Natan Pahabol: Injil Mengubah Hidup Orang Yali

Natan Pahabol: Injil Mengubah Hidup Orang Yali

 

Apa yang menggerakkan Natanael Pahabol belasan tahun berjuang memberantas buta huruf di tengah masyarakat Yali dan mengusahakan mereka agar memiliki Alkitab? Karena ia meyakini pernyataan Rasul Paulus bahwa: Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya (Roma 1:16). Sebagai putra Yali, ia adalah saksi bahwa kehadiran Injil telah mengubah kehidupan masyarakat Yali. 

Sehari-harinya Natan merupakan anggota DPRD Papua mewakili Kabupaten Yahukimo. Dalam badan legislatif tersebut Natan berada di Komisi V yang membidangi kesejahteraan, pendidikan, kesehatan. Di luar kesibukan rutinnya sebagai wakil rakyat, Natan begitu peduli terhadap peningkatan kualitas pendidikan terutama di daerah yang diwakilinya, yaitu Suku Yali yang tinggal di daerah pegunungan Papua. Sudah sejak 2008 Natan mendorong melek huruf di kalangan Suku Yali melalui berbagai program pemberantasan buta aksara. 

Natan tergerak karena melihat mayoritas Suku Yali masih tergolong buta aksara. Sebuah kepedulian yang tidak muncul begitu saja. Natan memang asli orang Yali, kelahiran Angguruk 27 Mei 1980. Suku Angguruk berdiam di wilayah pegunungan Papua. Dari beberapa suku yang ada, Yali merupakan salah satu suku terbesar dengan populasi sekitar 80.000-90.000 jiwa. Mengapa Suku Yali yang berpenduduk demikian besar mayoritas masih buta aksara?

Natan menyebut karena budaya membaca dan menulis itu merupakan budaya baru di Papua. “Budaya tutur setiap suku di Papua memilikinya, namun budaya membaca dan menulis merupakan sesuatu yang baru bagi orang Papua. 

“Saya pernah menghadiri ibadah Minggu di sebuah gereja. Sebelum pelayanan firman Bapa Gembala mengajak umat, mari kita membaca Injil Matius pasal sekian ayat sekian. Dari sekitar seratus umat yang hadir, yang bisa membaca hanya sekitar 5-10 orang, yaitu: misionaris (penginjil), gembala tersebut dan istrinya, dan beberapa orang penatua,”katanya. “Sekitar 90 umat Tuhan yang lain yang tidak bisa membaca, hanya diam mendengar. Lebih parah lagi ketika liturgos ataupun pendeta mengajak umat menyanyi lagu rohani dari Kidung Pujian terjemahan bahasa asing (Barat) atau terjemahan Bahasa indonesia, yang ikut bernyanyi cuma beberapa orang warga jemaat saja,”lanjutnya. 

Natan sedih melihat warga jemaat yang lain hanya terdiam dan menunduk. Beberapa dari mereka bahkan tertidur di ruang ibadah. Karena mereka tidak bisa membaca dan bernyanyi akhirnya mereka hanya menunduk, terkantuk dan akhirnya tertidur. “Jangan berpikir bahwa mereka diam mendengarkan khotbah dan pembacaan Alkitab dari pendeta. Mereka tertidur!” terang Natan. 

Natan prihatin, bagaimana mungkin selama bertahun-tahun di dalam gereja hanya sedikit orang yang bisa membaca dan bernyanyi. Padahal Alkitab dalam bahasa Yali telah tersedia. Ada pula beberapa lagu pujian yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa daerah Yali ataupun lagu pujian yang diciptakan orang Yali. Apa yang harus dilakukan?

Maka Natan mulai merintis perjuangannya dengan mencoba menyusun kurikulum, metode pengajaran dan mempersiapkan tutor untuk mengajar baca dan tulis tingkat dasar bagi warga Yali. Di tahap awal Natan bekerja sama dengan Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, terutama di Klasis Yalimo Angguruk dan Klasis Elelim. Tutor-tutor pada awalnya dilatih Natan secara langsung. Natan sendiri juga terjun langsung menjadi sukarelawan tutor. 

Sejak 2008 Natan memperbanyak buku “Nare-nare”, yaitu buku belajar membaca tingkat dasar yang berbasiskan bahasa Yali. Buku Nare=nare terdiri dari jilid 1 sampai dengan 10. Sepuluh jilid tersebut dibundel dalam satu jilid. Buku Nare-nare awalnya ditulis oleh para misonaris yang berasal dari Jerman dan Belanda. Apa itu Buku Nare-nare? Nare-nare dalam bahasa Indonesia artinya kawan atau teman, tersirat di dalamnya ajakan: mari duduk bersama-sama dan kita belajar bersama-sama.

Harapan para penyusunnya buku ini bisa menjadi alat bersama umat Tuhan untuk tolong-menolong sebagai seorang kawan. Teman atau kawan satu kelompok yang sudah bisa membaca menolong sahabat atau saudaranya yang belum mampu membaca. Yang sulit menjadi mudah, yang terbelakang menjadi yang terdepan. 

