Pdt. dr. Josaphat S. Mesach, M.Th.: Hidup adalah Pelayanan

Berita | 26 Maret 2021

Pdt. dr. Josaphat S. Mesach, M.Th.: Hidup adalah Pelayanan


 

Ibarat pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Istilah tersebut tepat untuk menggambarkan jalan hidup Pdt. dr.Josafat Stephanas Mesach, M.Th. Kakeknya adalah seorang pendeta. Kedua orang tuanya juga menjadi pendeta. Maka sedari remaja sudah tumbuh keinginan Jossi, panggilan akrabnya, untuk masuk seminari(sekolah teologia). 

“Saya sedari kecil sudah sering dibawa oleh ayah dan ibu saya pergi menjalankan pelayanan,”terangnya. “Saya memperhatikan bagaimana mereka berkhotbah, mendampingi orang sakit, dan bagaimana orang tua saya menjalankan semua pelayanannya dengan penuh sukacita, sehingga saya bayangkan kehidupan yang indah, yang baik adalah hidup yang melayani Tuhan, “lanjutnya. 

Demikianlah, sejak kecil kehidupan Jossi berada di sekitar gereja dan pelayanan. Dari kecil Jossi juga sudah diperkenalkan dengan cerita-cerita Alkitab oleh kedua orang tuanya. “Ya, sedari kecil saya terbiasa membaca cerita-cerita Alkitab, mendengar orang tua saya berkhotbah, menemani orang tua mengunjungi warga jemaat dan dibiasakan untuk bersekolah Minggu,”katanya. 

“Yang unik, setiap masa liburan kami pergi ke tempat kakek di Semarang. Kami begitu senang setiap kakek membacakan cerita-cerita Alkitab bagi kami. Ceritanya begitu memukau dan hidup. Beliau mempunyai banyak koleksi buku-buku cerita Alkitab bergambar berbahasa Inggris dan Belanda,”kenang Jossi. Kakeknya di Semarang mulanya adalah seorang Guru Sekolah Minggu yang akhirnya memutuskan untuk menjadi Pendeta. “Kakek saya adalah pendongeng Alkitab yang hebat,”tuturnya. “Cerita yang dibacakannya demikian melekat dalam benak saya hingga bertahun-tahun kemudian.”

Memiliki orang tua yang rajin membaca buku dan Alkitab, membuat Jossi dari kecil juga sudah terbiasa untuk menyukai dan membaca sendiri cerita-cerita Alkitab bergambar. “Saya waktu kecil sangat suka membaca Cerita Alkitab Bergambar terbitan BPK Gunung Mulia yang diterjemahkan oleh Bapak Opusunggu,”kenangnya. 

Lebih lanjut Jossi menceritakan bagaimana semangat dan keteladanan orang tuanya dalam melayani telah membentuk dan mewarnai kepribadiannya dari muda. “Saya selalu tegaskan, jika orang tua ingin anak-anaknya menjadi anak yang baik, mereka juga harus memberikan teladan yang baik kepada anak-anaknya,”tegasnya.”Tidak mungkin berharap anak-anaknya memiliki kepribadian dan karakter yang baik, jika teladan dari orang tuanya buruk. Anak-anak melihat keteladanan orang tuanya.” 

Selepas lulus SMU, Jossi membulatkan tekadnya untuk masuk seminari. Meskipun semangatnya masuk seminari begitu tinggi, namun akhirnya ia harus menundanya. Bapak rohaninya, Pdt. H.L Senduk, pendiri sinode GBI, menyarankan kepada Jossi agar menempuh pendidikan umum yang lain terlebih dahulu sebelum melanjutkan masuk seminari. Meskipun awalnya bingung, ia mengikuti nasihat dari bapak rohaninya tersebut. Bagi Jossi, sosok Pak Senduk bukan hanya seorang pendeta baginya, namun juga mentor. “Dalam diri Pdt. Senduk saya melihat menyatunya kata dengan perbuatan. Hidupnya senantiasa sederhana, memperhatikan orang yang miskin dan terpinggirkan. Beliau tedalan yang kuat dalam pelayanan saya,”katanya.

Jossi kemudian memilih melanjutkan pendidikan ke fakultas kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI). “Tidak ada alasan yang khusus mengapa saya masuk kedokteran. Yang jelas, ibu saya selain pendeta adalah seorang dokter. