Riwayat Lagu “Kulihat Salibmu” (Kidung Jemaat No. 32)
Kulihat salib-Mu, ya Jurus’lamatku di Golgota
T’rimalah doaku, hapuskan dosaku;
Akulah milik-Mu selamanya.
Pada suatu hari Minggu di akhir abad ke-19, seorang pemuda yang belum percaya kepada Tuhan Yesus mendatangi sebuah gereja besar di Amerika Serikat. Sebelum jam kebaktian, ia sudah masuk dan duduk di bangku. Sambil menunggu ibadah dimulai, secara iseng-iseng saja ia mulai membolak-balikkan halaman dalam buku nyanyian pujian yang ditaruh di setiap bangku.
Tiba-tiba ada sebuah lagu yang menarik perhatiannya. Kata-kata lagu itu pendek dan sederhana saja, namun cukup mengesankan. Tema lagu itu ialah, iman kepada Yesus Kristus, Sang Anak Domba Allah yang mati tersalib di Kalvari sebagai korban penebus dosa. Seketika itu juga, bahkan sebelum kebaktian dimulai, pemuda itu bertobat. Dengan rasa terharu, ia menyerahkan hidupnya kepada Tuhan Yesus.
Beberapa hari kemudian, pemuda itu sempat berkunjung ke rumah pendeta gereja tersebut, untuk memberitahu keputusan rohani yang diambilnya. Alangkah herannya dirinya ketika ia menemukan kenyataan bahwa bapak pendeta itu sendiri adalah pengarang nyanyian pujian yang sudah menuntunnya untuk menjadi seorang pengikut Kristus!
Suatu kisah nyata yang indah…, Tuhan bisa menggunakan berbagai cara untuk memanggil anak-anak-Nya. Namun sebenarnya tidak begitu mengherankan, karena lagu yang dilihat sang pemuda itu sering dianggap sebagai salah satu lagu rohani terbesar karangan orang Amerika. Siapakah pendeta yang mengarang lagu tersebut?
Pemuda Saleh yang Miskin
Ray Palmer lahir pada tahun 1808. Ayahnya seorang hakim, dan keluarganya mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat. Namun pada hakikatnya mereka sangat kekurangan uang. Sang hakim itu tidak sempat menyekolahkan putranya; ia hanya dapat mendidiknya sendiri di rumah. Dan pada umur tiga belas tahun si Ray sudah harus meninggalkan rumah orang tuanya serta menjadi seorang pelayan di sebuah toko kain di kota Boston.
Anak belasan tahun itu mulai sering menghadiri ibadah di sebuah gereja yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Gembala sidang di sana menemani anak remaja yang kesepian itu, serta membimbing dia untuk menjadi orang Kristen yang saleh dan sejati.
Kemudian Ray Palmer merasa terpanggil untuk menjadi seorang misionaris pemberita Injil. Namun agaknya hal itu mustahil baginya, karena ia tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai. Pendeta setempat yang baik hati itu mengusahakan agar Ray diterima di sebuah SMA Kristen yang baik. Ray pun memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Setelah lulus SMA, Ray terus dibantu bapak pendetanya, agar dapat mengambil kuliah di Universitas Yale yang termasyur.
Setelah tamat kuliah, Ray Palmer ingin meneruskan pendidikannya di sebuah sekolah teologia. Ternyata cita-citanya menjadi seorang pemberita Injil tidak pernah pudar. Tetapi soal keuangan masih tetap menjadi rintangan. Terpaksa ia berpindah dulu ke kota besar New York, agar dapat mencari dana. Di sana ia menjadi guru di sebuah sekolah putri. Gajinya ditabung, agar kelak dapat masuk sekolah kependetaan. Untuk menghemat uang, ia tinggal di tempat indekos, di rumah seorang wanita Kristen yang menjadi kepala di sekolah putri tersebut.
