berzinah). Di kalangan mereka minat terhadap agama kurang besar. Van Den End menyebut banyak anggota gereja dari kalangan Eropa yang hidupnya tidak senonoh, menyimpang dari jalan kebenaran. Mereka tidak suka ke gereja, tukang berkelahi. Banyak dari mereka merupakan orang-orang penting dalam pemerintahan. Demikian pula guru-guru agama atau guru-guru Injil yang baik sukar ditemui. Banyak dari mereka kurang terdidik dan digaji kecil, sehingga terpaksa mencari penghasilan sampingan dan tidak pernah menyiapkan pengajarannya dengan teliti. Banyak dari mereka cenderung malas dan kasar, bahkan terhadap kaum perempuan. Karena muncul banyak keluhan, Majelis Gereja seringkali harus menegur mereka. Cornelis adalah perkecualian, ia melayani dengan tekun, teliti dan sabar. 

Meester Cornelis Senen memiliki rumah di jalan kelas satu, yakni di Tijgersgraatcht di dalam Kota dan sebuah kebun besar di tepi Kali Ciliwung, daerah yang kini masih sering disebut sebagai Meester Cornelis atau Meester (pada 1661 berubah menjadi Jatinegara). Di tempat itu Cornelis menyuruh orang menebang pohon jati, untuk dihanyutkan lewat Sungai Ciliwung ke Kota untuk dipakai sebagai bahan pembangunan rumah dan perkapalan. 

Meester Cornelis Senen meninggal pada tahun 1662. Sampai kematiannya Cornelis Senen melayani dengan setia. Puteranya Zacharias Senen, meneruskan perannya sebagai seorang guru agama. Setiap tanggal 17 Januari,  sekolah-sekolah Kristen di Indonesia yang dikoordinir oleh Majelis Pendidikan Kristen merayakan Hari Sekolah Kristen Indonesia (HSKI) untuk mensyukuri perjuangan Cornelis Senen yang telah merintis sekolah pribumi yang pertama dan yang tmenjadi teladan melalui pelayanannya yang tekun dan setia. 

Belajar dari Cornelis Senen, orang buangan dari Banda, setiap orang bisa menjadi berguna. Berguna melalui talentanya masing-masing, lewat bidangnya masing-masing. Berguna bagi dirinya sendiri maupun bagi sesama. Berguna sebisanya, semampunya. Tetap sabar dan setia meskipun harus menempuh banyak perjuangan. Hingga Tuhan menjemput kita pulang dan berkata,”Bagus, hai hambaku yang baik dan setia! Engkau telah setia dalam hal kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam hal yang besar. Masuklah ke dalam sukacita tuanmu”(Mat. 25:23, TB2).

 

Kepustakaan

Andar Ismail. Selamat Berguna. BPK Gunung Mulia.

Adolf Heuken. Gereja-gereja tua di Jakarta. Cipta Loka Caraka.

Thomas van den End. Harta dalam Bejana. BPK Gunung Mulia.

Thomas van den End. Ragi Carita 1. BPK Gunung Mulia

Petrik Matanasi. Meester Cornelis Babad Alas Jatinegara. Tirto.id