Memaknai Ulang Masa-masa Akhir dari Pelayanan Yesus Kristus

Memaknai Ulang Masa-masa Akhir dari Pelayanan Yesus Kristus

 

Pengantar       

Masa pelayanan dari Yesus Kristus memang tidak terlalu lama. Apabila kita menghitungnya sejak Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembatis (Mat. 3:13-17; Mrk. 1:9-11; Luk. 3:21-22; Yoh. 1:32-34) hingga kematian-Nya di kayu salib, maka diyakini masa pelayanan Yesus adalah sekitar 3,5 tahun. Para ahli biblis menyimpulkan bahwa masa pelayanan itu dihitung sejak tahun 26 s/d 28AD (Anno Domini). Melalui Injil-injil di Perjanjian Baru, kita dapat mengetahui bahwa dalam rentang waktu 3,5 tahun tersebut telah banyak hal dan pengajaran yang Yesus lakukan hingga akhirnya Ia mengalami kematian di Kayu Salib. Artinya, banyak hal dari seluruh pekerjaan Yesus Kristus yang penting untuk kita pelajari, maknai, imani dan lakukan di dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun sebenarnya, Yesus masih melakukan beberapa hal sejak Ia bangkit hingga kenaikan-Nya ke sorga, misalnya dalamperjalanan ke Emaus (Iih.  Luk.  24:13-35) dan percakapan dengan para murid (Iih.  Yoh. 20:19-23).

Pada saat ini, kita akan secara khusus melakukan pembacaan dan pemaknaan ulang terhadap masa-masa akhir dari pelayanan-Nya. Terdapat empat poin peristiwa yang penulis anggap mewakili masa-masa tersebut, yakni: Petama, Yesus   dieluk-elukan di Yerusalem; Kedua, Perjamuan Paskah Terakhir; Ketika, Penangkapan Yesus; dan keempat, Penyiksaan & Penyaliban Yesus. Kita akan berfokus pada keempat peristiwa tersebut untuk melihat beberapa fakta atau informasi-informasi penting yang mungkin belum banyak dibahas, secara khusus tidak secara eksplisit dituliskan dalam Alkitab. Tujuannya adalah memberikan bekal tambahan bagi kita dalam menjalani masa raya pra-Paskah.               

  1. Yesus dieluk-elukan di Yerusalem

 (Mat. 21:1-9; Mrk. 11:1-10; Luk. 19:28-44; Yoh. 12:12-15)

Pada saat Yesus memasuki kota Yersusalem, injil  menuliskan   bahwa   Ia   mengendarai   seekor  keledai.  Hal ni bukanlah tanpa makna yang mendalam, secara   khusus   ketika   orang-orang   Yerusalem menyambut kedatangan-Nya dengan gegap gempita. Pertama, kita   perlu   mengetahui   bahwa   keledai adalah hewan ‘rendahan’ yang biasanya digunakan untuk keperluan pertanian atau   perkerjaan   kasar. Kedua, keledai   tidak digunakan sebagai alat kendaraan seorang pemimpin apalagi dengan status dan citra yang sangat dihormati. Bukanlah sesuatu yang lazim jika seorang pemimpin mengendarai seekor keledai. Hewan yang melambangkan kekuatan dan kehormatan yang lazim digunakan sebagai kendaraan seorang pemimpin adalah kuda. Itulah sebabnya, pada masa Romawi kuno kuda menjadi hewan utama dalam peperangan dan kendaraan seorang perwira, jenderal, pemimpin daerah bahkan kaisar. Namun, meskipun Yesus mendapatkan penghormatan yang tinggi dari orang-orang di sekitaran Yerusalem, justru Ia memilih keledai sebagai kendaraan-Nya pada saat memasuki kota Yarusalem. Mengapa demikian? Karena Yesus tidak ingin menonjolkan kekuatan dan kebesaran-Nya, secara khusus Ia tidak menginginkan itu semua dari warga Yerusalem. Justru, melalui seekor keledai, Yesus ingin melambangkan dan menekankan kelemah-lembutan, kesederhanaan, kerendahan hati serta ketulusan dari seluruh pelayanan-Nya. Selain itu, tindakan Yesus yang mengendarai keledai pada saat memasuki kota Yerusalem juga menjadi penggenapan terhadap nubuatan dalam Zakharia 9:9&10 serta perkataan Yakub dalam Kejadian 49:10&11.

