“SUDAH BISA DISEBUT MANUSIAKAH KITA?”

“SUDAH BISA DISEBUT MANUSIAKAH KITA?”

 

Bagi anak-anak muda yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) maupun GMKI senior, juga para praktisi serta pemerhati kepemimpinan pasti sangat paham dengan teori “Situational Leadership” yang mula-mula dikembangkan bersama oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard pada tahun 1969. Bersama berjalannya waktu, Ken Blanchard lebih aktif mengembangkan teori ini.

Teori “Situational Leadership” dibangun berdasarkan pemahaman bahwa situasi yang berbeda memerlukan pendekatan kepemimpinan yang berbeda pula. Situasi yang dimaksud adalah kompetensi dan komitmen kelompok yang dipimpin. Kelompok yang memiliki kompetensi rendah tetapi memiliki komitmen tinggi memerlukan lebih banyak pengarahan (Directing), kelompok dengan kompetensi sedang-rendah serta memiliki komitmen rendah memerlukan lebih banyak pelatihan (Coaching), sementara kelompok dengan kompetensi sedang-tinggi dengan komitmen yang tidak jelas memerlukan lebih banyak dukungan (Supporting), dan bagi kelompok dengan kompetensi tinggi dan komitmen tinggi yang diperlukan adalah pendelegasian (Delegating) yang artinya memberikan kepercayaan penuh.

Kata kunci dari teori tersebut adalah pemberdayaan, yang artinya menciptakan situasi agar seseorang mampu mengembangkan kapasitasnya hingga batas maksimal. Misalnya, seorang coach harus memiliki kemampuan membawa orang yang dilatihnya dapat meraih kemenangan dan terus memperbaiki rekornya. Seorang pemimpin dapat memberdayakan pengikutnya apabila dia mampu menghargai dan memandang siapapun sebagai seseorang yang bermartabat. Prinsip ini dalam ranah sosiologi-psikologi dikenal sebagai Kaidah Kencana (The Golden Rule).

Apakah Kaidah Kencana itu? Dalam masyarakat India kuna, kaidah itu dirumuskan demikian: “Seseorang seharusnya tidak pernah melakukan sesuatu kepada orang lain yang yang merupakan perilaku yang dapat mencelakan diri sendiri. Inilah yang disebut dharma” [Mahabarata]. Dalam masyarakat Yunani kuna, Plato pernah berkata, “Semoga saya selalu memiliki pikiran yang sehat, dan bertindak terhadap orang lain seperti yang saya inginkan agar mereka lakukan terhadap saya.” Sementara kebijaksanaan Tiongkok kuna (Kong Hu Tzu) merumuskannya sbb: ”Apa yang tidak Anda inginkan untuk diri sendiri, jangan lakukan pada orang lain.” 

Bagaimana dengan Kekristenan? Mari kita segarkan kembali ingatan kita. “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN.” [Imamat 19:18], “Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri , karena kamu juga orang asing ...” [Imamat 19:34], "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” [Matius 7:12]. “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.” [Lukas 6:31], Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” [Galatia 5:14] – Tidak asing bukan bagi kita? Hampir sebagian besar bagian dari isi Kitab Suci mengajarkan bagaimana kita harus bersikap dan memperlakukan sesama kita, bahkan menjadi “hukum yang terutama” – memanusiakan manusia adalah prinsip dasar kehidupan yang tidak boleh kita tinggalkan. Masing-masing dari kita punya peran dalam hidup sebagai makhluk sosial. Setiap individu harus tahu perannya dan menjadikan dirinya berguna bagi individu lain.

Jadi, setiap kelompok masyarakat memiliki rumusan Kaidah Kencana/The Golden Rule-nya masing-masing, namun pada umumnya tetap berada diatas dasar yang sama, yaitu upaya memperlakukan orang lain seperti kita ingin orang lain memperlakukan kita. 

Ada “Kaidah Kencana” buah pemikiran putra bangsa sendiri, “Si tou timou tumou tou”, buah permenungan Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi (Dr. Sam Ratulangi, 5 November 1890-30 Juni 1949). Sebagai seorang putra Minahasa, beliau merumuskan pemikirannya dalam  Bahasa Tombulu, salah satu sub etnis di Minahasa. Arti dari frasa “Si tou timou tumou tou” kurang lebih adalah, “Seorang manusia baru dapat disebut manusia jika ia dapat memanusiakan manusia (baik diri sendiri maupun orang lain)”. Demikianlah sosok Dr. Sam Ratulangi, seorang pahlawan nasional Indonesia, salah satu bapak bangsa yang pemikirannya tidak kalah dari para pemikir filsafat dunia. Sebagai seorang Kristen, beliau mampu menerjemahkan nilai-nilai Alkitab yang menjadi nilai-nilai hidupnya dalam sebuah rumusan yang singkat namun sangat mendalam artinya. Di Minahasa  tulisan “Si tou timou tumou tou” dapat kita jumpai di berbagai tempat. Hal itu hanya berarti satu, bahwa pemikiran Dr. Sam Ratulangi sangat berakar di benak orang-orang Minahasa dan mengingatkan setiap orang  yang membaca kalimat itu serta merenungkan dalam hatinya, “Sudah bisa disebut manusiakah saya?”.

Bagi anak-anak muda Kristen, baik GMKI, GAMKI, atau siapapun, marilah kita memperingati 5 November 2021, HUT Dr. Sam Ratulangi yang ke-131, dengan memanusiakan manusia, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Itu adalah rumusan Kaidah Kencana rumusan putra bangsa sendiri yang didasarkan pada nilai-nilai Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, yang juga mendasari konsep pemikiran Kepemimpinan Situasional yang banyak diajarkan pada latihan-latihan kepemimpinan bagi anak-anak muda Kristen. Hormat dan penghargaan saya kepada Dr. Sam Ratulangi. Selamat Ulang Tahun.


Pdt. Sri Yuliana