Pdt. Albertus Patty: Orang Kristen Dipanggil untuk Menghadirkan Keadilan dan Kemanusiaan

Pdt. Albertus Patty: Orang Kristen Dipanggil untuk Menghadirkan Keadilan dan Kemanusiaan

 

Tahun ini Pendeta Albertus Patty akan memasuki usia 60 tahun. Dan tahun ini pula, ia akan genap menjalani 35 tahun panggilannya sebagai pendeta masyarakat dan juga aktivis kebangsaan. Pendeta masyarakat? Dari awal memang Berty, panggilan akrab teman-temannya, tidak pernah hanya ingin dibatasi sebagai pendeta jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Maulana Yusuf Bandung. Pelayanan pendeta jemaat menurutnya dibatasi sekat dan tembok gereja. Ia ingin pelayanannya memberi dampak yang lebih luas. Maka ia lebih senang jika disebut sebagai pendeta masyarakat, karena toh baginya gereja hadir untuk memberi dampak dan pengaruh bagi masyarakat dan bangsanya. 

Sejak Kecil Hobi Berpikir

Sejak kapan sebenarnya muncul keinginan dalam diri Berty untuk mendalami teologi? “Kalau boleh saya katakan, sejak kecil telah muncul keinginan kuat dalam diri saya untuk mendalami filsafat. Waktu masih anak-anak di benak saya sudah sering muncul pertanyaan-pertanyaan tentang asal muasal segala sesuatu,”terangnya. “Misalnya, saya adalah anak dari orang tua saya, cucu dari kakek dan nenek saya. Terus hingga kalau disambungkan, leluhur manusia berasal dari Adam dan Hawa. Nah, dari mana Adam dan Hawa itu berasal? Bagaimana mereka bisa ada? Pertanyaan filosofis seperti ini sudah akrab dengan saya sejak kecil,”lanjutnya. 

Bahkan menginjak masa remaja Berty sudah mempertanyakan di manakah dan dari manakah Tuhan? Maka menjelang lulus SMA Berty berniat mengambil studi filsafat. Ia ingin mencari jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan yang telah muncul di benaknya sejak kecil. Pendeknya ia ingin mencari jawaban atas asal muasal kehidupan dan alam semesta. Mengetahui niat Berty, ibunya yang seorang dosen menyarankannya untuk mengambil pendidikan teologi. “Apakah di teologi kita belajar filsafat?”tanya Berty. Ibunya pun mengiyakan. Maka setelah lulus SMA Berty melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, salah satu perguruan tinggi teologi yang terbaik di Indonesia. 

Dan ternyata benar. Sepanjang belajar teologi, Berty senantiasa menggumuli dan terus mendalami berbagai pertanyaan eksistensial manusia. Bukan sekadar belajar atau menghapal, melainkan menggumuli. Bahkan dalam tataran filosofis, Berty menggumuli pula Allah dan keberadaan-Nya. Pencariannya tak jarang membawanya ke dalam kebimbangan dan pasang surut pergumulan iman. “Saat saya memasuki tingkat tiga pernah saya ingin mundur dari STT Jakarta karena pergumulan tentang persoalan filsafat. Saya membaca buku Friedrich Nietzsche, “God is Dead Teology”. Saya mengalami pergumulan luar biasa saat mempelajari buku tersebut, namun saya bisa akhirnya bisa melewatinya,”katanya.  

Setelah selesai menempuh pendidikan dari STT Jakarta, Berty mempersiapkan diri untuk menjadi calon gembala umat. “Waktu itu saya mau ditempatkan di Jakarta, tapi saya bilang kepada Sinode GKI agar saya jangan ditempatkan di Jakarta. Saya bersedia di tempatkan di mana saja, asal jangan di Jakarta,”tegasnya. Berty memandang dari dahulu Jakarta selalu menjadi tempat yang orang pilih untuk berkarya. Karena fasilitas dan berbagai kemudahan yang ada. Namun sebagai orang yang lahir dan besar di Jakarta, Berty justru ingin mencoba tantangan baru. Ia ingin mencari suasana yang berbeda. 