 “10 Tongkat Kerajaan tidak akan beranjak dari Yehuda ataupun lambang    pemerintahan dari antara kakinya, sampai dia datang yang berhak atasnya, maka kepadanya akan takluk bangsa-bangsa. 11 Ia akan menambatkan keledainya pada pohon anggur dan anak keledainya pada pohon anggur pilihan; ia akan mencuci pakaiannya dengan anggur dan bajunya dengan darah buah anggur.”3 

Marilah kita perhatikan bagian-bagian yang ditebalkan. Berdasarkan perkataan Yakub dalam Kejadian 49 itu kita menyadari bahwa sebenarnya narasi masuknya Yesus ke kota Yerusalem merupakan sebuah adegan yang sudah tersusun dalam ‘skenario’ yang sudah ada beribu-ribu tahun sebelumnya.  Bahkan injil Matius dengan secara jelas menunjukkan kesamaan antara Kejadian 49:10-11 dengan Matius 21:2,

 “dengan pesan: “Pergilah ke kampung yang di depanmu itu, dan di situ kamu akan segera menemukan seekor keledai betina tertambat dan anaknya ada dekatnya. Lepaskanlah keledai itu dan bawalah keduanya kepada-Ku.”

 Semua hal ini menunjukkan bahwa sejak awal bangsa Israel terbentuk, kehadiran Yesus ke kota Yarusalem merupakan sebuah adegan krusial mengenai kempimpinan dan hak atas pemerintahan-Nya, serta peristiwa kematian-Nya.  Kalimat “ia akan mencuci pakaiannya dengan anggur dan bajunya dengan darah buah anggur” menjadi simbol dari peristiwa kematian Yesus di kayu salib.  Air anggur adalah lambang dari darah Yesus (band. Mat.26:28, “sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang di tumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.”).

 Sorak-sorai yang diberikan oleh warga kota Yerusalem kepada Yesus juga menjadi semacam pengulangan atas apa yang pernah terjadi ribuan tahun lalu, yakni   ketika   warga   Yerusalem menyambut Daud dan Salomo sebagai raja Israel. Intinya, penyambutan yang sangat meriah adalah sesuatu yang berbekas dalam sejarah kejayaan Israel di masa lampau dan sedang terulang pada saat Yesus memasuki kota tersebut. Ituhlah juga yang menimbulkan iri hati pada diri orang-orang farisi sehingga mereka berkata, “Guru, tegorlah murid-murid-Mu itu.” -Luk.  19:39. Mengapa orang Farisi melakukannya?  Hal tersebut sangatlah masuk akal, secara khusus karena penyambutan yang begitu meriah dari orang banyak kepada Yesus menunjukkan bahwa Yesus memiliki kuasa, mendapatkan perhatian dan penghormatan yang besar sebagai seorang pemimpin. Kondisi tersebut merupakan sesuatu yang mengancam status dan posisi orang Farisi. Maklum saja, golongan Farisi tidak hanya berkuasa dalam bidang keangamaan tetapi mereka juga cukup banyak terlibat dalam hal-hal politik.4 Selain itu, kita juga perlu menyadari pada saat itu besar kemungkinan bahwa tidak hanya warga asli kota Yerusalem yang hadir pada saat penyambutan Yesus, melainkan juga orang-orang Yahudi dari daerah-daerah lain yang datang untuk merayakan Paskah.

Terdapat fakta lain yang perlu kita ketahui, yakni besar kemungkinan bahwa kerumunan orang yang menyambut kedatangan Yesus didominasi oleh para peziarah yang ingin datang ke Yerusalem.6 Itulah sebabnya, terdapat perbedaan sikap antara orang-orang yang menyambut Yesus ketika Ia memasuki kota Yerusalem, 

8 Orang banyak yang sangat besar jumlahnya mengahamparkan    pakaiannya di jalan, ada pula yang memotong ranting-ranting dari pohon-pohon dan menyebarkannya di jalan. 9 Dan orang yang berjalan di depan Yesus dan yang mengikuti-Nya dari belakangberseru, katanya: “Hosana bagi Anak Daud, diberkatilah dia yangdatang dalam nama Tuhan, hosana di tempat yang mahatinggi!” 

