Pdt. J.L.Ch. Abineno: Utusan Tuhan yang Setia

Pdt. J.L.Ch. Abineno: Utusan Tuhan yang Setia

 

“Tinggalkan sesuatu agar orang tahu, bahwa kita pernah berbuat sesuatu.” Demikian jawaban yang serius namun santai dari Abineno saat ditanya bagaimana ia mampu menulis demikian banyak buku. Karya Abineno sampai sekarang masih terus dibaca dan dijadikan rujukan mahasiswa teologi, pendeta dan umat awam yang berkecimpung dalam pelayanan gereja. 

Siapa sebenarnya Abineno? Kita dapat melihat riwayatnya sebagaimana dikisahkan buku “Utusan yang Setia – Mengenang Hidup dan Karya Pelayanan J.L.Ch. Abineno” terbitan BPK Gunung Mulia. 

Ia dilahirkan pada tanggal 7 Desember 1917 di Baun, Pulau Timor dengan nama Johannes Ludwig Chrysostomus Abineno. Ayahnya bernama Tobias Abineno seorang fetor (raja kecil) dan Ibunya Carolina Koroh lahir sebagai bagian keturunan raja-raja Kerajaan Amarasi, kerajaan lokal di Pulau Timor. Abineno yang memiliki panggilan akrab Nani dikenal sebagai seorang murid Sekolah Rakyat yang aktif, cerdas dan tidak mudah diatur. Gurunya seringkali kerepotan oleh ulah yang dia buat, sehingga sering melaporkan Abineno ke ibunya. Tetap saja walaupun sudah dilaporkan, dan berkali-kali diperingatkan, Abineno tidak berubah dan tetap berkelakuan sebagaimana ia adanya. 

Dari Sekolah Rakyat ia kemudian melanjutkan ke Schalkelschool (Sekolah lanjutan dari Sekolah Rakyat) yang merupakan sekolah terbaik di Kupang di tahun 1932-1936. Selama pendidikannya di sana dia tinggal bersama keluarga Pendeta Middelkoop di Soe, Timor Tengah Selatan. Perbedaan paling menonjol dari siswa lainnya adalah Abineno sudah menguasai bahasa Belanda dan Jerman dengan baik sehingga dengan mudah melahap setiap sumber pengetahuan yang tidak dapat dibaca oleh siswa lainnya. Tahun 1936 hingga 1938 Abineno melanjutkan studinya di STOVIL (School tot Opleiding van Indlansche Lelaren), sekolah yang khusus mendidik anak-anak pribumi untuk menjadi guru dan pelayan di gereja di seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur. Perjalanan pendidikannya di teologi tidak lepas dari peran ibunya yang amat saleh dan taat beragama. Ibunya berharap Abineno mendalami agama. 

Abineno selanjutnya melanjutkan pendidikan ke HTS (Hoogere Theologische School) yang merupakan cikal bakal dari Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta. Semasa kuliah Abineno aktif dalam Perkumpulan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) dan sering diundang untuk mengikuti Konfrensi Pemuda Kristen Sedunia mewakili delegasi Indonesia. Di konfrensi yang mengundang pemuda-pemudi dari berbagai bangsa inilah dia berkenalan dengan Alberta Anthonia Meijer seorang delegasi Pemudi Kristen Belanda yang di kemudian hari menjadi istrinya.

Kecintaanya Dengan Buku

Pasca kemerdekaan, perkembangan gereja dan umat Tuhan di Indonesia bergantung juga pada kepiawaian dan pengetahuan pendeta-pendetanya. Minimnya pengetahuan dalam pelayanan umat akan mempengaruhi kehidupan berjemaat. Abineno mengambil peranan besar dengan menulis buku-buku untuk bisa memperlengkapi pendeta maupun penatua dan diaken. Ini juga sejalan dengan kepakaran yang dia miliki saat mengajar sebagai dosen Teologia Praktika di STFT Jakarta. Banyak buku yang dihasilkan Abineno bertema penggembalaan dan liturgi. Seperti bukunya yang berjudul “Apa Kata Alkitab I” Abineno berusaha menjelaskan bagaimana Alkitab menjawab setiap pergumulan maupun keresahan umat seperti pertanyaan mendasar tentang Allah yang kita sembah, dosa, pertobatan maupun berbagai pertanyaan tentang keselamatan. Tentang bidang pastoral Abineno menekankan, tugas pokok dari penatua dan diaken yakni menggembalakan umat yang dipercayakan Yesus kepada mereka. Artinya menurut Abineno, penatua dan diaken jangan terlalu sibuk  di sekitar bagaimana melayani ibadah dan caranya berkhotbah.