Keinginan Berty ditanggapi positif oleh SInode GKI. Mereka kemudian menempatkan Berty di GKI Juanda Bandung (sebelum bernama GKI Maulana Yusuf Bandung). Di jemaat ini Berty diharapkan dapat mengembangkan talentanya untuk melayani kalangan mahasiswa dan kaum intelektual, yang merupakan mayoritas warga jemaat ini. 

“Melayani para perantau yang sebagian besar mahasiswa (ITB, UNPAD, UNPAR), bahkan dosen, hingga rektor, adalah cara TUHAN agar saya terus menggumuli bagaimana berbicara tentang Tuhan dan menyampaikan pengajaran bagi kaum intelektual. Tentang iman kristiani, tentang iman dan kebangsaan, tentang demokrasi dan kemanusiaan dan sebagainya. Mau tidak mau saya didorong untuk terus menerus belajar dan mempersiapkan materi pembinaan saya. Bukan hanya menyampaikan materi saja namun bagaimana diri saya sendiri belajar memahaminya,”katanya. 

Tak jarang ide-ide Berty awalnya dianggap aneh, di luar pakem, namun belakangan malah banyak yang mengikuti dan meniru. “Saya bergabung dengan GKI pada tahun 1986. Setahun kemudian saya langsung membuat terobosan untuk melakukan aktivitas dialog antar umat beragama. Saat itu belum pernah ada yang memiliki ide seperti itu. Kami mengundang para intelektual muslim, seperti: Johan Effendi, Jalaludin Rahmat ke gereja. Jalaludin saat itu masih dikenal sebagai sosok fundamentalis. Gara-gara saya undang, akhirnya beliau sekarang dikenal sebagai sosok pluralis,” tuturnya. 

Program Berty untuk menghadirkan dialog terbuka lintas iman, pelan tapi pasti membuka wawasan kedua belah pihak. Bukan sekadar saling mengenal dan mengetahui keyakinan masing-masing, namun yang utama tumbuh sikap saling menghormati dan menghargai. Bahkan terbuka jalan untuk mengadakan berbagai kegiatan bersama. 

Dari mana Berty memperoleh ide-ide tentang dialog antar iman dan kebangsaan tersebut? Ternyata pemikirannya sudah dimulai dari masa dirinya masih kanak-kanak. “Waktu kecil saya pernah berbincang dengan ibu saya. Saya merasa ibu terlalu sayang dengan adik saya. Muncul rasa iri dalam diri saya. Saya ingin merebut cinta ibu saya. Sejak saat itu segala macam pekerjaan di rumah saya kerjakan dengan sungguh-sungguh. Selama satu minggu pernah saya tidak bermain keluar rumah. Saya mengepel lantai, menyiram tanaman, pendeknya apapun yang ibu saya suruh atau perintahkan akan saya kerjakan,”terangnya.

Setelah semua selesai saya lakukan, maka saya langsung bertanya kepada ibu,”Mami siapa anak mami yang paling mami cintai?” Maka ibu saya mengatakan,”Mami mencintai semua anak mami.” Saya tidak puas dengan jawaban tersebut dan kembali bertanya,”Ada tidak yang lebih sedikit mami cintai dibanding yang lain?” Ibu menjawab,”Tidak ada, mami mencintai semua anak mami.”

Mendengar jawaban ibunya, di satu sisi Berty merasa lega ternyata ibunya tidak pilih kasih, tetapi di sisi yang lain ia merasa kesal, karena kerja kerasnya selama satu minggu tidak membuatnya lebih dicintai dari saudara-saudaranya yang lain. Dari situlah muncul pemikiran teologis dalam benak Berty, Allah sebenarnya mencintai semua anak-anak-Nya. Allah tidak pernah membeda-bedakan orang. Tuhan Allah mencintai semua umat manusia apapun latar belakangnya. Dari situlah pemahaman teologi Berty berkembang hingga sampai sekarang. 

Bagaimana seorang anak kecil memiliki pemikiran begitu mendalam? Ternyata bibit intelektual memang sudah berasal turun-temurun, terutama dari keluarga ibunya. “Keluarga mami saya (Siwabessy) rata-rata merupakan kaum intelektual. Salah satunya kalau pernah tahu adalah Prof. Siwabessy (ahli atom dan mantan Menteri Kesehatan). Mami saya sendiri seorang dosen. Membaca buku sudah menjadi kebiasaan di dalam keluarga kami,”terangnya.