dengan orang-orang yang ada di dalam tembok kota Yerusalem, 

10 Dan Ketika Ia masuk ke Yerusalem, gemparlah seluruh kota itu danorang berkata: “Siapakah orang ini?” 11 Dan orang banyak itu menyahut: “inilah   nabi Yesus dari Nazaret di Galilea.”-

  1. Perjamuan Paskah Terakhir

(Mat. 26; Mrk. 14; Luk. 22; Yoh.13)

Pada saat Yesus  masuk ke kota Yerusalem merupakan masa persiapan bagi   orang-orang Yahudi untuk menyambut perayaan Paskah. Markus 14:12 menuliskan, 12 Pada hari pertama dari hari raya Roti Tidak Beragi, pada wakruorang menyembelih domba Paskah, murid-murid Yesus berkata kepada-Nya: “Ke tempat   mana Engkau kehendaki kami pergi untuk mempersipkan perjamuan Paskah bagi-Mu?” Hal ini sesuai dengan perintah terkait tri hari suci dalam Yudaisme seperti yang tertulis dalam kitab Ulangan 16:1-17. Ketiga hari itu adalah Paskah, hari raya Tujuh Minggu, dan hari raya Pondok Daun. Perayaan Paskah dilakukan oleh orang Yahudi sebagai pengingat akan pembebasan yang Allah berikan ketika mereka keluar dari Mesir menuju tanah perjanjian.  Bukanlah sebuah kebetulan jika Yesus mengadakan makan terakhir sebelum Ia memulai masa-masa penganiayaan & kematian-Nya. Hal ini menjadi sebuah momentum simbolik terhadap karya penebusan Ilahi (kematian dan kebangkitan Yesus Kristus).

Terdapat beberapa hal yang saya pikir penting untuk kita perhatikan terkait tri hari suci dalam Yudaisme tersebut dengan tradisi Paskah dalam Kekristenan. Pertama, berdasarkan keempat injil kita mengetahui bahwa perjamuan terakhir yang dilakukan Yesus dengan para murid adalah perjamuan Paskah. Kemudian pada hari yang sama (ingat bahwa sistem perhitungan hari dalam kalender orang Yahudi kuno dimulai ketika senja) Yesus pun mengalami kematian di kayu salib (band. Mrk. 15:33). Kedua, jika Yesus mati pada hari Paskah dalam Yudaisme, mengapa justru Kekristenan merayakan Paskah 3 hari setelahnya? Inilah salah satu perbedaan antara Paskah Yahudi dengan Paskah Kristen. Kekristenan memang mengadopsi tradisi dan sedikit-banyak pemaknaan hari-hari penting, termasuk Paskah, milik Yudaisme, yang kemudian disesuikan dengan narasi, peristiwa dan teologi Kekristenan. Misalnya, Paskah Kristen menggunakan narasi pelepasan bangsa Israel dari Mesir sebagai landasan biblis dari bentuk baru pelepasan Allah terhadap umat-Nya, yakni ketika Yesus bangkit dari kematian-Nya sebagai wujud penebusan manusia dari kuasa maut.  Kurang-lebih, seperti inilah skema persamaan narasi Paskah Yahudi dengan Paskah Kristen:

Mesir=Maut;

Pelepasan Israel dari Mesir=Kebangkitan Yesus=Penebusan manusia dari maut.

Di banyak gereja, pada hari Jumat Agung dilakukanlah tradisi Perjamuan Kudus untuk memperingati peristiwa Yesus makan perjamuan Paskah terakhir. Namun, fakta lainnya adalah terdapat beberapa gereja yang juga melaksanakan Perjamuan Kudus pada hari Paskah (hari Paskah Kristen bukan   Yudaisme).  Apakah mereka keliru?  Bukankah Perjamuan Kudus dilakukan untuk mengingat kematian Yesus? Sebenarnya tradisi melaksanakan Perjamuan Kudus pada hari Paskah sudah dilakukan sejak gereja mula-mula. Bahkan hal ini dilakukan oleh Agustinus dari Hippo, yaitu ketika ia dibaptis oleh Ambrosius pada hari Paskah dan langsung melaksanakan Perjamuan Kudusnya yang pertama.7 Selain itu, perintah Yesus pada saat perjamuan terakhir adalah, “perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.” -Luk.  22:19- sehingga setiap gereja yang melakukan Perjamuan Kudus pada hari Paskah memaknainya sebagai peringatan akan keseluruhan kehidupan Yesus mulai dari kelahiran, pelayanan, kematian, kebangkitan dan kenaikan-Nya.

Kemudian, perayaan Paskah yang dilakukan Yesus dan murid-murid-Nya sudah dirancang dengan sangat baik.  Lukas 22:7-13 bahkan dengan jelas menggambarkan proses persiapan tersebut. Besar kemungkinan bahwa orang yang mempersiapkan hewan kurban Paskah bagi Yesus adalah orang yang sama yang juga mempersiapkan tempat bagi pelaksanaan perjamuan terakhir. 

 

  1. Penangkapan Yesus

(Mat. 26:47-56; Mrk. 14:43-50; Luk. 22:47-53; Yoh. 18:1-11)

Sesaat setelah Yesus makan bersama para murid, Ia pun memasuki masa penangkapan. Injil-injil sinoptik memberikan tahan yang menjembatani antara perjamuan terakhir dengan adegan penangkapan, yakni doa Yesus ditaman Getsemani (band. Mat. 26:36-44, Mrk. 14:32-42, dan Luk.  22:39-46). Ketika Yesus berdoa di taman itu, kita dapat melihat sisi kemanusiaan Yesus yang secara khusus tergambar sangat jelas dalam Lukas 22:42, “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.”

Ayat tersebut menampilkan ketakutan dan kegelisahan yang begitu besar pada Yesus. Namun, jika kita melanjutkan pembacaan dengan membandingkan apa yang tertulis dalam Yohanes 18, justru kita akan melihat pribadi Yesus yang begitu tenang dan berwibawa ketika menghadapi pasukan prajurit yang mau menangkap-Nya.

 “Maka Yesus, yang tahu semua yang akan menimpa diri-Nya, maju ke depan dan berkata kepada mereka: “Siapakah yang kamu cari?” Jawab mereka: “Yesus dari Nazaret.” Kata-Nya kepada mereka: “Akulah Dia.”-Yoh.18:4&5-

Detail lain yang diberikan oleh injil Yohanes mengenai peristiwa penangkapan Yesus adalah penyebutan nama sosok yang menghunuskan pedang, yakni Petrus. Diyakini bahwa orang yang menjadi korban Tindakan Petrus adalah pria Bernama Malchus.  Namun, tindakan itu dianggap Yesus sebagai hal yang tidak patut sehingga Ia memerintahkan Petrus untuk menyimpan kembali pedangnya. Tindakan tersebut merupakan cara injil Yohanes untuk menunjukkan ketulusan Yesus dalam menerima ‘cawan’ yang diberikan Bapa, “bukankah Aku harus minum cawan yang diberikan   Bapa   kepada-Ku?”   Bahkan   Yesus   juga menyembuhkan kembali (mujizat) telinga Malchus, “Lalu Ia menjamah telinga orang itu dan meyembuhkannya.”   -Luk.22:51b-

Kisah pengangkapan Yesus seringkali dibaca dan dipahami sebagai hasil pengkhianatan Yudas dengan para pemimpin Yahudi. Seolah-olah, Yesus dipaksa untuk menghadapi penyaliban. Namun, berdasarkan pemberitaan injil kita perlu menyadari bahwa sebenarnya Yesuslah yang menyerahkan Diri-Nya, karena tidak ada seorang pun yang berkuasa untuk menangkap-Nya. itulah sebabnya Yesus sangat melarang perbuatan Petrus,

 “Atau kausangka, bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapa-Ku,    supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikan membantu Aku? Jika begitu, bagaimanakah akan digenapi yang tertulis dalan Kitab Suci, yang mengatakan bahwa harus terjadi demikian?”-Mat.26:53&54-

Fakta lain yang perlu kita pahami adalah para imam dan tua-tua bangsa Yahudi yang memerintahkan prajurit Bait Suci untuk menangkap Yesus tidak memiliki landasan hukum atau alasan yang kuat untuk mengangkap Yesus. Itulah sebabnya, mereka melakukan ‘penangkapan’ pada tengah malam. “Sangkamu Aku ini penyamun, maka kamu datang lengkap dengan pedang dan pentung? Padahal tiap-tiap hari Aku ada di tengah-tengah kamu di dalam Bait Allah dan kamu tidak menangkap Aku.” -Luk. 22:52- Tujuannya supaya orang banyak tidak mengetahui perkara tersebut sehingga tidak menimbulkan konflik atau huru-hara di Yerusalem. Peristiwa penyambutan ketika Yesus memasuki Yerusalem sudah menjadi ‘tamparan’ keras bagi mereka tentang status dan posisi Yesus dalam masyarakat (peziarah) Yahudi. Sangking sulitnya mereka mendapatkan landasan hukum yang kuat untuk menghukum Yesus, mereka pun harus membawa-Nya ke sana-ke mari,