Andar Ismail di dalam bukunya “Selamat Mengaku” menggambarkan Abineno sebagai sosok yang mempunyai ciri khas kepakaran di satu bidang tertentu dan pandai di banyak bidang lain. Sejarah adalah satu bidang lain yang sangat dicintainya. Hal ini diungkapkan oleh Pdt. Dr. Th. Van den End seorang pakar sejarah Gereja di Indonesia. Pada usia 36 tahun Abineno bersekolah lagi di Belanda. Hanya dalam waktu tiga tahun ia meraih gelar Doktor di Rijks Universiteit, Utrecht, Belanda. Kepada Th. Van den End dia mengungkapkan sendiri sewaktu masih mahasiswa S3 sebenernya ingin mengambil spesialisasi sejarah gereja, sebelum akhirnya dia menjalani Teologi Praktika sesuai dengan kebutuhan dosen untuk pengembangan fakultas di STT Jakarta. 

Abineno adalah sosok yang begitu disiplin memanfaatkan waktu Tuhan berikan kepadanya. Gereja-gereja di Indonesia beruntung mendapat warisan puluhan buku hasil karyanya. Sebanyak 71 buku diterbitkan BPK Gunung Mulia, 6 buku terbitan Persetia, 13 buku terbitan STT Jakarta, dan 5 Firman Hidup. Ini belum ditambah berbagai tulisan lain yang dimuat di majalah-majalah dalam maupun luar negeri. Abineno pernah mengungkapkan kecintaannya terhadap buku, menimbulkan lelucon bahwa Ny. Abineno sebenernya adalah “istri keduanya” setelah buku. Koleksi bukunya terutama yang berbahasa Belanda (tafsiran-tafsiran), sebagian diberikan kepada salah satu muridnya yang menguasai bahasa Belanda, yaitu: Dr. O.E.Ch. Wuwungan (yang juga anggota Tim Penerjemah Terjemahan Baru Alkitab  1974).

Penerjemahan Alkitab Bahasa Indonesia.

Di Sumpah Pemuda disebutkan bagaimana Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan dan digunakan secara sadar dan bangga oleh bangsa yang kemudian memperoleh kemerdekaannya di tahun 1945. Nederlands Bijbelgenootschap (NBG, Lembaga Alkitab Belanda), yang saat itu masih aktif  di Indonesia pasca kemerdekaan Indonesia dari Belanda melihat perlunya Alkitab juga bisa diterjemahkan juga ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sendiri pada masa itu belum mendapat bentuk dan ciri yang jelas, serta belum menemukan keseimbangan dalam aturan baku yang dipakai. 

NBG mengutus Cornelis Dirk Grijns yang ahli dalam sastra Indo –Iran dan sastra Indonesia untuk ikut ambil bagian dalam menerjemahkan Alkitab bersama Dr. Swellengrebel. Ternyata proyek penerjemahan Alkitab yang semula diperkirakan hanya sebentar, menghabiskan waktu yang panjang. Proses penerjemahannya memakan 18 dari tahun 1952 hingga 1970. Di dalam prosesnya tim penerjemah harus juga memperdalam bahasa Indonesia dengan membaca-baca bacaan non Kristen seperti roman-roman modern dan majalah mingguan atau bulanan yang terbit di Jakarta, seperti diungkapan Dr. Swellengrebel di dalam bukunya “Mengikuti Jejak Leidjeker”. 

Karena permasalahan Papua, hubungan antara Indonesia dan Belanda kembali memanas. Orang-orang Belanda harus pulang ke negerinya, termasuk Swellengrebel. Namun, baik LAI dan NBG sepakat proyek penerjemahan Alkitab ke dalam Bahasa Indonesia harus terus berjalan. Grijns berpendapat sudah tiba waktunya, kepemimpinan tim diserahkan kepada orang Indonesia. 

Pada tahun 1962 Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) yang saat itu masih berumur 8 tahun membentuk Komisi Penerjemah yang diketuai oleh Abineno, dengan Raden Soedarmo sebagai wakil ketua, dan Grijns sebagai sekretaris yang juga sekaligus bertindak sebagai Panitia Pengarah. Anggota-anggotanya ada Naipospos, Wuwungan dan Siboroetorop. Pekerjaan penerjemahan berjalan terus dan semakin mantap dan di tahun 1964 ditambah anggota baru untuk memperkuat Komisi Penerjemah. Tiga anggota baru tersebut adalah: Pdt. M. H. Simanungkalit (GKI SUMUT), Dr. Liem Kiem Yang (Gereja Isa Almasih) dan Dr. Arie de Kuiper (Dosen STT Balewiyata Malang). 