Menjadi Pendeta Masyakarat

Meski kegiatannya sebagai pendeta GKI, penggiat dialog lintas iman, bahkan pernah mengajar di perguruan tinggi sangat padat, Pdt. Albertus Patty juga pernah aktif dalam kepengurusan Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI) dan bahkan pernah mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PGI. 

“Saya selalu berpikir kalau seseorang itu menjadi pendeta, artinya ia bukan hanya pendeta jemaat melainkan pendeta masyarakat. Karena karya apapun yang dibuat bagi jemaatnya akan mempengaruhi masyarakat, begitu juga sebaliknya. Kalau seorang pendeta membuat sesuatu yang baik bagi jemaat, masyarakat di sekitarnya pun akan berkembang. Oleh karena itu dari awal saya sampaikan kepada warga jemaat saya, bahwa saya bukan hanya pendeta jemaat, melainkan pendeta masyarakat, lebih luas lagi pendeta bagi bangsa ini. Ini bukan sesuatu yang luar biasa. Bukankah kita memang dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia? Garam dan terang dunia artinya, bukan hanya garam dan terang jemaat. Karena itu kami di GKI Maulana Yusuf, Bandung mempersiapkan jemaat agar dapat memahami dan mendukung panggilan seluruh pendetanya menjadi pendeta masyarakat. 

Dalam Sidang Raya PGI di Sumba 2019, Pdt. Albertus Patty ikut mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PGI. Awalnya ia tidak terlalu berhasrat. Terlebih lagi ia menyadari dari kalangan gerejanya sendiri, Gereja Kristen Indonesia (GKI), banyak calon-calon yang tak kalah hebat, berwawasan luas dan inovatif. Belum dari gereja lainnya. Namun, kemudian banyak pihak yang mendorongnya untuk maju dalam pemilihan. Mereka rata-rata orang yang berharap ada perubahan nyata dalam tubuh PGI. Dorongan dari para sahabat dan rekomendasi resmi dari Sinode GKI, meyakinkannya untuk maju. Apa yang diharapkannya dari jabatan tersebut? 

“Menurut saya, perubahan di PGI hanya bisa dilakukan jika kita menjadi Ketua Umum ataupun Sekretaris Umum. Sebelumnya saya pernah menjadi salah satu Ketua PGI, namun kewenangannya sebatas sumbang saran dalam rapat semata. Maka saya berpikir sekiranya saya menjadi Ketua Umum, saya akan dapat melakukan beberapa perubahan mendasar di PGI. Yang pertama, untuk merencanakan dan menjalankan program-program pemberdayaan masyarakat. Terutama di daerah=daerah timur Indonesia. Kita sama-sama menyadari bahwa kantong-kantong kemiskinan di wilayah timur Indonesia ada di wilayah umat Kristen. Yang kedua: mempersiapkan leadership di kalangan Kristen yang mulai tertinggal dibanding kelompok masyarakat lainnya. Saya tahu persis dewasa ini NU dan Muhamadiyah begitu luar biasa dalam mempersiapkan kader-kadernya. Di tataran PGI maupun di kalangan gereja lokal hal tersebut nyaris tidak dilakukan. Secara singkat, dengan menjadi Ketum PGI waktu itu saya berharap dapat berkontribusi lebih luas bagi gereja dan bangsa. 

Sebagai sosok pemikir, dan aktivis penggerak kebangsaan, Berty dikenal sebagai sosok tangguh pendukung demokrasi dan persamaan hak di antara pria dan wanita. Ia pernah dipandang “aneh” karena mendukung pernikahan beda agama bahkan menghormati hak-hak kaum LGBT. Berbagai kritikan diterimanya dengan lapang dada, namun ia tidak goyah dengan pendirian pribadinya. Apa sesungguhnya yang ingin dirinya tunjukkan kepada gerja dan masyarakat umum?

“Simple: keadilan dan kemanusiaan!”tegasnya. “Kalau Yesus itu mati untuk memanusiakan kita semua, jika Yesus hadir untuk menciptakan keadilan mengapa orang kristen menjadi orang yang melakukan penghakiman, diskriminasi, ketidakadilan, kekerasan verbal bahkan fisik kepada sesamanya? Dalam hal ini tentu saja konteksnya termasuk kaum LGBT. Sekali lagi landasannya keadilan dan kemanusiaan, karena itulah saya tidak terlalu ambil pusing terhadap segala hujatan dan kritikan. Mengikuti teladan Yesus, saya akan terus berjuang melakukan pembelaan untuk kaum terpinggirkan(termarjinalkan),”terangnya.  