“kata Pilatus kepada imam-imam kepala dan seluruh orang banyak itu: “Aku tidak mendapati kesalahan apa pun pada orang ini”,”…Kamu lihat sendiri bahwa aku telah memeriksa-Nya, dan dari kesalahan yang kamu tuduhkan kepada-Nya tidak ada yang kudapati pada-Nya. Dan Herodes juga tidak, sebab ia mengirimkan Dia kembali kepada kami. Sesungguhnya tidak ada suatu apa pun yang dilakukan-Nya yang setimpal dengan hukuman mati.” -Luk. 23:4&14b-15.

Hukuman yang akhirnya diberikan kepada Yesus merupakan politik Sanhedrin terhadap pemerintah daerah. Injil Yohanes bahkan dengan lebih rinci menuliskan persekongkolan para tua-tua Yahudi, “Kata Pilatus kepada mereka: “Ambilah Dia dan hakimilah Dia menurut hukum Tauratmu.” Kata orang-orang Yahudi itu: “Kami tidak diperbolehkan membunuh seseorang.” -Yoh. 18:31 Padahal dalam Yohanes 19:7, para tua-tua Yahudi justru mengucapkan hal yang bertentangan dengan 18:31 tersebut, “Jawab orang-orang Yahudi itu kepadanya: “Kami mempunyai hukum dan menurut hukum itu Ia harus mati, sebab Ia menganggap Diri-Nya sebagai Anak Allah.”

 

  • Penyiksaan dan Penyaliban Yesus

(Mat. 27:32-44; Mrk. 15:21-32; Luk. 23:26-43; Yoh. 19:17-24)

Sejak Yesus ‘ditangkap’ hingga disalibkan di bukit Golgota, Ia terlebih dahulu mengalami penyiksaan. Dalam tradisi penyaliban Romawi, seseoragn yang dijatuhi hukuman mati dengan metode penyaliban memang terlebih dahulu disiksa. Tujuannya adalah agar orang tersebut lebih cepat mati ketika disalibkan. Biasanya, metode penyaliban hanya diberikan kepada musuh politik, penghasut keagamaan, perampok, budak atau kepada mereka yang dianggap sudah tidak memiliki hak sipil. Orang yang akan disalibkan pasti akan mengalami penganiayaan fisik dan psikis, seperti dipermalukan. Itulah sebabnya, di dalam Markus 15:16-19 terdapat bagian yang sangat jelas menceritakan bagaimana Yesus dilecehkan oleh para serdadu Romawi,

“Kemudian serdadu-serdadu membawa Yesus ke dalam istana, yaitu Gedung pengadilan, dan memanggil seluruh pasukan berkumpul. mereka megnenakan jubah ungu kepada-Nya, menganyam sebuah mahkota duri dan menaruhnya di atas kepala-Nya. kemudian mereka mulai memberi hormat kepada-Nya, katanya: “Salam hai raja orang Yahudi!” mereka memukul kepala-Nya dengan buluh, dan meludahi-Nya dan berlutu menyembah-Nya. Sesudah mengolok-olokkan Dia mereka menanggalkan jubah ungu itu dari pada-Nya dan mengenakan pula pakaian-Nya kepada-Nya.” 

Diperkirakan proses sejak penangkapan, penyiksaan hingga keamtian Yesus di kayu salib terjadi selama ± 12 jam. Secara khusus, jika kita mengacu pada injil Markus, maka dapat kita simpulkan bahwa Yesus masih hidup selama 6 jam di atas kayu salib hingga kematian-Nya.

15:25 hari jam sembilan ketika Ia disalibkan… 15:33 Pada jam dua belas, kegelapan meliputi seluruh daerah itu dan berlangsung sampai jam tiga. Dan pada jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?” … 15:37 Lalu berserulah Yesus dengan suara nyaring dan menyerahkan nyawa-Nya.”