Pada Saat Renungan Pribadi
Pada suatu hari di dalam kamar indekosnya yang sunyi, Ray Palmer mulai merenungkan kebesaran pengorbanan Tuhan Yesus di Kalvari. Sejak kecil ia sudah biasa merumuskan pikirannya dalam bentuk lirik-lirik puisi. Sekarang pun ia mulai membuat coretan-coretan berupa puisi pada sehelai kertas. Sambil menulis, pikiran dan hatinya terus merenungkan pengorbanan Kristus. Tak terasa ketika menulis bait-bait penutup puisi air matanya berlinang-linang. Setelah puisi tersebut selesai ditulis, ia beberapa kali merapikannya kembali, dan kemudian menyalin kembali syairnya ke dalam sebuah buku catatan bersampul kulit, yang biasa dikantunginya setiap waktu.
Selama kurang lebih dua tahun, baris-baris puisi itu tersimpan dalam buku catatan. Hanya Ray Palmer yang mengetahui liriknya…tentu saja Tuhan Yesus juga tahu. Pengarang tersebut tidak pernah bermaksud menjadikan lirik puisinya menjadi terkenal kecuali sebagai bahan renungan pribadi. Tetapi Tuhan sedang menyiapkan sebuah rencana yang lain.
Pertemuan yang Menguntungkan
Setelah beberapa tahun mengajar dan menghemat uang, Ray Palmer dapat meneruskan pendidikannya di sebuah sekolah tinggi teologi. Letaknya dekat Boston, kota tempat ia dulu pernah menjadi pelayan toko. Pada suatu hari pergilah dirinya berjalan-jalan ke Boston. Dan di sana ia bertemu dengan Dr. Lowell Mason. Beliau adalah seorang yang punya peran besar dalam perkembangan musik gerejawi maupun musik orkestra di Amerika. Sebagai pengarang, penggubah, penyunting buku musik, pemimpin paduan suara, dan perintis pendidikan musik untuk kaum muda, ia sangat berjasa demi Tuhan Allah dan demi sesama manusia.
Dr. Mason sebelumnya sudah mengenal mahasiswa teologia yang dijumpainya di jalanan Boston pada hari itu. Seperti biasa, Dr. Mason sedang sibuk menyiapkan sebuah buku koleksi nyanyian pujian, yang hendak diterbitkannya pada 1832 itu juga. Karena ia tahu Ray Palmer gemar menulis syair, maka ia bertanya apakah pemuda itu dapat menyumbangkan beberapa karangan puisi rohani untuk koleksi nyanyian pujiannya yang baru.
Ray Palmer merogoh kantongnya, dan mengeluarkan buku catatan kecil yang selalu dibawa sertanya. Ia memperlihatkan kepada Dr. Lowell Mason syair renungan “pengorbanan Yesus” yang sudah dikarangnya dua tahun sebelumnya. Mason meminta agar ia diberi salinan syair puisi tersebut. Kedua orang itu mampir ke sebuah toko, dan di situlah Palmer menyalinkan hasil karyanya untuk temannya. Dengan ucapan terima kasih yang agak tergesa-gesa, Dr. Mason mengantungi kertas itu dan pergi.
Setelah sampai di kediamannya, Lowell Mason memeriksa syair karangan Ray Palmer dengan teliti. Makin diperhatikan, makin disukainya lirik-lirik puisi tersebut. Dengan cepat ia pergi ke sebuah organ kecil di rumahnya dan mulai menyusun not-not, yang sampai sekarang selalu dijodohkan dengan lagu rohani itu.
Dua tiga hari kemudian, kedua pria tersebut secara kebetulan bertemu kembali di jalanan kota Boston. Lowell Mason hampir tidak dapat menunggu sampai bersalaman dulu. Dengan semangat ia mencetuskan: “Saudara Ray, mungkin Saudara akan hidup sampai tua dan melakukan banyak hal yang baik. Namun, menurut hemat saya, Saudara akan diingat hingga berabad-abad mendatang sebagai pengarang lagu rohani yang syairnya Saudara titipkan kepada saya tempo hari.”
Dan ternyata ramalan Lowell Mason sungguh tepat!