Antara teologi praktika dan dogmatika menurut Berty mestinya terjalin kesesuaian. Prinsip ajaran gereja atau dogmatika menurutnya harus berdasarkan cinta kasih yang menciptakan keadilan dan kemanusiaan.Menurut Berty kalau sebuah dogma atau doktrin kehilangan cinta, artinya sudah menyimpang dari prinsip dasar kekristenan. “Bukankah prinsip utama dalam kekristenan itu adalah cinta kasih?”katanya. “Kasih sudah sewajarnya menjadi landasan utama dalam pengajaran kristiani. Menurut saya, kalau dogmatika kekristenan tidak lagi memiliki kasih, dogmatika tersebut sudah tidak sesuai dengan prinsip dasar kekristenan.”

Dogma gerejawi apapun itu lahir dalam suatu konteks tertentu ataupun pergumulan tertentu. Misalnya: Ada dogma yang lahir di masa pemerintahan Kaisar Konstantin pada abad ke-4, ada dogmatika yang lahir di Eropa pada abad pertengahan, dalam konteks Eropa yang didominasi orang-orang bule,”jelasnya. 

Sekarang kita hidup di zaman perubahan yang begitu cepat dalam sains, teknologi, mobilisasi masyarakat yang begitu tinggi. Dalam situasi seperti ini orang dibiasakan hidup dalam pluralisme baik denominasi gereja maupun agama. Muncul tantangan-tantangan baru seperti: kesenjangan ekonomi dan berbagai masalah ekologi. Agama mesti mampu menjawab semua persoalan yang ada. Bagaimana caranya menjawab tantangan zaman tersebut? Dengan menghadirkan Kristus yang menciptakan keadilan dan kemanusiaan,”terangnya lebih lanjut.  

Arti Kitab Suci

Dari kecil Berty sudah terbiasa membaca berbagai buku untuk menambah wawasannya. Tentu saja tidak ketinggalan Alkitab. Bagaimana Berty memandang Kitab Suci? “Bagi saya Kitab Suci adalah sesuatu yang penting, tapi dalam pembacaannya kita tidak boleh terjebak dalam bibliolitery. Saya menghargai isi dan pengajaran dari Kitab Suci. Namun, saya tidak mau terjebak ke dalam bibliolitery yang membuat kita menjadi seorang fundamentalis. Maksudnya kita membaca Alkitab hanya secara tekstual dan literary sehingga kita kemudian menolak segala macam perkembangan keilmuan, seperti: menolak mati-matian evolusi, menolak ilmu pengetahuan, menolak LGBT. Menurut saya, LGBT adalah kenyataan yang sudah dibuktikan oleh ilmu kedokteran bahwa ternyata dalam kenyataannya ada orang yang tubuhnya memang laki-laki namun jiwanya perempuan, atau malah sebaliknya. Kita tidak bisa menyuruh mereka bertobat atau mengubah hidup mereka, yang bisa kita lakukan hanyalah menerima keberadaan mereka apa adanya. Kalau kita hanya membaca Alkitab secara literal, maka kita akan mati-matian menerapkan Alkitab yang ditulis ketika ilmu pengetahuan belum berkembang pada masa itu. Kita akan menjadi orang kristen yang cupet (bepandangan sempit),”jelasnya. 

Lebih lanjut Berty menganjurkan agar jika kita membaca Alkitab pakailah prinsip teolog Karl Barth. “Karl Barth mengatakan kalau kamu membaca Alkitab di tangan kanan, maka tangan kirimu harus memegang newspaper (koran),”katanya. “Pada intinya kita harus membaca Alkitab kita dengan kuasa Kristus yang menyelamatkan, yang menciptakan keadilan dan kemanusiaan. Jikalau kita baca secara literal, bisa-bisa kita berpandangan orang mesir tidak mungkin bisa menjadi Kristen, karena Israel selalu bermusuhan dengan Mesir. Orang Palestina tidak bisa jadi Kristen, wanita tidak mungkin menjadi imam atau berbicara di dalam pertemuan ibadah. Pakaian kita harus seperti orang-orang Palestina di zaman Kristus hidup. Baik dalam membaca, berpikir maupun bertindak kita membutuhkan daya kristis. Itu yg dinamakan discernment (kearifan). Kita harus mampu membaca Alkitab dengan kacamata baru, cara pandang baru, kondisi baru dan konteks yang baru.” 