Terkait peristiwa keamtian Yesus, terdapat sebuah teks kuno karya Thallos (seorang sejarawan Yahudi yang membuat tulisannya pada tahun 50 AD) yang menyebutkan bahwa pada saat itu terjadi sebuah gerhana matahari. Hal ini memang sangat relevan denga napa yang dituliskan pada Mrk. 15:33 bahwa terjadi kegelapan dari sekitar jam 12 hingga 3 petang. Meskipun demikian, anggapan ini juga cukup mendapatkan sikap sangsi dari beberapa ahli kuno, seperti Sextus Julianus Africanus (160-240 AD). Kemudian, jika kita melihat kepada tulisan-tulisan kuno lainnya, seperti Ab Excessu Divi Augusti-Annals karya Cornelius Tacitus (seorang sejarawan Roomawi), maka kita dapat memiliki bukti yang sangat kuat dan akurat dengan kredibilitas yang diakui para sejarawan, bahwa memang pernah terjadi peristiwa penyiksaan dan penyaliban terhadap seorang yang Bernama ‘Kristus’.

Bagi kita yang sudah sejak kecil atau sudah cukup lama menjadi Kristen, mungkin sosok Yesus tanpa sadar menjadi sebuah produk pengajaran yang taken for granted dalam pemahaman iman kita. Namun, cukup banyak opini yang menyangsikan bahwa Yesus Kristus adalah sosok yang nyata. Misalnya, pemahaman sejumlah atheis bahwa Yesus adalah sosok imajinasi yang diciptakan oleh sebuah komunitas pada zaman Romawi kuno. Sikap sangsi terhadap keberadaan Yesus Kristus sebenarnya bukanlah sebuah produk modern, alih-alih seperti opini yang muncul dalam americanatheists.org tersebut. Injil Matius pun sudah menjadi bukti bahwa sejak 2000 tahun lalu, sikap menyangsikan keberadaan Yesus Kristus merupakan produk politik atau kebohongan yang dirancang secara terstruktur,

Ketika mereka di tengah jalan, datanglah beberapa orang dari penjaga itu ke kota dan memberitahukan segala yang terjadi itu kepada imam-imam kepada. Dan sesudah berunding dengan tua-tua, mereka mengambil keputusan lalu memberikan sejumlah besar uang kepada serdadu-serdadu itu dan berkata: “Kamu harus mengatakan, bahwa murid-murid-Nya datang malam-malam dan mencuri-Nya ketika kamu sedang tidur. Dan apabila hal ini kedengaran oleh wali negeri, kami akan berbicara dengan dia, sehingga kamu tidak beroleh kesulitan apa-apa.” Mereka menerima uang itu dan berbuat seperti yang dipesankan kepada mereka. Dan ceritera ini tersiar di antar orang Yahudi sampai sekarang ini.” Matius 28:11-15

Namun, melalui pendalaman terhadap keempat injil dan beberapa rujukan ekstrabiblikal tersebut telah temukan bahwa Yesus Kristus bukanlah sebuah sosok karangan, legenda buatan, ataupun mitos politik. 

 

Refleksi

Melalui seluruh pendalaman terhadap keempat injil dalam Perjanjian Baru mengenai masa-masa akhir dari pelayanan Yesus Kristus, yakni: Yesus dieluk-elukan di Yerusalem; Perjamuan Paskah Terakhir; Penangkapan Yesus; Penyiksaan dan Penyaliban, kita diharapkan mendapatkan bekal tambahan untuk semakin memaknai masa raya pra-Paskah. Pada dasarnya masa raya pra-Paskah merupakan tradisi liturgis dalam Kekristenan sebagai media bagi umat untuk mempersiapkan, mengevaluasi, dan menggumuli relasi kita dengan Sang Sumber Kehidupan sebelum kita mengingat kematian dan merayakan kebangkitan-Nya. masa-masa akhir yang berlangsung selama kurang dari 24 jam itu telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan manusia di masa lalu, kini dan masa depan. Di masa raya pra-Paskah ini, merupakan sebuah kewajiban bagi kita untuk selalu mengingat karya penebusan dan keselamatan Allah melalui Yesus Kristus. Kita pun dapat menyadari betapa kuatnya kasih, ketulusan, serta sisi kemanusiaan dari Yesus, sang Anak Allah.