Mengenang Simeon Lasarus Mauboy (Sammy)

Mengenang Simeon Lasarus Mauboy (Sammy)

 

"uti undo, naime liite mombaca injeine", dalam bahasa Lauje berarti "anak-anak laki2 dan perempuan, mari kita membaca ini"
Dengan lancar Sammy bercakap-cakap memakai bahasa Lauje dengan anak-anak yang sedang belajar membaca. Mereka adalah anak-anak dari Tompo, dusun di Kecamatan Palasa, Kabupaten Parigi, Moutong (Parimo), Sulteng. Anak-anak Lauje (bahkan orang dewasa) yang biasanya malu-malu, kali ini langsung tanggap. Dengan riang mereka belajar bersama Sammy, menjawab semua pertanyaan yang diajukan, dengan pandangan bergantian tertuju ke papan tulis atau ke Sammy. Suasana belajar jadi lebih seru karena ada orang-orang dewasa yang juga ikut duduk di situ. Mereka pun tak kalah semangatnya, bahkan ada yang ikut menjawab pertanyaan sang guru. Sammy yang merantau dari Tanah Timor, baru beberapa bulan tinggal di sana. Tapi,  ia sudah sangat lancar berbahasa Lauje. Sering menjadi penerjemah saya, termasuk membujuk agar mereka tidak perlu malu. Kembali ke Tompo, anak-anak bukan hanya senang karena disapa dengan bahasa Lauje, mereka juga antusias karena Sammy sangat berbakat mengajar. Gabungan dua bakat itu (bahasa dan mengajar), membuat dalam waktu singkat anak2 sudah hafal huruf bahkan mulai bisa mengeja suku kata.

Simeon Lasarus Mauboy atau Sammy adalah Pimpinan Lapangan program Pembaca Baru Akitab (PBA) LAI untuk Parigi Moutong Wilayah Palasa. PBA adalah program belajar membaca dan menulis berbasis Alkitab yang LAI selenggarakan secara rutin sejak 2004. Lahir 14 September 1994, Sammy baru akan menginjak 24 tahun ketika diutus ke Parigi Moutong pada akhir 2018. Sebelumnya selama dua bulan, Sammy menjalani pengenalan tugas-tugas PBA di Boven Digoel, Papua; di kampung Burunggop, kampung paling terpencil dari Distrik Manggelum. Burunggop tidak selalu bisa didatangi, karena harus mempertimbangkan ketinggian air. Jika air kurang perahu tidak bisa jalan, sebaliknya kalau sungai banjir, perjalanan akan berbahaya karena arus sangat deras. Katingting apalagi perahu dayung bisa dengan mudah terbalik. Satu-satu cara akhirnya jalan kaki melalui hutan yang orang sana bilang adl jalannya babi hutan dan kasuari. Pertama kali datang ke Burunggop, Sammy terluka kakinya oleh batu tajam sungai. Maklum, walaupun memakai perahu, sewaktu2 para lelaki harus turun ketika ketinggian air rendah atau ketika arus deras. 

Selesai di Boven Digoel, Sammy langsung menuju Parimo. Kali ini ia datang sebagai pimpinan lapangan, wakil LAI untuk melaksanakan program di lapangan. Semacam kepala sekolah yang mengkoordinir sejumlah guru. Parimo adalah lokasi baru PBA LAI, dengan medan yang berbeda dari Boven Digoel tetapi yang tak kalah menantangnya. Ada 3 kecamatan untuk pelaksanaan PBA, yaitu Sidoan dan Tinombo serta Palasa. Dua yang pertama terletak di gunung-gunung dan perjalanan ke sana sudah membuat jantung berdegung kencang. Lokasi ketiga baru diputuskan kemudian ketika jumlah warga belajar perlu ditambah. Ternyata Palasa, lokasi ketiga, membuat Sidoan dan Tinombo terasa bagai jalan ke mall. Dusun-dusun tempat pelaksanaan di Palasa berada di gunung-gunung yang berbeda satu sama lain, sehingga perjalanannya ya naik turun gunung. Tidak ada kendaran selain motor, bahkan menurut saya ada jalan yang mestinya hanya untuk jalan kaki orang bukan motor. Hal yang lumrah jika setiba di suatu gunung anggota rombongan termasuk Sammy akan berujar: "Bu, tadi kita di gunung sana. Tuh gerejanya yg atapnya berkilat, tub pohon kering yg ...". Ada dusun yang menurun sangat panjang sehingga penumpang dan pengemudi hanya menduduk setengah motor saja, selain ada yang sangat menanjak sampai hidung motor terangkat2. Kalau hujan maka medan bukan lagi menantang tapi berbahaya. Di sinilah bakat Sammy yang lain muncul. Ternyata, Sammy adalah Rossi di pegunungan itu. Lancar berbahasa Lauje seperti orang Lauje juga piawai meliuk-liukan motor di tanjakan dan kelokan (kadang kedua bersamaan) seperti anak-anak muda Lauje yang mencari penghasilan dengan menjadi ojek cengkeh, kenari, dll. Tapi, Sammy bahkan sangat terampil dan percaya diri membawa penumpang. 