Belajar dari Covid-19

Pdt. Berty memberi contoh konkrit peristiwa pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia dari awal 2020 dan bagaimana warga gereja harus menaggapinya. Yang pertama, kita harus melihat persoalan hidup apapun termasuk pandemi sebagai bagian dari kehidupan. Kita harus menerimanya secara wajar, tidak usah diliputi ketakutan berlebihan, melainkan harus selalu hidup dalam pengharapan. Covid memang meruapakan bencana, namun Berty menganjurkan umat kristiani untuk menerima ini seperti pergumulan pada umumnya sehingga kita memiliki keyakinan untuk menang dan bersukacita. Persoalan apapun boleh terjadi dalam kehidupan kita, namun hati kita harus tetap nyaman dan tenang karena kita memiliki Tuhan, demikian keyakinan Berty. 

Kedua gerja bisa mempersiapkan diri agar bisa tetap melaksanakan pelayanan bagi warganya dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Ketiga: mempersiapkan jemaat menghadapi berbagai perubahan terkait pandemi dan revolusi teknologi digital. Kita saat ini dihadapkan dua hal sekaligus. Yang pertama pandemi Covid-19 dan yang kedua revolusi teknologi digital. Jemaat harus dipersiapkan mental dan intelektualnya dalam menghadapi berbagai perubahan ini. Jangan sampai begitu pandemi selesai mereka kehilangan pekerjaan. Karena begitu banyak pekerjaan pasti akan menghilang karena adanya revolusi teknologi digital ini. 

Jemaat yang Berdampak

Sebagai seorang pendeta masyarakat, arah berpikir Berty senantiasa terarah keluar, tidak hanya sempit dan dibatasi tembok gereja. Berty memandang bahwa gereja tidak bisa berdiam diri tidak peduli dengan permasalahan lingkungannya, karena apa yang terjadi di luar pasti akan berimbas ke gereja pula. 

“Bagi saya sudah saatnya gereja menyatu dengan masyarakatnya. Apa yang dilakukan oleh gereja bisa berdampak bagi masyarakatnya dan sebaliknya. Gereja semestinya mulai mempersiapkan dan menciptakan kader-kader atau intelektual yang bukan sekadar aktivis gereja atau intelektual Kristen, tapi intelektual yang berdampak bagi bangsa dan negara, bahkan bagi seluruh alam raya ini,”terangnya. 

Maka, Pdt. Albertus Patty menggambarkan konsep pelayanannya sebagai memanusiakan manusia, siapapun dia, apapun agamanya, bahkan apapun orientasi seksualnya. Karena menurutnya untuk itulah Kristus hadir, untuk memanusiakan manusia. Panggilan ini lebih dalam dari sekadar kristenisasi, “mengkristenkan seseorang”. Artinya setiap pengikut Kristus semestinya berpikir dalam konteks bagaimana nilai kekristenan saya itu membuat saya menjadi manusia bagi sesame, kehadiran saya memberi manfaat dan membuat sesama kita merasa di hargai, dihormati dan dicintai. Saya pikir jika itu bisa kita lakukan akan menumbuhkan sebuah keindahan.

Menjadi Lebih Pintar Setiap Menit

Berty senantiasa berusaha memanfaatkan setiap waktu yang dimilikinya untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Ini tergambar dalam motto hidupnya: setiap menit yang saya lewati harus lebih pintar dari menit sebelumnya. “Saya kalau nonton TV sebentar saja langsung mengantuk, tetapi kalau saya membaca buku saya malah merasa segar kembali. Saya merasakan kenikmatan tersendiri setiap kali membaca buku,”tuturnya. 

Berty bercerita kalau sedari kecil memang ia sangat suka membaca buku. Beragam bacaan menumbuhkan banyak inspirasi dan ide-ide segar di kepalanya. Ia mendiskusikan berbagai hal yang dibacanya bukan hanya dengan kalangan pemikir intelektual, namun juga dengan anak-anaknya. Ini menjadi waktu-waktu keakraban tersendiri di antara mereka. Buku dan bacaan bagaikan vitamin yang menjadi sumber kekuatan dalam pelayanan Berty. 