Sampai akhirnya hampir sebagian besar naskah Alkitab selesai diterjemahkan dan tiba waktunya LAI meminta tanggapan gereja-gereja dengan mengadakan konsultasi nasional di Cipayung, Bogor pada Tahun 1968. Sejarah mencatat, dalam pertemuan ini Gereja Katolik Roma Indonesia ikut hadir dan menerima Alkitab terjemahan Bahasa Indonesia yang telah dikerjakan tim LAI sebagai terjemahan bersama. Padahal tim dari Gereja Katolik sendiri telah bertahun-tahun lamanya mengerjakan penerjemahan Alkitab ke dalam Bahasa Indonesia dan pekerjaan mereka sudah hampir selesai. Sungguh kebersamaan yang terjadi tersebut merupakan karunia Tuhan. 

Grijns yang lama bekerja sama dengan Abineno dalam menerjemahkan Alkitab menggambarkan rekannya tersebut sebagai seorang sahabat yang hangat dan suka membantu. Bukan apa-apa, Grijns melihat dengan mata kepalanya sendiri,  saat mendatangi rumah Abineno di Timor pada tahun 1960, yaitu ketika mengajaknya bergabung ke dalam Tim Penerjemah Alkitab Terjemahan Baru. Rumahnya tak pernah sepi dari warga jemaat yang mencari bantuan dalam berbagai kesulitan. Grijns juga melihat kesungguhan hati Abineno yang menjalankan sepenuh hati pekerjaannya sampai tuntas sebagai Ketua Komisi Penerjemahan Alkitab LAI. Padahal pada waktu yang bersamaan Abineno juga mengemban tugas sebagai Ketua Umum DGI (sekarang PGI) dan dosen STT Jakarta.

Setelah belasan tahun berjerih lelah, pada 1 Oktober 1969 manuskrip terjemahan Perjanjian Baru secara resmi diserahkan oleh tim kepada Badan Pengurus LAI, disertai catatan bahwa masih diharapkan beberapa perubahan, antara lain karena catatan-catatan dari mitra Katolik belum semua masuk. Selanjutnya Komisi Penerjemahan bekerja keras menyelesaikan naskah Perjanjian Lama. Tepat pada tenggat waktu yang ditetapkan, yaitu 1 Juli 1970, Prof. Dr. J.L.Ch. Abineno mewakili Komisi Penerjemahan, menyerahkan naskah final Perjanjian Lama Alkitab Terjemahan Baru kepada Badan Pengurus LAI. 

Selanjutnya yang dilakukan adalah penyelesaian beragam soal kecil yang tersisa. Pekerjaan penyusunan huruf, koreksi naskah dan mencetak teks ternyata menyita banyak waktu. Hingga pada 1974, terbitlah Alkitab Terjemahan Baru, Alkitab oikumenis yang baru dalam Bahasa Indonesia. 

Pelayan yang membangun dan tumbuh bersama

Abineno ditahbiskan sebagai pendeta dua hari setelah menempuh ujian akhir pada 17 Desember 1948 di Willemskerk (sekarang GPIB Imanuel). Pada awal 1949, ia bertolak  ke Timor untuk memenuhi tugas panggilannya di Gereja Masehi Injili Timor (GMIT). Di masa-masa awal pelayanannya di GMIT, ia meminta sendiri untuk ditempatkan di Pulau Rote, yang pada waktu itu merupakan klasis paling terbelakang. Di tempat terpencil tersebut, ia bersama istri, dan anak pertamanya yang baru lahir memenuhi panggilannya sebagai gembala umat. Abineno tidak sungkan untuk datang langsung kepada pendeta-pendeta yang sudah lama melayani di Rote, untuk membangun kedekatan dan mendiskusikan berbagai hal, agar dapat sama-sama bertumbuh dalam pelayanan. 

Sewaktu menjabat sebagai Ketua Sinode GMIT, Abineno menggagas aspirasi jemaat untuk mengajukan permohonan kepada Pemerintah Indonesia agar membangun sebuah perguruan tinggi di Kupang. Gagasan itu akhirnya memperoleh wujudnya pada 1 September 1962, saat berdirinya Universitas Nusa Cendana yang diharapkan membawa kemajuan pendidikan di Nusa Tenggara Timur.

Benar sekali pernyataan Paul A.J. Waney, dalam tulisannya “Pak Abineno, dalam Kenangan Saya”.  Johannes Ludwig Chrysostomus Abineno (1917-1995) telah tiada. Namun, jejak pelayanannya bertaburan di berbagai bidang pelayanan dan tempat. Abineno adalah teladan hamba Tuhan yang setia. Kita dan Abineno sama-sama adalah pelayan Tuhan, sekumpulan hamba yang memperoleh kesempatan dari Tuhan untuk berkarya memuliakan Dia. Seperti pernyataan penulis Injil Lukas:”Kami adalah hamba-hamba yang tak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.”(Luk. 17:10b).

 

Perlando Panjaitan