Soal Keadilan dan Kejujuran, Lihatlah Yap!

Soal Keadilan dan Kejujuran, Lihatlah Yap!

 

Panggung hukum di Indonesia mengenal sosok Yap Thiam Hien adalah segelintir orang yang bisa menjadi inspirasi bagi penegak hukum namun sekaligus dibenci karena perjuangannya yang selama ini melawan ketidakadilan. Didalam persidanganpun Yap tidak mengejar kemenangan. Orang yang menyewa jasanya terlebih dahulu harus merasa cukup dan puas dalam kebenaran, baru Yap mau dipilih sebagai pembela hukumnya. Tidak jarang dia mesti sendirian berjibaku melawan ketidakadilan penguasa saat itu. 

Yap Thiam Hien lahir tangal 23 Mei  1913 di Kutaraja, Banda Aceh dari pasangan Yap Sin Eng dan Hoan Tjing Nio. Masa kecilnya bisa dibilang makmur karena pengaruh kakek buyutnya Yap A. Sin yang berkarya di pemerintahan kolonial Hindia Belanda sebagai pejabat lokal berpangkat letnan. Sebelum membangun kerajaan bisnisnya di Kutaraja, Yap A. Sin menghabiskan masa kecil sampai dewasa di Batu Rusa, Kepulauan Bangka Belitung. Pindah ke Kutaraja lalu kemudian menikahi putri seorang kapiten di Kutaraja. Sebagai seorang Cina peranakan nasibnya bisa dibilang mujur karena selain usaha di bidang perkebunan kelapa dan kolam ikan, Yap. A Sin juga memonopoli perdagangan opium dengan akses langsung dari Pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Yap Thiam Hien saat kecil masih sempat melihat menyaksikan Yap. A Sin yang dipanggilnya opah tua menyiapkan ritual merokok opium di kamarnya. 

Kekuasaan kolonial yang semena-mena dan yang serba tidak pasti turut menyeret usaha yang sudah dibangun A. Yap Sin ikutan sirna. Yap kecil pun turut kena imbasnya, isi angpao yang biasa diterima saat Tahun Baru Cina ikutan menipis. Lalu di usianya yang baru sembilan tahun Yap juga harus kehilangan ibunya. Ayahnya Yap Sin Eng pun kerap tidak ada di rumah karena harus memulai usaha baru di luar kota. Dia bersama adik-adiknya dibesarkan oleh Sato Nakashima seorang perempuan Jepang kelahiran Nagasaki yang dibawa oleh kakeknya Joen Khoy sekembali dari Saigon, Vietnam. Yap dan adik-adiknya memangil Sato dengan panggilan Omah Sato.  Hubungan Yap dan adik-adiknya dengan Omah Sato sangat erat karena memang perilakunya lebih lembut dibanding orangtua kandung mereka. Kelak sifatnya yang berani menentang ketidakadilan saat menjadi penegak hukum ini tidak lepas dari peran Omah Sato yang kerap membagikan kisah samurai. “Jadilah seorang pemberani yang setia seperti samurai, jangan pernah takut jika memang benar, dan kebenaran pada akhirnya pasti menang,” terang Omah Sato saat menceritakan tokoh Samurai pada Yap kecil.

 

Hijrah ke Pulau Jawa

Sin Eng demi kehidupan yang lebih baik akhirnya hijrah ke Batavia dengan membawa Yap, adik-adiknya dan tentunya Omah Sato. Yap Thiam Hien tinggal di Pinangsia menumpang di kerabat ibunya. Ayahnya sangat peduli sekali akan pendidikan Yap dan adik-adiknya. Karena menganggap melalui pendidikan yang baik akan bisa mengubah nasib ke arah yang lebih baik. Yap tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan ayahnya Kepandaiannya saat masih bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) Kutaraja makin terasah saat dia pindah ke Batavia. Daya serap dan penguasaan bahasa Belanda membuatnya dengan mudah beradaptasi di lingkungan barunya. Dia saat bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Batavia (MULO) dapat melahap dengan baik pelajaran-pelajaran seperti sejarah, sains serta matematika. Namun di tengah Yap menimba ilmu dia sempat juga harus pindah ke MULO Medan untuk mengulang kelas III karena dianggap ayahnya belum layak meski nilainya sebenarnya cukup untuk melanjutkan ke Algemene Middlebare School (AMS) selain itu ayahnya juga waswas Yap ditolak masuk AMS. 

Setelah menyelesaikan pendidikan di MULO Yap masuk ke AMS Bagian Sastra Barat di Bandung. Penguasaan bahasa asingnya semakin meningkat saat melanjutkan ke AMS A di Yogyakarta. Selain bahasa Belanda, Inggris, Jerman dan Prancis Yap menambah bahasa Latin untuk di kuasai. Dengan modal ini juga Yap memiliki kebebasan membaca buku-buku dengan ragam bahasa yang ia kuasai. Pengalaman pendidikan di sekolah Belanda dari ELS sampai AMS membuatnya sadar ada diskriminasi rasial yang sangat kental. Di sekolah, Yap yang etnis Tionghoa selalu jadi ejekan teman sekelas yg berbangsa Belanda.

