Pada suatu waktu, seorang anak kecil berdiri di bawah sebuah pohon besar, sembari menatap ke arah dahan pepohonan ia menangis hingga terseguk. Tak lama kemudian, lewatlah seorang pria paruh baya yang tergerak hati untuk menyambangi anak tersebut. Ia mendekat dengan tenang sembari bertanya, “ade kenapa menangis?” Dengan suara yang lemah dan serak, anak itu menjawab, “balonku tersangkut di atas om.” Setelah menyadari permasalahan yang mudah untuk diselesaikan olehnya, si pria paruh baya itu pun segera mencari pijakan kaki guna menambah tinggi tubuhnya demi meraih ujung benang balon. Melihat balonnya akan segera kembali, si anak pun mulai berhenti menangis dan menghapus basah air mata pada pipinya dengan lengan kecilnya yang agak kotor. Sembari menunduk agar matanya sama rata dengan mata si anak, sang pria paruh baya segera memberikan balon itu kepada si anak. Anak itu pun girang bukan main. Melihat kondisi sudah membaik, si pria pun beranjak pergi. Ia mengusap kepala anak kecil itu sembari berkata, “dijaga baik-baik balon kamu ya, jangan sampai lepas lagi.” Namun, tangisan si anak sontak terpecah, bahkan jauh lebih besar dari persoalan balon. Si pria ketakutan dan bertanya, “kamu kenapa?” si anak menjawab dalam segukan, “Aku ingat papa. Dia selalu usap kepalaku kalau mau pergi. Papa udah lama ke surga dan aku gak pernah lagi dapat usapan itu sampai barusan.”
Sahabat Alkitab, cerita di atas merupakan sebuah rekaan kisah sentimentil tentang ingatan dan pengalaman sangat bernilai yang dimiliki oleh seorang manusia. Terdapat sedikit-banyak hal yang tidak dapat kita lupakan begitu saja. Apalagi, jika pengalaman tersebut berisikan tindakan inisiatif penuh kepedulian dan kehangatan kasih dari seseorang yang begitu dekat dengan kita. Semua itulah yang perlu dipertahankan dalam memori agar relasi tetap bertahan, bahkan terbentuk menjadi semakin kokoh.
Wejangan yang diberikan Musa kepada bangsa Israel memang berisikan peringatan tentang bahaya kecenderungan yang dapat dilakukan oleh mereka kepada TUHAN. Ada masa dimana orang Israel akan meninggalkan TUHAN -memang betul terjadi- dan lebih memilih untuk hidup dalam keberdosaan. Namun, pada waktu itulah mereka justru akan menyadari tentang pengalaman relasi yang indah dengan TUHAN, masa ketika mereka hidup secara intim dan menikmati jamuan kasih yang begitu inisiatif dari Allah sejati.
Sahabat Alkitab, tidak perlu diragukan lagi bahwa perikop ini menampilkan bukti ketakterbatasan kasih Allah bagi setiap manusia yang selalu ingin berbalik kepada-Nya. Namun, perikop ini juga menampikan kepada para pembaca tentang pembelajaran agar tidak menyia-nyiakan kasih Allah yang tak terbatas tersebut. Kasih TUHAN memang tak terbatas dan kuasa pengampunan-Nya selalu memulihkan, namun jangan biarkan kita terlena dengan kebebalan hingga justru semakin terhempas dari-Nya dan terhilang dalam penyesalan yang tak dapat lagi diubah. Lagi pula, mana yang anda pilih: menikmati kasih Allah sebagai pengalaman kekinian? Atau, menikmati kasih Allah sebagai sebuah pengalaman ingatan masa lampau?