Lagu Itu Menjadi Tenar
Memang Ray Palmer hidup sampai lanjut usianya, hampir 80 tahun. Ia menggembalakan dua jemaat yang besar, pernah menjadi Ketua Sinode gereja, dan bahkan menjadi ketua gabungan gereja-gereja sealirannya. Ia mengarang puisi dan prosa sebanyak dua jilid. Namun, yang paling dikenang orang hingga hari ini hanyalah berdasarkan satu hal saja, yaitu: sebuah nyanyian pujian yang pernah dikarangnya pada waktu ia masih seorang pemuda yang miskin dan kesepian.
Mula-mula, karangan Ray Palmer yang sudah dilengkapi dengan musik gubahan Lowell Mason tidak begitu populer di Amerika Serikat. Tetapi seorang pendeta Skotlandia yang mengunjungi kawan-kawan sepelayannya di Amerika membawa pulang sebuah guntingan majalah yang memuat lagu itu. Di Skotlandia nyanyian pujian itu mulai sering dinyanyikan dalam peribadahan, menjadi terkenal dan ketenarannya terbawa kembali ke negeri asalnya.
Bahkan dalam masa hidupnya sekalipun, Pdt. Ray Palmer sudah sempat menikmati sambutan yang baik dari umat Kristen di seluruh dunia karena lagu karangannya tersebut. Misalnya, seorang utusan Injil di negeri Siria pernah menulis sepucuk surat kepada Dr. Palmer yang berbunyi sebagai berikut:”Pada saat ini saya baru saja mendengarkan 120 putri dari sekolah Kristen yang sedang menyanyikan lagu pujian karangan Bapak.”
Pada malam sebelum terjadi salah satu pertempuran yang paling dahsyat dalam Perang Saudara di Amerika Serikat, ada beberapa tentara yang sedang berkumpul. Mereka insaf bahwa kemungkinan besar ada di antara mereka yang akan gugur besok di medan perang. Maka mereka ingin meninggalkan sesuatu sebagai kesaksian iman mereka.
Akhirnya mereka menyepakati sebuah rencana. Mereka akan menulis kata-kata karangan Ray Palmer itu di atas sehelai kertas, lalu akan membubuhi tanda tangan mereka masing-masing. Pada esok harinya perang besar benar terjadi. Benar, ada di antara tentara tersebut yang gugur. Yang masih hidup, kemudian menceritakan kejadian luar biasa tersebut kepada Pdt. Palmer.
Hidup Ray Palmer sendiri tamat pada tahun 1887. Tetapi lagu karangannya rupanya tetap hidup mengatasi banyak zaman. Lagu itu bukan hanya menjadi “Lagu Rohani Terbesar” karangan orang Amerika, melainkan juga menjadi nyanyian pujian yang disenangi banyak orang di seluruh dunia. Lagu pujian itu telah diterjemahkan dalam puluhan bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, dan masih diperdengarkan di mana-mana, sebagai kesaksian iman segenap umat Kristen.
Membaca pelan dan menyanyikan lagu My Faith Looks Up To Thee (Kulihat Salibmu) hingga keempat menegaskan betapa dalamnya Ray Palmer menghayati pengorbanan Tuhan Yesus dan meyakini kuasa penyertaan-Nya. Lirik bait pertama udah diperlihatkan di awal tulisan ini. Berikut lirik bait kedua hingga keempat Kulihat Salibmu seperti yang tertulis dalam Kidung Jemaat No. 32.
Jadikan kuasa-Mu di dalam hatiku api kudus.
Kasih salib-Mulah sumber anugerah;
Cintaku s’lamanya kepada-Mu
Di dalam bayang maut, Tuhan, tetap Engkau harapanku!
Dalam lembah gelap duka pun melenyap,
jikalau ‘ku tetap di jalanMu.
Di saat ajalku, ragu dan takutku buanglah jauh.
Ya, Jurus’lamatku, lindungi jiwaku,
Hingga ‘bertemu dengan Dikau
Dikutip dari:
Riwayat Lagu Pilihan dari Nyanyian Pujian, Jilid 3. H.L. Cermat. Lembaga Literatur Baptis. Bandung.