Meidy Harimisa:  Sebuah nilai menarikku menjadi pelayan anak

Meidy Harimisa: Sebuah nilai menarikku menjadi pelayan anak

 

Menjadi seorang pelayan anak tidak mudah. Pengakuan ini bukan keluar dari seorang pemula, namun dari Meidy Harimisa. Padahal kita tahu, Meidy telah belasan tahun berkecimpung dalam pelayanan anak yang kreatif. Sekitar akhir 2004 hingga awal 2005 sebagai mahasiswa Institut Teologi Indonesia di Bandung, Meidy wajib mengikuti praktik lapangan selama dua bulan dan dituntut memperoleh nilai yang baik.  Meidy ditempatkan di sebuah gereja MBC daerah Purwakarta dekat Waduk Jatiluhur. Di tempat itu ia mesti  berhadapan dengan anak-anak yang sebelumnya belum pernah ia kenal. Ia sendiri belum memiliki pengalaman menjadi seorang pelayan anak. Mau tidak mau ia harus mempersiapkan pelayanan dengan baik agar memperoleh nilai praktik lapangan yang bagus. Di gereja kecil ini ia diberikan tanggung jawab untuk mengurus anak-anak Sekolah Minggu yang jumlahnya tidak banyak, hanya sekitar lima orang anak. 

Inilah pertama kalinya Meydi bertatapan muka dengan  anak-anak di  sebuah ruangan khusus. Hal baru lainnya adalah ini kali pertama ia mengajar seorang diri tanpa teman atau seseorang yang mendampinginya. Ia tidak memiliki dasar mengajar. Yang ada dalam bayangannya hanyalah ingatan sebagai murid Sekolah Minggu dan wajah kakak-kakak pelayan anak di gerejanya ketika mengajar. 

Meidy berharap anak-anak segera duduk manis di tikar yang telah disediakan. Namun, pengalaman pertama ternyata tidak mudah. Yang ia hadapi adalah anak-anak yang tidak bisa diam. Ia berusaha memanggil mereka untuk duduk agar ibadah bisa segera dimulai. Meidy mencoba menyata dengan ramah,”Ayo, adik-adik kita kumpul di sini!”

Ternyata sulit sekali. Tidak ada yang mau mendengar ataupun menurut ketika dipanggil. Ada saja tingkah laku anak-anak tersebut yang menjengkelkan hati. Ada seorang anak yang naik ke pohon, sementara ada juga satu anak yang terus menerus berlari kian kemari. 

Menjadi pelayan anak memang tidak mudah. Namun, ia dituntut  sabar dan memiliki kelemahlembutan. Seorang pelayan anak harus belajar bahwa ia bukan sekedar tamu, yang hanya datang sesekali ketika terjadwal melayani anak. Ia juga dituntut membangun koneksi dan membangun sebuah hubungan yang baik dengan anak-anak. Seorang pelayan anak yang baik harus mulai menyapa dan memperkenalkan dirinya terlebih dahulu. Setelahnya mulai melakukan pendekatan terhadap mereka. 

Pelayan anak yang baik menurut Meidy harus aktif berinteraksi, memulai percakapan dan memberikan sebuah ruang agar anak merasa nyaman. Seorang pelayan anak harus bisa menjadi sahabat anak-anak. Ketika sudah terjalin hubungan yang baik dengan anak, maka untuk memulai pelayanan kepada mereka menjadi lebih mudah. 

Sebagai contoh, ketika anak merasa dekat, ketika mereka dipanggil akan segera datang. Ini adalah sebuah hasil dari pendekatan yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Maka, kemudian Meidy setiap kali berjumpa dengan anak-anak berusaha menyapa mereka dengan ramah sehingga mereka merasakan nyaman karena berolah perhatian. Anak-anak merasa sangat senang jika diperhatikan. 

Setelah menjalani praktik selama dua bulan di Purwakarta, akhirnya Bapak Gembala memberikan nilai yang membuatnya begitu bersukacita. Setelahnya seorang teman pelayanan di Bandung mengajaknya untuk terlibat dalam sebuah pelayanan anak. Tugasnya mula-mula hanya hanya mendampingi anak yang mau ke toilet dan menyambut anak anak yang baru datang. Dari situlah muncul kerinduan dalam hatinya. Ia merasakan panggilan yang kuat dan rasa sukacita setiap kali berkumpul dan berada di tengah-tengah anak-anak. Perasaannya sudah jauh berbeda dibanding ketika pertama kali melayani di Purwakarta. Di Purwakarta sebagai mahasiswa praktik tujuannya semata-mata untuk mendapatkan nilai yang bagus dalam mata kuliahnya. 

Tetapi ketika ia kembali ke Bandung ada dorongan dan panggilan yang besar untuk melayani anak. Mula=mula ia hanya bertugas menemani anak-anak dan menyapa mereka. Kemudian ia dipercaya untuk mempimpin sebuah acara icebreakers. Hingga akhirnya ia diberi kesempatan memimpin di atas sebuah panggung. Meidy kemudian merenungkan bahwa menjadi seorang pelayan anak tidak sekedar berdiri dan melayani di atas panggung saja. Ketika ia mengobrol bersama anak-anak, menyapa mereka itupun sebuah bentuk pelayanan anak. Menemani anak-anak sambil menunggu orang tua mereka menjemput pun bagian dari pelayanan. 