Buku Nare-nare disusun berdasarkan budaya tutur orang Yali. Maka pelajaran mengenal abjad atau aksara tidak dimulai berdasarkan urutan a, b, c, d dan seterusnya. Penyusun buku memulainya dengan huruf-huruf yang dikenal masyarakat setempat. “Dalam kebudayaan orang Yali, huruf ‘o’ misalnya menghasilkan kata rumah. Maka kita mula-mula mengajar mereka untuk mengenal huruf ‘o’. Jika sudah dikuasai, esoknya mereka belajar tentang pohon. Karena pohon adalah benda yang umum di sekitar orang Yali. Dalam bahasa Yali mayoritas huruf pembentuk kata pohon adalah huruf “e”. Demikian seterusnya, dengan demikian dalam jangka waktu tiga bulan saja, orang-orang Yali sudah bisa membaca, menulis sederhana dan selanjutnya memegang Alkitab Yali. 

Setelah 13 tahun Natan dan rekan-rekannya berjuang, titik terang mulai nampak. Kini sudah banyak warga Kabupaten Yahukimo dan Yalimo yang bisa baca tulis. Jika dulunya susah mencari tutor pengajar, sekarang jumlah tutor mencapai lebih dari 70 orang. Mengapa 70 orang? Karena di wilayah suku Yali ada sekitar tujuh puluh gereja. Paling tidak sekarang di setiap gereja, ada satu orang tutor. Tugas utama para tutor adalah mengumpulkan mereka yang masih tergolong buta huruf dan mengajar umat baca dan tulis dengan senjata utama buku Nare-nare. 

“Hari ini saya mau sampaikan kepada Sahabat-sahabat di Lembaga Alkitab Indonesia juga misionaris dari Jerman yang berani mengambil keputusan untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Yali. Yakinlah bahwa hasil jerih lelah tersebut tidak pernah sia-sia,”tuturnya. “Alkitab yang telah diterjemahkan dan dietak tersebut tidak kami biarkan tersembunyi dan tersimpan dalam gudang. Jika kemarin sudah dicetak 10.000 eksemplar Alkitab Yali, saat ini Alkitab tersebut sudah habis dibagikan kepada orang Yali. Karena pada hari ini, semakin banyak orang Yali yang bisa membaca. Setelah mereka bisa membaca, mereka sangat berharap memiliki Alkitab Yali,”tambahnya. 

Karena prestasi Natan dan rekan-rekannya dari GKI di Tanah Papua, pada akhir 2016 gereja menerima penghargaan khusus dari United Evangelical Mission (UEM) dari Jerman. “Mereka yang dulunya buta huruf sekarang lancar membaca, yang tidak terdengar suaranya di ibadah, sekarang ikut beryanyi dengan riang, yang dulunya tidak bisa menulis sekarang sudah mampu melakukannya. Mereka yang dulunya setiap ibadah duduk di belakang karena rendah diri, sekarang sudah mampu memimpin di depan. Yang dulunya dianggap terhina, sekarang mendengarkan suara Tuhan secara langsung melalui Alkitab,”lanjutnya dengan bangga. Bagi Natan ini adalah mujizat Tuhan di Tanah Papua, khususnya di daerah Lembah Yalimo.

“Ketika umat sudah bisa membaca Alkitab sendiri, mengerti dengan hati dan pikirannya sendiri, pada saat itulah ia telah betul-betul siap menerima Tuhan. Ketika masih buta huruf, telinganya memang terbuka, namun mulut dan hatinya mungkin masih tertutup. Sapaan Roh Tuhan belum mereka terima dengan baik,”katanya.  

Natan berpikir, kalau LAI berjuang untuk menerjemahkan Alkitab dan selanjutnya menggalang dana bagi pencetakan 15 – 20 ribu eks. Alkitab, gereja juga harus berjuang mempersiapkan umat Tuhan agar dapat menerima Kitab Suci dalam bahasa mereka. Kalau umat belum memiliki kemampuan membaca, Alkitab yang dibagikan tersebut akan sia-sia dan hanya membuang anggaran. “Penerjemahan dan penerbitan Alkitab harus dilaksanakan bersamaan dengan pemberantasan buta aksara,”tegas Natan.   

Ketika Kabar Baik Masuk Yali

Bagaimana ceritanya orang Yali menerima Kabar Baik? Injil masuk di tengah-tengah orang Yali sejak 60 tahun yang lalu, tepatnya 24 Maret 1961 dibawa oleh misionaris Dr. Siegfried Zöllner dari Jerman dan dr. Wim H. Vriend dari Negeri Belanda tiba di lembah Yalimo, tepatnya di Suele di kampung Piliam dan Kampung Pronggoli. Orang-orang Yali menyambut mereka dengan penuh keramahan. Setelah beberapa waktu tinggal di orang-orang Yali, mereka menerjemahkan Injil ke dalam Alkitab bahasa Yali: Allah Wene, Fano Wene. Allah Wene artinya adalah Kabar Baik, kabar gembira atau firman Tuhan. 