Salah satu penumpangnya adalah saya. Kalau sudah nyetir, di gunung pun kecepatannya di atas rata2 orang lain. Karena saya merasakan pada Sammy ada rasa tanggung jawab dan pengenalan akan kemampuan dirinya dan motornya, saya percaya dan gak kapok menjadi penumpangnya Sammy. Oke-oke saja melaju kencang berkelak-kelok di gunung, padahal lebar badan jalan kadang hanya cukup untuk motor dan di samping ada jurang beberapa tingkat atau bahkan satu tingkat (langsung dalam). Sammy biasanya bertanya: "Bagaimana Ibu?" Dan jawaban saya: "Lanjut, Sam!" Jadi, kalau waktu tempuh ke suatu dusun biasanya 2 jam, jika dibonceng Sammy biasanya sy mengurangi menjadi sktr 30 menit.Katanya sih, ketika sendiri Sammy pernah beberapa kali jatuh dengan motor (Sebagai informasi, saya beberapa kali jatuh, yang terakhir terperosok di jurang menuju Awu-awu). 

Setelah selesai dari Parimo, Sammy melayani kaum muda di GBI Getsemani Kupang sembari juga mengajar di sekolah baru di Kabupaten Kupang, NTT. Saat mengajar itulah Sammy diberitakan sakit dan kembali ke Kupang. Hanya sekitar 4 hari di RS, Sammy menutup mata untuk selamanya pada Minggu, 22 November 2020, di usia 26 tahun. Selama berada di Burunggop, Papua, malaria tidak bisa menaklukkannya. Di Parigi Moutong, Sammy yang menaklukkan gunung-gunung dengan semua kelokan tajam atau  tanjakan dan turunan yang seolah tak berujung. Setelah malam-malam yang super dingin di Tompo atau di Bolo, Parimo, esoknya Sammy tetap bugar dan lincah mengemudi. Dengan usia belia dan kesehatan terbilang prima, tak ada yang menyangka, apalagi siap. Kehidupan memang tak jarang memberi kejutan yang membuat kita bertanya dan mempertanyakan sejumlah hal. Yang mungkin bukan hanya tak akan terjawab tapi bahkan waktu pun tidak dapat setidaknya menyembuhkannya. 

Sammy telah menyelesaikan perjalanannya di dunia, tetapi semua yang mengasihinya bisa jadi masih akan terus didera oleh pertanyaan itu, bahkan ketika air mata mungkin tak lagi berbekas. Tetapi, seperti kata Rumi: “The wound is the place where the Light enters you.” Melalui luka kita, cahaya justru bisa memasuki diri kita (dan sebagai yang terluka kita bisa bercahaya bagi orang lain). Dan yang terutama, tentulah kita meyakini Sammy kini berada dalam rangkulan Sang Pemilik hidup, sementara orang tua, kakak-kakak, serta semua yang mengasihinya juga akan tetap merasakan kasih sayang dan penyertaan-Nya. Dengan keyakinan ini dan cerita Sammy di atas itulah kiranya kami di LAI dan semua rekan kerja di Parimo dan Boven Digoel hendak mengenang Sammy,serta kembali berterima kasih atas semua perjuangan dan karya Sammy di Parigi Moutong bahkan di Burunggop. Walaupun masih ada luka dan air mata, tetapi kita dikuatkan pemazmur spy tetap bisa berucap: Sekalipun jiwa ragaku menjadi lemah, Engkaulah kekuatanku, ya Allah; Engkaulah segala yang kumiliki untuk selama-lamanya (Mzm. 73:26, BIMK).

Neila. Mamahit. M. Th