Meidy melihat cara mendidik anak dari tahun ke tahun berbeda. Di pertengahan tahun 2000=an ia masih bisa mengajar dengan sedikit santai bahkan masih bisa memaksa anak-anak Sekolah Minggu untuk menurut permintaan kakak-kakak pelayan. Dengan perubahan zaman maka pola mengajar harus berubah. Kini pelayan Sekolah Minggu harus memiliki panggilan cinta terhadap anak-anak  dan harus memiliki kesabaran yang tinggi. Meidy menyebut setiap anak memiliki karakter atau watak yang berbeda-beda, maka pelayanan terhadap anak tidak bisa diseragamkan. Setiap anak tidak boleh dipandang remeh. Pelayan anak tidak boleh punya pandangan seorang anak nakal dan sulit untuk di arahkan. Ia harus berjuang untuk mencari cara agar setiap anak bisa dilayani dengan baik dan bisa mengikuti setiap pengajaran yang diberikan oleh pelayan anak.

Dalam proses pematangannya sebagai seorang pelayan anak, ada dua orang yang menjadi panutan Meidy, yaitu Kak Reti Rohyeti dan Kak Alex Sander yang merupakan bapak rohaninya. Ada sebuah pesan dari Kak Reti yang selalu ia ingat: “If you want to serve the children, you must love the children (jika engkau ingin melayani anak-anak, engkau harus menyukai  anak-anak). Sedangkan dari Bapak Alex Sander ia belajar melihat bagaimana posisi kita dihadapan seorang anak. Posisi yang baik adalah kita  harus bisa sejajar dengan mereka dan harus  bisa masuk kedunia anak. Kita harus memperhatikan cara berkomunikasi dengan anak-anak, mendengarkan cerita mereka, merendahkan diri di hadapan mereka. Sikap kita harus penuh dengan kasih sayang dan cinta. Anak harus dibuat merasa nyaman sehingga mereka ingin lebih dekat dengan kita. Tentu saja bukan berarti kita berubah jadi kekanak-kanakkan tapi pelayan anak harus bisa masuk di dalam dunia mereka. 

Ada satu peristiwa yang  membuat Meidy merasa terharu bahkan hingga meneteskan air mata. Suatu ketika ia datang ke Ambon mengunjungi lokasi pengungsian korban gempa di Ambon.  Baru saja  ia turun dari mobil ada tujuh orang anak memanggil Kak Meidy. Anak-anak begitu senang dikunjungi. Anak-anak  karena mereka melihat sosok seseorang yang bisa memberikan sebuah harapan hilang rasa takut,  anak-anak yang mengalami trauma healing akibat gempa pada tahun 2019 yang bertepatan dengan datangnya masa natal.

Memasuki Maret 2020 Meidy berpikir bagaimana caranya agar pelayanan anak tetap berjalan dengan baik di masa pandemi? Ia berusaha mencari data dari banyak temannya bagaimana kondisi anak-anak. Pasti mereka merasa bosan hanya bisa beraktivitas di dalam rumah. Anak-anak tidak bisa bermain dengan bebas, tidak bisa berkumpul dengan teman-teman sebayanya. Bahkan mereka tidak bisa melaksanakan Sekolah Minggu di gereja. Menurut Meidy, umumnya anak-anak belum paham apa itu Covid – 19. Mereka hanya diberi tahu bahwa di luar sana ada virus yang tak terlihat oleh mata telanjang. 

Salah satu pintu yang terbaik adalah ibadah anak secara virtual. Namun, yang harus dipikirkan adalah bagaimana caranya agar ibadah virtual anak berlangsung seru dan membuat anak tetap betah dan fokus mengikuti acaranya. Ini adalah sesuatu yang sulit, maka Meidy berusaha membuat berbagai aplikasi yang menarik agar anak tenang dan fokus, seperti memanfaatkan gambar-gambar kartun atau juga gambar animasi binatang yang menolong anak memahami alur cerita Kitab Suci. Kalau anak sudah jatuh cinta ia akan tetap bertahan mendengarkan firman Tuhan. 

Dulu ketika memulai pelayanan di Purwakarta, ia hanya melayani di hadapan lima orang anak. Sekarang Tuhan memberikan kepercayaan yang besar sebagai pelayan yang melayani anak-anak di berbagai wilayah Nusantara. Mulanya ia hanya mengejar sebuah nilai kuliah, tapi selanjutnya Tuhan mengubah hati Meidy menjadi seorang yang penuh cinta kepada anak-anak. Tidak terasa Meidy sudah menjalani pelayanan anak selama lebih kurang 15 tahun.  Meidy menjalani pelayanannya sebagai sebuah panggilan.

Pandemi menurut Meidy justru menjadi momen yang tepat bagi orang tua, pelayan anak, dan Gereja untuk berjuang menumbuhkan iman anak-anak dan agar anak tetap mencintai firman Tuhan.  Orang tua perlu mengawasi putra putrinya karena begitu banyak tayangan di Youtube dan media sosial yang tidak mendidik anak-anak. Banyak tayangan yang dipenuhi kata-kata yang tidak mendidik, atau ujaran-ujaran yang kasar saat bicara. Orang tua harus waspada karena banyak tayangan yang kurang mendidik justru digemari anak-anak. Menurut Meidy, saat ini kita hidup berdampingan dengan kemajuan teknologi digital yang begitu cepat. Karena itu orang tua harus mengajarkan kepada anak untuk menjadikan Firman Tuhan sebagai dasar kehidupan kita. 

 

Diana Dahlia Sainvalak