Sebagai putra Yali, Natan bersyukur karena Alkitab yang telah diterjemahkan oleh tim yang terdiri dari LAI, para misionaris dan melibatkan penutur asli bahasa Yali itu memberi dampak yang luar biasa dalam kehidupan masyarakat Yali. Alkitab membuat orang-orang Yali mulai mengenal Tuhan Yesus. Mereka mulai mengenal Hukum=hukum Tuhan, pembaptisan, perjamuan kudus dan berbagai ajaran Kitab Suci lainnya. Mereka mulai mengikuti apa yang diajarkan Tuhan melalui Injil. Orang Yali mulai membedakan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan firman Tuhan yang mereka dengar. 

Alkitab bahasa Yali (Allah Wene, Fano Wene), kini menjadi dasar gereja untuk melayani peribadahan dan pembinaan umat. Bagi Natan itu adalah manfaat utama dari menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa daerah, yaitu memberi dasar dan pedoman untuk para pelayan dalam mendidik dan mengajarkan iman kristiani kepada umat dari generasi ke generasi. 

Dalam konteks masyarakat Yali ibadah dilakukan dalam suasana penuh kebersamaan. Setiap orang yang hadir mengambil bagian. Ada yang mendapatkan tugas membawakan doa, ada yang membacakan bagian Alkitab tertentu, ada yang membacakan 10 hukum, ada yang bertugas memandu pujian dan sebagainya. Semua orang yang hadir mengambil bagian dan ingin terlibat langsung dalam peribadahan. 

Yang kedua, penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah sekaligus menjaga kelestarian bahasa daerah. Bahasa daerah menurut Natan merupakan anugerah dan berkat pemberian Tuhan bagi suku dan daerah tersebut. Natan mengamati, dalam peribadahan gereja di Yali, kalau pemberitaan firman mengggunakan bahasa indonesia maka umat seperti setengah hati menyimaknya. Karena pengertian mereka terhadap bahasa Indonesia juga terbatas. Tetapi jika peribadahan menggunakan pengantar bahasa daerah, baik liturgi dan khotbahnya, efeknya di tengah umat sangat luar biasa. 

Yang ketiga, Natan meyakini Alkitab atau firman Tuhan berkuasa mengubah perilaku, cara berpikir, karakter, dan gaya hidup manusia. Natan menyatakan, dulunya antar kampung dan suku sering terjadi peperangan sekarang sudah tidak ada. Orang Yali sekarang hidup dalam damai dan penuh sukacita. Dulunya mereka hidup dalam kegelapan dan merasa dirinya sebagai penguasa bumi. Mereka merasa sebagai pemilik alam semesta karena mereka melihat tidak ada orang lain selain orang Yali. Karena yang mereka lihat setiap hari di sekitar mereka hanya hutan dan gunung-gunung tinggi yang melingkupi perkampungan mereka. Mereka berpikir tidak ada orang lain di dunia ini. Pada masa itu di Jayapura Injil sudah lama mendarat, gereja-gereja telah berkembang, sekolah sudah berkembang, bahkan pada 1962 di Jayapura berdiri Universitas Cendrawasih. Namun, orang Yali pada 60 tahun yang lampau masih berpikiran tidak ada orang lain di dunia ini. Hanya orang Yali satu-satunya penghuni bumi. Sekarang pikiran dan wawasan orang-orang Yali semakin terbuka. Bagi Natan sendiri, yang beroleh kesempatan sekolah hingga jenjang sarjana, ini suatu mujizat luar biasa. Dari orang-orang yang gemar berperang dan dikuasai dendam menjadi masyarakat yang hidup damai, penuh cinta kasih dan sukacita. 

Sebagai wakil rakyat kelahiran Yali dan sekaligus aktivis gereja, Natan tidak ingin berpuas diri melihat orang Yali sekarang sudah banyak yang bisa membaca dan menulis. Ia berharap orang-orang Yali bangkit dan mengejar ketertinggalannya dari masyarakat di daerah lain. Terutama angkatan yang muda harus mau berjuang, bangkit untuk membangun daerahnya. Mereka harus memiliki semangat untuk menolong saudara-saudara, kawan-kawan mereka yang tinggal di balik gunung, terutama orang-orang tua yang ada di sana. 

Natan berharap kerja sama antara gereja dan LAI terus berjalan dengan baik. Jika ada kesempatan, Natan ingin LAI hadir kembali di tanah Yali, terutama di Angguruk dan Apahapsili untuk bertemu dengan umat Tuhan di sana, yang sekarang sudah mulai lancar membaca. Ia berharap LAI dapat bekerja sama dengan gereja untuk melatih dan membimbing umat dalam membaca Alkitab secara kontekstual. Harapannya, umat Tuhan di Yali semakin dikuatkan dan diteguhkan imannya dalam menghadapi perubahan zaman dan sekularisasi. Semoga dengan demikian, Injil sungguh-sungguh menjadi kekuatan Allah yang menyelamatkan masyarakat Yali dari generasi ke generasi.