 

Menjadi Guru dan menjadi Kristen

Yap bukan berasal dari keluarga yang menganut agama Kristen. Keluarga dan leluhurnya mengantu kepercayaan Buddha dan Konghucu. Perkenalan awalnya dengan Kekristenan baru dirasakan saat dia meniti ilmu di AMS Yogyakarta sambil indekos di keluarga Hermann Jopp dan istrinya Nell O’Brien. Yap rajin mengikuti ajakan ibu kos untuk datang ibadah ke Gereja. Mulanya hanya sebagai tanda ucapan terimakasih karena saat indekos di rumah mereka, Yap merasakan kebaikan dan kehangatan seperti keluarga sendiri. 

Kemudian Yap menilai kebaikan dan kehangatan yang mereka berikan memang benar-benar datang dari nilai-nilai kekristenan yang mereka anut. Yap selepas pendidikan di AMS di Yogyakarta belum sempat memeluk Kristen. Yap mulai menganut Kristen setelah dia kembali ke Batavia sambil menjadi guru di sekolah Belanda-Cina Jatinegara. 31 Oktober 1938 menjadi langkah iman Yap, tepat di usia 25 tahun Yap memberi diri untuk belajar katekisasi dan dibaptis oleh Pdt. De Groot di Gereja Patekoan (sekarang GKI Perniagaan). 

Pengalaman mengajarnya berlanjut di kota Cirebon. Dia diterima untuk mendidik anak-anak peranakan dan etnis Cina yang beragama Kristen di Hollandsche Chineesche School (HCS). Hanya setahun bertahan mengajar disana dan terpaksa dipecat secara halus karena menurut kepala sekolah HCS Cirebon perilakunya dianggap tidak sejalan dengan lingkungan sekitar yang masih kaku dan konservatif. 

Tidak mau lama menganggur Yap kemudian menerima tawaran teman baiknya Teh Yong Lok untuk mengajar di HCS Lasem. Alasan lainnya karena Yap butuh cepat mendapatkan penghasilan untuk membantu biaya sekolah adiknya Yap Thiam Bong di AMS Bandung. Di Lasem dia mengajar dengan fasilitas terbatas, hanya empat guru termasuk dia yang mengajar 200 anak yang mayoritas berasal dari keluarga miskin. Lagi-lagi dia harus keluar, hanya bertahan setahun di Lasem. Karena pergaulannya dengan masyarakat yang miskin di Lasem tadi jiwa sosialnya tumbuh. Dia melihat banyak dari mereka tertindas kehidupannya. Dan dari Lasem ini kemudian melahirkan cara pandang kritis dari sosok Yap.

 

Menekuni dunia Hukum 

Kehidupan Yap mulai membaik saat dia mengambil pekerjaan di  perusahaan iklan. Gajinya lebih besar dari gajinya saat menjadi guru. Adik-adiknya pun sudah lulus dan bekerja sehingga Yap tidak lagi perlu memikirkan biaya hidup adik-adiknya ini. dari sini dia bisa menabung untuk keperluan dirinya yang ingin bersekolah di Belanda kuliah ilmu hukum di Universitas Leiden

Semasa pendidikan di Belanda Yap mendapatkan beasiswa dalam bentuk pinjaman dari pemerintah. Selain itu dia mendapatkan tempat tinggal yang layak dan tentunya gratis berkat kenalan kawan yang mengetahui ada Rumah Misionaris Protestan yang memang sering diisi pelajar-pelajar dari mancanegara. 

Pergaulannya dengan sesama mahasiswa Kristen membuat Yap terlibat aktif dalam kegiatan Konfrensi Pemuda Dewan Sedunia di Oslo tahun 1947. Dari sini dia juga mendapatkan beasiswa untuk belajar di Selly Oak College di Inggris. Dalam beasiswa itu Yap berjanji untuk membantu keiatan Gereja di Indonesia selepas lulus. Dan benar setelah lulus dia aktif di gereja-gereja Tionghoa yang menajdi cikal bakal Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat.

Yap meraih gelar meester in de rechtren (mr) di umur 34 dengan nilai 6 dalam skala 10. Sepanjang masa pendidikan ilmu hukumnya di Belanda Yap juga senang berorganisasi dan tergabung dalam Perhimpoenan Kristen Indonesia (Perki). Dia juga senang menghabiskan waktunya di perpustakaan milik Zendinghuis. Penguasaan berbagai bahasa yang dia pelajari dulu memudahkannya menikmati buku-buku yang tersedia disana. Mulai dari filsafat, politik sampai buku-buku teologi karya Karl Barth dibaca oleh Yap. 

Berbekal ilmu yang dia dapat selama kuliah hukum di Leiden dan juga kemampuan beroganisasi yang juga dipenuhi diskusi-diskusi yang menambah wawasan sosialnya, cara pandangnya semakin kritis melihat menolak ketidakadilan. Bicaranya semakin blak-blakan saat melontarkan kritik-kritik sosial baik saat diskusi maupun saat di atas podium.

 

Jujur dan apa adanya.

