Pada masa lalu, hukum di kerajaan-kerajaan seperti Babilonia disusun oleh raja-raja yang berkuasa dan dipercaya oleh masyarakat untuk menegakkan keadilan serta kesejahteraan. Misalnya, Raja Babilonia, Hammurabi, Ia mengatakan bahwa dirinya ditunjuk oleh dewa Anum dan Enlil untuk memerintah dengan tujuan menegakkan keadilan, menghancurkan kejahatan, dan melindungi rakyat lemah dari penindasan oleh yang kuat. Ia menyusun daftar hukum yang mengatur kehidupan sosial, hukum, dan moralitas masyarakat. Ada pula Raja Ur-Nammu, menyatakan bahwa dirinya menegakkan keadilan di negerinya, dengan menetapkan hukum-hukum.
Di dalam Alkitab, hukum tidak berasal dari manusia, melainkan dari Tuhan sendiri. Keluaran 24:3-4a mencatat tentang Musa yang menyampaikan firman Tuhan dan peraturan-peraturan kepada bangsa Israel, dan mereka menyatakan kesediaan untuk mentaati segala firman yang diucapkan Tuhan. Musa kemudian menuliskan firman Tuhan tersebut. Selanjutnya pada Keluaran 31:18, Tuhan memberikan kepada Musa dua loh hukum yang ditulis oleh jari-Nya sendiri di Gunung Sinai. Ini menunjukkan bahwa hukum Tuhan bersifat holistik, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik sosial, religius, maupun moral. Tuhan sendiri yang menjadi ‘pengawas langsung’ atas pelaksanaan hukum tersebut.
Hukum Tuhan atau Taurat, mencerminkan keselarasan antara moralitas dan legalitas. Apa yang tidak bermoral juga dianggap ilegal, begitu juga sebaliknya. Bahkan ’belas kasihan’ diatur dalam hukum ini. Misalnya, hukum tentang menghormati orang yang lebih tua dan tidak menindas orang asing, seperti yang dinyatakan dalam Imamat 19:32-35. Umat diperintahkan untuk menghormati orang tua, sebagai tindakan yang terkait langsung dengan rasa takut akan Tuhan. Demikian pula bagi orang asing yang tinggal di antara bangsa Israel, mereka harus diperlakukan sama seperti orang Israel dan dikasihi seperti diri sendiri. Sebaliknya setiap tindakan kejahatan dianggap sebagai dosa terhadap Tuhan, sehingga ada kejahatan-kejahatan yang masuk dalam daftar ‘kejahatan tak terampuni’, misalnya masalah perzinahan dan pembunuhan (Ulangan 22:22 dan Bilangan 35:16). Di luar hukum Taurat, seperti dalam Hammurabi 129, perzinahan bisa diampuni jika pihak yang dirugikan, seperti suami, memilih untuk mengampuni istrinya, dan raja bisa memberikan pengampunan juga. Jadi, dalam konteks hukum tersebut, pengampunan dapat diberikan oleh manusia, baik oleh korban maupun penguasa. Demikian pula dalam hukum-hukum di tempat lain, pengampunan dapat diberikan oleh raja. Namun di Israel, pengampunan hanya berasal dari Allah.
Perbedaan lain antara hukum di luar dan hukum Taurat adalah mengenai penerima hukuman. Hukum Taurat menegaskan bahwa hukuman harus diterima oleh orang yang bersalah saja, bukan orang lain yang tak bersalah (Ulangan 24:16). Setiap orang dihukum mati karena dosanya sendiri, tanpa melibatkan keluarga atau kerabat. Di luar hukum Taurat, hukuman terkadang bersifat balas dendam terhadap anggota keluarga yang tidak bersalah. Contohnya, dalam Hammurabi 115, jika seorang penagih hutang menyiksa anak dari orang yang berhutang, maka anak penagih hutang tersebut juga harus mati. Dalam Asyur Tengah 50, jika seseorang menyerang anak perempuan orang lain hingga tewas, anak perempuan dari pelaku juga harus dihukum mati.
Dalam hukum Taurat, semua orang diperlakukan sama di hadapan hukum. Tidak ada pengecualian berdasarkan status sosial. Namun, dalam hukum bangsa-bangsa di luar Israel seperti Hammurabi, hukuman bergantung pada kelas sosial (aristokrat, umum, dan budak). Hukuman yang diterima pelaku berbeda tergantung status korban. Jika seorang aristokrat mematahkan tulang sesama aristokrat, tulangnya juga harus dipatahkan (Hammurabi 197). Namun, jika korbannya adalah orang biasa, pelaku hanya perlu membayar sejumlah uang (Hammurabi 198). Jika seorang aristokrat melukai budak, hukumannya jauh lebih ringan, hanya perlu membayar sebagian dari nilai budak tersebut (Hammurabi 199). Dalam hukum Israel, hukuman berlaku sama untuk semua orang, sedangkan di luar Israel, status sosial menentukan beratnya hukuman.
Melalui uraian di atas kita menemukan bahwa hukum "Mata Ganti Mata, Gigi Ganti Gigi" menjadi sebuah nilai tandingan terhadap aturan-aturan legal sezamannya yang ada di bangsa-bangsa sekitar umat Israel.
Bagaimana hukum "Mata Ganti Mata, Gigi Ganti Gigi" dibandingkan dengan aturan hukum lain di bangsa-bangsa sekitar Israel? Apa implikasi dari penerapan hukum tersebut, terhadap kehidupan sosial dan moral umat Israel?
Yuk saksikan video ini selengkapnya di tautan ini!