Krisis eksistensial adalah sebuah kondisi atau situasi yang mungkin asing bagi sebagian besar orang. Kondisi tersebut merujuk kepada sebuah kondisi atau perasaan tidak nyaman yang dialami seseorang berkaitan dengan makna hidup, identitas, dan tujuan hidup. Penyebab kondisi tersebut ada banyak, tetapi satu diantaranya adalah derita hebat tiada berujung yang tengah dialami oleh seseorang. Seseorang yang telah lama sakit kritis misalnya, akan dengan mudahnya merasa bahwa hidupnya tidak berarti dan meminta Sang Pencipta untuk segera menjemputnya. Tanpa sebuah pengolahan batin yang baik, pertanyaan akan keberadaan diri tersebut dapat mengarahkan seseorang pada hilangnya makna hidup dan kegairahan untuk menjalaninya. Seseorang kehilangan sense of purpose, atau kesadaran akan tujuan hidupnya. Tanpa tujuan hanya ada kekelaman dan keterlemparan kepada ketiadaan.
Pertanyaan-pertanyaan eksistensial juga dipertanyakan oleh Ayub dalam teks yang kita baca saat ini. Secara mendasar ia mempertanyakan eksistensinya bahkan asal-mula keberadaannya di dunia. Derita dan kesendirian menjadi pemantik pertanyaan tersebut. Tidak ada yang dapat memahaminya dalam derita itu, bahkan Allah pun serasa begitu jauh dan memalingkan wajah-Nya. Ayat 8-9 menggambarkan perasaan Ayub yang kini terkurung dalam kegelapan. Jati dirinya hilang, tiada masa lalu dan masa depan lagi. Ia berada dalam masa kini tanpa seorang teman yang dapat sepenuhnya memahami deritanya. Lebih lanjut lagi ia menyatakan bahwa kesusahan yang dialaminya bukanlah berasal dari dalam dirinya, karena kesusahan itu terjadi saat ia membuka matanya. Dari sini Ayub mulai menegaskan pandangannya bahwa kesusahan yang dialaminya tidak berasal dari dirinya melainkan dari luar dirinya. Tanpa ada kesalahan yang diperbuat Ayub tetap mengalami kesusahan yang begitu hebat. Pernyataan Ayub ini seharusnya membawa permenungan tersendiri bagi kita. Kadangkala penderitaan terjadi bukan sebagai konsekuensi atas yang kita perbuat melainkan datang dari luar diri kita. Misalnya saja bila merujuk kemiskinan dan penindasan struktural yang semakin marak terjadi dewasa ini. Maka jawaban atas situasi tersebut bukanlah pertobatan atau penyesalan pribadi, melainkan sebuah perubahan mendasar yang dilakukan secara sistematis.
Ayat 11- 15 kembali menggambarkan kegelisahan Ayub. Kesusahan seakan-akan mengurung Ayub. Masa lalu dengan segala kegemerlapannya hilang sama sekali. Masa depan tak terbayang, tinggal kenikmatan yang hampa. Jalan keluar satu-satunya adalah maut. Seharusnya kelahirannya tidak usah terjadi. Ayub merasa lebih baik jika ia mati waktu lahir atau binasa waktu keluar dari kandungan (ay.11). Sebaiknya dalam masa kecilnya pun, ia merasa tidak berhak mendapatkan perawatan sebagaimana lazimnya anak kecil di umurnya (ay.12). Ayub berpendapat bahwa jika itu semua terjadi maka ia dapat berada dalam ketenangan yakni hari wafatnya. Sebegitu beratnya derita Ayub sehingga ia merasa bahwa ketenangan hanya akan dapat diperolehnya kembali saat ia terbaring dalam kubur. Maut bagaikan tertidur tak berkesudahan yang mengakhiri kesusahan dan ketidakadilan. Ayub kemudian merujuk kepada penguasa-penguasa yang juga hidupnya telah berakhir kemudian dimakamkan pada tempat yang baik dan bahkan bergelimang emas-perak pada makamnya.
Pernyataan Ayub di atas harus kita pahami sebagai jeritan kelelahan hatinya, karena toh pada akhirnya Ayub terus bertahan menghadapi segala deritanya. Tidak mengakhiri derita dengan cepat melalui kematian. Justru serua Ayub menegaskan bahwa ia berada dalam gumul juang pertanyaan akan keberadaannya, dengan demikian sebuah semangat untuk tetap hidup. Hanya saja karena begitu beratnya derita, sampai-sampai ia merasa bahwa hanya dalam kuburlah ada ketenangan. Sebuah krisis eksistensial yang lahir karena dipicu oleh tragedi dan trauma yang kemudian dialaminya. Satu hal yang dapat kita lihat adalah kejujuran Ayub dalam mendefinisikan apa yang dirasakannya. Dalam kejujurannya itulah kita sebenarnya melihat perjuangan Ayub yang mempertahankan bahwa derita itu tidak berasal dari dirinya melainkan dari luar dirinya. Dengan demikian ia sesungguhnya mengharapkan keadilan dari Allah dan pemulihan dari-Nya.
Maka hadapilah derita dan pergumulan tidak hanya dengan keberserahan penuh kepada-Nya, melainkan kejujuran akan apa yang dirasakan dan diinginkan oleh kita. Dari sanalah lahir ketulusan dan keberserahan penuh kepada Tuhan Sang Pemilik Kehidupan.