Yap selalu jujur dan apa adanya bila dirasa ada hal yang tidak beres terjadi di sekitarnya. Seperti saat dia menolak dan yang tidak setuju isi dari Pasal 6 UUD 1945, bahkan sebelum dilakukan amandemen pada era reformasi. Pasal tersebut cenderung mendiskriminasi karena menyebut syarat Presiden RI adalah orang Indonesia asli. Yap percaya pada rule of law, keadilan, dan hak asasi manusia tidak boleh bias.

Yap juga menolak mengganti nama dengan nama “Ïndonesia”. Ini ekses dari peristiwa G30S yang membuat orang-orang peranakan Cina dengan mudah dicap Komunis saat itu. Melalui pergantian nama ini harapannya dapat memperlancar proses integrasi bangsa. Yap bahkan mengkritik pendeta-pendeta keturunan Tionghoa yang malah justru mendorong etnis Cina berganti nama pribumi.  Menurut Yap, itu menyalahi panggilan pastoral melindungi kaum tersisih. Teladan Pak Yap adalah bahwa ia tidak pernah menyangkal asal-usulnya dan juga berdiri tanpa rasa takut untuk kelompok ini ketika diperlakukan tidak adil atau menjadi korban prasangka terhadap minoritas oleh mayoritas. Tetapi juga, bahwa dia dengan berani menunjukkan jalan menuju integrasi tanpa kehilangan identitas. “Yang penting bukan punya nama Indonesia, melainkan punya perbuatan berguna untuk Indonesia,” ungkap Yap.

Sedari mahasiswa bicaranya selalu lantang dan keras bila melihat ketidakadilan. Dia tidak pandang bulu siapa pun dia bela jika mengalami ketidakadilan. Pernah suatu ketika ada tukang kecap keliling yang menjajakan dagangannya di Pasar Baru tiba-tiba dipukuli tanpa alasan jelas dan diangkut ke kantor polisi. Yap langsung melaporkan kejadian ke atasan polisi yang memukul tukang kecap ini. Kepala polisi yang melihat sendiri tukang kecap kepalanya diperban langsung menyuruh untuk melepasnya. Kepala polisi mungkin tahu yang sedang membela dan dihadapinya ini adalah bukan orang sembarangan. 

 

Prakarsa Lembaga Bantuan Hukum dan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia

Ada sebuah kalimat bijak seperti ini, "Apabila seseorang memperlakukan kamu dengan tidak adil, kamu dapat melupakannya, tetapi apabila kamu melakukan hal itu, kamu akan ingat selamanya." Dari kalimat ini sebenarnya manusia yang dikarunia akal dan pikiran akan sadar bersalah ketika tidak berbuat tidak adil. Yap tahu betul masih ada manusia di Republik ini yang mempunyai hati nurani sebenarnya. Dia bersama PK Ojong dan Ali Murtopo membentuk Lembaga Bantuan Hukum yang bertujuan memberi bantuan hokum bagi orang yang tidak mempu memperjuangkan hak-haknya. 

Lembaga lainnya yakni Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM) juga didirikan dengan pertimbangan ada kesewenangan Pemerintah era Presiden Suharto yang bebas menangkap orang tanpa persidangan. “Anda harus berai menentang pemerintah kalau pemerintah salah. Tidak berdosa menentang pemerintah. Ungkap Yap.

 

Abadi walau tutup usia

Yap memiliki keberanian seperti singa dan kesabaran anak domba. Itulah sebabnya ia memiliki begitu banyak rasa hormat dan persahabatan baik di masyarakat Indonesia maupun di luarnya. Itu pula yang menjadi alasan mengapa, dengan bakat pendidikannya di bidang hukum, ia berfungsi sebagai contoh dan pendidik bagi begitu banyak pengacara dan pengacara muda di Indonesia. Adnan Buyung Nasuution, Todung Mulya Lubis dan Luhut Pangaribuan yang pernah kerja bersama menganggap Yap sebagai guru mereka.

Yap meniggal pada 25 April 1989 di usia 76 tahun. Yap meninggalkan istri terkasihnya Tan Gien Khiang Nio yang berprofesi sebagai guru. Mereka juga dikarunia seorang putra Yap Hong GIe dan seorang putri, Yap Hong Ai.

Sepanjang hidupnya Yap telah menerima pengakuan dalam bentuk penghargaan karena perjuangan dan dedikasinya selama ini. Dia mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Vrije di Amsterdam. Lalu untuk dedikasinya selama ini membela hak asasi manusi Universitas Rutgers New Jersey menganugrahi Yap Justice William J. Brennan Award pada tahun 1986. 

Todung Mulya Lubis dan Dhaniel Dhakidae memprakarsai untuk memberikan penghargaan kepada mereka yang berjasa dalam memperjuangkan HAM di Indonesia. Dan nama Yap Thiam Hien diabadikan menjadi nama penghargaan tersebut. Setiap 10 Desember Yap Thiam Award diberikan dan juga bertepatan dengan hari HAM Internasional. 

Yap mengimani Tuhan Allahnya dengan baik, Allah yang mencintai keadilan dan kebenaran. Dan Yap menerapkan keadilan dan kebenaran ini dalam sepanjang hidupnya sebagai penegak hokum.