Mereka Termangu-mangu
Manusia memang terlahir dengan segala potensinya, tetapi kita juga diperhadapkan pada kenyataan bahwa manusia dalam kebertubuhannya juga memiliki banyak keterbatasan. Tubuh kita tercipta sedemikian rupa sehingga kita tidak bisa hidup pada tempat-tempat yang terlalu ekstrim, setidaknya tanpa alat bantu. Kita tidak bisa bernafas di dalam air, atau terbang seperti burung di udara. Tubuh manusia punya batas toleransi atas rasa sakit sehingga rasa sakit yang ekstrim bisa membuat kita syok dan tidak sadarkan diri. Tubuh manusia juga mengandung jutaan sel yang memiliki batas waktu regeneratif. Saat batas itu dipenuhi maka sel manusia akan berhenti tumbuh dan beregenerasi. Datanglah kematian yang menjadi tanda berakhirnya kehidupan. Manusia dengan tubuhnya tidak dapat melawan kematian.
Maka saat Maria dari Magdala, Yohana, Maria ibu Yakobus, dan perempuan lainnya menjumpai batu kubur yang terguling serta jenazah Yesus yang telah tiada, mereka terkejut bukan kepalang. Pertama, tubuh manusia biasa tidak mungkin bisa mengguling batu itu sendirian. Kedua, tidak mungkin tubuh Yesus yang telah mendingin itu hilang dengan sendirinya. Injil Lukas mengeksplorasi dengan sangat dramatis pengalaman para perempuan ini dalam mengolah pengalaman atas kubur kosong yang mereka alami. Pengambilan keputusan manusia seringkali melibatkan cerapan indrawi saat mengambil sebuah kesimpulan atas suatu fenomena. Maka tepatlah jika kesimpulan akhir dari seluruh proses indrawi itu menghasilkan kebingungan yang teramat sangat atau sesuai dengan Lukas 24:4 yakni “mereka termangu-mangu”. Tubuh Yesus menghilang, pengalaman yang sungguh tidak terduga dan begitu di luar nalar. Kesedihan campur kebingungan merasuk bagaikan awan yang menutupi kepala mereka.
Intervensi ilahi kemudian dihadirkan untuk menggugah sadar dan mengingatkan mereka akan ingatan yang telah lampau mengenai Sang Juru selamat. Ia terwujud melalui kehadiran dua orang yang berpakaian berkilauan, tidak dijelaskan secara spesifik sebagai malaikat sebagaimana injil lainnya. Orang itu berkata, “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati?” Hidup dan mati adalah pengalaman kebertubuhan yang paling otentik dan hakiki.Tubuh yang masih menikmati kehidupan adalah tubuh yang bebas dan bisa berada dimana saja, tetapi bukan di pemakaman sebagai situs untuk mengingat kematian serta membaringkan tubuh yang telah kehilangan nyawa.
Satu hal yang kemudian diminta kedua orang itu adalah untuk mengingat apa yang telah Yesus katakan kepada murid-murid-Nya ketika Ia masih di Galilea. Yesus akan diserahkan ke tangan orang-orang berdosa, disalibkan, dan bangkit pada hari yang ketiga. Pikiran manusia begitu kuat. Ingatan yang tepat dan spesifik atas suatu peristiwa bahkan dapat membuat kita merasakan seolah-olah peristiwa lampau tertentu hadir di masa kini. Maka saat ingatan akan kata-kata Yesus dibangkitkan, para perempuan tersebut menjadi sadar dan segera memberi respons untuk berlari dan memberi kesaksian atas semua yang telah mereka alami. Yesus menepati janji-Nya! Ia tidak tinggal dalam kematian, melainkan dibangkitkan dan hidup di antara umat-Nya!
Mereka Memilih Tidak Percaya
Sayangnya para murid dan rasul-rasul tidak semudah itu mempercayai mereka. Apakah karena mereka yang adalah perempuan? Pihak yang pada masa itu hanya menjadi pelengkap dan dinomorduakan? Ataukah pernyataan itu menentang seluruh pemikiran logis mereka dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipikirkan? Tidak ada penjelasan yang dicatat dalam teks, sehingga keduanya sangat dimungkinkan. Namun bila direfleksikan lebih lanjut, bukankah sikap para rasul itu seringkali menjadi pilihan hidup beriman kita. Kita seringkali meragu akan penyertaan-Nya. Padahal Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang hidup dan berada bersama kita dalam menjalani kehidupan. Ia berada di tengah orang yang hidup, demikianlah para utusan ilahi itu berujar kepada para perempuan.
Tindakan proaktif hanya ditunjukkan terjadi pada Petrus. Lukas tidak menjelaskan bahwa Petrus telah mengambil kesimpulan bahwa Yesus bangkit. Ia memilih untuk mengolah pengalaman indrawi tersebut lebih lanjut. Agak sedikit lebih baik dibanding dengan para rasul lainnya yang memilih menyangkal begitu saja.
Berada di Antara Mereka yang Hidup
Pada akhirnya kebangkitan Kristus menegaskan pilihan-Nya untuk bersama dengan ciptaan-Nya. Menyelamatkan kita dari belenggu dosa dan menawarkan kehidupan bagi yang percaya kepada-Nya. Yesus telah mengalami pengalaman manusiawi dalam kebertubuhan-Nya, segala sakit dan derita telah ditanggung oleh tubuh-Nya, menjadi penanda bahwa Ia menjadi serupa dengan manusia. Sebuah tindakan yang menegaskan belarasa Tuhan atas segala derita kita. Namun Ia melampaui pengalaman-pengalaman manusiawi itu melalui kebangkitan-Nya. Mengalahkan maut sebagai bentuk penegasan kuasa-Nya. Dengan demikian melalui kebangkitan-Nya, Ia tidak hanya menggarisbawahi belarasa Allah melalui pengalaman manusiawi Kristus, melainkan juga kemampuan-Nya untuk membawa manusia lepas dari hukum dosa, lewat kebangkitan-Nya.
Maka telah menjadi terang benderang bagi kita bahwa dalam Tuhan selalu ada pengharapan. Kebangkitan-Nya menegaskan hal tersebut. Kehidupan memang tidak selalu menawarkan kemudahan bahkan seringkali kesulitan, tantangan, dan awan gelap itu datang bertubi-tubi. Namun, kasih Tuhan selalu lebih besar dari hal-hal tersebut. Bukankah kebangkitan-Nya adalah bukti yang paling jelas dan nyata atas itu semua. Pengharapan bukan sekedar optimisme, melainkan sebuah dinamika iman yang menghayati kehadiran dan penyertaan Tuhan dalam segala situasi, baik itu saat segala sesuatu sesuai harapan kita ataupun sebaliknya.
Pertanyaan reflektif : Apakah makna kebangkitan Kristus dalam peziarahan iman anda selama ini?