WATCHMAN NEE, SANG PENJAGA UMAT

WATCHMAN NEE, SANG PENJAGA UMAT

 

Watchman Nee adalah salah satu tokoh terkemuka Kristen Asia. Selama kurang lebih 30 tahun masa pelayanannya tidak kurang dari 400 jemaat berdiri karena pengaruh pelayanannya yang kini jemaat-jemaat tersebut telah beranak cucu menjadi ribuan. Tidak hanya di Tiongkok, tanah kelahirannya, warisan jejak pelayanannya masih dapat disaksikan hingga kini di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, serta di Inggris.

Nee atau Ni kecil lahir dari pasangan Ni Weng Hsiu dan Lin He Ping, sebagai anak ke tiga dari 9 bersaudara. Dua kakaknya perempuan. Oleh karena itu,  He Ping, ibunya sebagai seorang penganut Metodis yang taat, rajin berdoa agar anak ketiganya seorang laki-laki. Sama seperti kebanyakan bangsa-bangsa Asia, seorang ibu di Tiongkok pada jaman itu yang tidak mampu melahirkan anak laki-laki sebagai penyambung marga, akan menerima nasib dipoligami demi kehadiran seorang anak laki-laki di keluarga tersebut. Dan ternyata anak ke tiga lahir laki-laki yang kemudian diberi nama Ni Shu Tzu.

Shu Tzu kecil disekolahkan oleh orang tuanya ke Sekolah Metodis yang diselenggarakan oleh gereja dimana ke dua orangtuanya berjemaat. Di sekolah itu ia mendapat nama Henry Nee. Orang Barat pada umumnya sulit mengeja nama-nama orang Tionghoa, oleh karena itu di sekolah guru biasa memberi “Nama Barat” kepada anak didiknya. Shu Tzu seorang anak berbakat yang berprestasi, tetapi juga aktif, untuk tidak menyebutnya sebagai anak yang nakal. 

Titik balik dalam kehidupan Shu Tzu terjadi pada tahun 1920, ketika ia berusia 17 tahun. Gereja mengadakan KKR selama 10 hari berturut-turut. Ibunya yang setia mengikuti KKR tsb suatu ketika pulang sambil menangis dan meminta maaf kepada Shu Tzu yang seringkali berlebihan dan kurang adil. Hal ini sangat menyentuh hati Shu Tzu – seorang ibu menangis dan meminta maaf kepada anak laki-laki. Sesuatu yang sangat tidak lazim pada jaman itu. Peristiwa ini mendorong Shu Tzu remaja mengikuti KKR juga. Dan pada 28 April 1920, Shu Tzu menerima Kristus. Ia mencatat peristiwa pertobatannya demikian, “Pada malam itu, aku sedang sendirian di kamar sambil berjuang untuk memutuskan apakah percaya kepada Tuhan atau tidak. Awalnya aku enggan percaya, tetapi aku lalu berdoa dan membayangkan tangan Tuhan terulur di kayu salib menyambut diriku, lalu Dia berkata, ‘Aku menunggu di sini untuk menerima kamu.’ Saat itu aku diliputi kasih, dan malam itu kasih menjadi nyata. Aku menangis dan mengakui dosa-dosaku, memohon pengampunan dari Tuhan. Hasilnya, aku menerima kedamaian yang belum pernah saya alami sebelumnya. Terang Tuhan membanjiri kamarku dan aku pun berkata kepada Dia, ‘Oh Tuhan, Engkau sungguh terlalu baik kepadaku…”

Titik balik pertobatan ini mengubah kehidupan Shu Tzu, sehingga pada tahun 1925, lima tahun kemudian ia sudah aktif mengabarkan Injil dan berkhotbah di mana-mana. Atas kesadarannya, atas peran barunya sebagai penginjil dan guru yang mengajar, Shu Tzu mengubah namanya menjadi Ni Tuo Sheng yang dalam literatur Barat disebut sebagai Watchman Nee – Ni si Penjaga, atau Ni si Pelindung. Ia memposisikan dirinya sebagai penjaga atau pelindung umatnya. Seorang penjaga atau pelindung adalah seorang yang rajin berdoa. Ia – ketika ia masih belajar teologia – mencatat dalam buku hariannya, “Segera saya mulai memperbaiki hal-hal yang menjadi kekurangan saya. Saya membuat daftar tujuh puluh teman untuk didoakan setiap hari. Beberapa hari saya bahkan berdoa untuk mereka setiap jam, bahkan di kelas. Ketika kesempatan datang saya akan mencoba untuk membujuk mereka untuk percaya kepada Tuhan Yesus... Dengan kasih karunia Tuhan saya terus berdoa setiap hari, dan setelah beberapa bulan semua kecuali satu dari tujuh puluh orang diselamatkan.”

Perang Dunia II atau di Tiongkok disebut sebagai Sino-Japan War mengubah segalanya. Perang berakhir 1945, namun terjadi konflik internal antara kelompok nasionalis dan kelompok komunis. Tahun 1949 kelompok komunis (Mao Ze Dong) mengambil alih pemerintahan. Orang-orang Kristen mengalami persekusi. 1952 Tuo Sheng dihukum dan ditahan 15 tahun dengan tuduhan menghambat perubahan. Ketika tiba saatnya bebas, terjadi Revolusi Kebudayaan (1966-1971) dan Tuo Sheng kembali masuk kamp untuk proses rehabilitasi hingga ia meninggal pada tahun 1972.

Doa, adalah sumber kekuatan Tuo Sheng dan ibunya. Mereka meyakininya sesuai janji Tuhan seperti tertulis di Injil Yohanes 14: 13-14 (BIMK), “Dan apa saja yang kalian minta atas nama-Ku, itu akan Kulakukan untuk kalian, supaya Bapa diagungkan melalui Anak. Apa saja yang kalian minta atas nama-Ku, akan Kulakukan". Namun kini, banyak orang skeptis tentang pengabulan doa. Ada banyak orang berkata bahwa ia sudah berdoa siang malam, tetapi doanya tetap tidak dikabulkan. Ada banyak pembenaran bisa direka-reka untuk doa yang tidak dikabulkan. Ada kata-kata bijak, “Do your best, God does the rest”, namun seorang teolog ternama di negeri ini berkata, “Itu salah, yang benar, ‘God has done for us, we just do the rest’” Saya setuju dengan pendapat teolog tersebut. 

Dalam kehidupan saya dan mungkin Saudara ada banyak pengalaman atau ketrampilan yang ternyata berguna bagi kehidupan kita saat ini, atau pengalaman saat ini yang ternyata berguna bagi kita di masa depan. Itu bukti yang nyata dalam bahwa “God has done for us”. Jika demikian mengapa doa saya tidak dikabulkan? Itu semata-mata karena kita tidak melakukan “the rest” yang menjadi bagian kita. Doa selalu memiliki kekuatan. Ada Amin Saudara-Saudara…?

 

Pdt. Sri Yuliana, M.Th.