“Misal di masa pandemi ini orang meminta saya untuk menjadi narasumber dalam webinar. Kadang-kadang dalam ceramah atau webinar tersebut saya tidak memperoleh bayaran. Istri saya pernah bertanya, kamu sudah berjerih lelah mempersiapkan materi kok seperti tidak dihargai? Saya katakan kepadanya, tidak menjadi masalah buat saya. Untuk mempersiapkan webinar saya sudah membaca banyak buku. Artinya, secara tidak langsung saya makin pintar. Bukankah itu bayaran juga?”

Masa-masa pembatasan akibat pandemi, disikapi Berty sebagai kesempatan yang membawa banyak berkat. Meskipun ia menyadari, ada perbedaan yang cukup besar antara kehidupan sebelum dan setelah pandemi, Berty menganggapnya semua itu bukan sebuah masalah besar. Ia malah memiliki lebih banyak waktu di rumah. Ia kini memiliki banyak waktu untuk melakukan tiga hal, membaca, belajar, dan berolahraga. “Bahkan sambil berolahraga saya masih tetap belajar menggunakan earphone,”ujarnya. “Istri saya pernah berkomentar, mungkin kalau sudah mati baru kamu tidak membaca atau belajar,”lanjutnya sambil tertawa. Bahkan Berty bercerita, seringkali ide-ide penulisan dan pemikirannya ia peroleh di malam hari, di tempat tidur. Kalau sudah demikian, maka ia akan menjadi gelisah dan susah tidur. “Istri saya sudah paham, kalau saya sudah bolak-balik gelisah di tempat tidur, artinya ada ide baru yang saya peroleh,”katanya.

Sebagai seorang doktor lulusan Amerika, Berty memandang intelektualitas bukan sekadar lembaran ijasah. Baginya, seorang intelektual sejati adalah mereka yang senantiasa mengasah dan meningkatkan kemampuannya melalui bacaan, diskusi dan pelatihan sepanjang hayat. “Saya dalam berbagai forum perbincangan maupun seminar jarang sekali mencantumkan gelar akademis saya. Hampir tidak pernah malahan. Kecuali ketika orang menanyakannya dalam rangka sertifikasi atau kewajiban jabatan. Ini biasanya ketika saya membawakan seminar di pemerintahan, orang menanyakan gelar akademis saya. Kapasitas intelektual seseorang tidak melulu bergantung kepada gelar,”katanya. “Saya tidak terlalu pusing dengan gelar dan jabatan seseorang. Setiap manusia dinilai dari karya dan pelayanan yang ia perbuat, bukan dari gelar, kekayaan atau apapun yang ia miliki,”tuturnya. 

Demikianlah, Albertus Patty hingga hari ini terus berkarya. Goresan penanya, khotbah-khotbahnya bahkan pemikirannya mungkin senantiasa berubah, berkembang seiring bacaan-bacaan yang terus digumulinya. Namun, bagi Berty panggilan kekristenan kita tidak pernah berubah. Seperti juga kehadiran Kristus, setiap orang Kristen dipanggil untuk menghadirkan keadilan dan kemanusiaan di manapun ia berada. 

Di masa depan, Berty tetap ingin terus berkarya, menyumbangkan ide dan mempengaruhi pemikiran-pemikiran dalam ranah teologi, sosial maupun kebangsaan. “Ada dua keprihatinan, yang pertama kita melihat penggumpalan identitas atas nama etnik dan agama makin hari makin luar biasa. Dan yang kedua orang atas nama agama melakukan tekandan dan penindasan terhadap mereka yang berbeda, baik karena berbeda keyakinan, berbeda gender, maupun berbeda orientasi seksual. Bagi saya, orang-orang ini, memiliki dan menjalani agamanya tetapi kehilangan nilai-nilai dasar agama yaitu cinta kasih kepada sesama. Ini PR kita bersama. Sebuah pergumulan yang makin hari makin terasa menekan kita, dan saya ingin terus berkontribusi di dalamnya. Demi masa depan negeri kita, demi perdamaian dan masa depan kemanusiaan.”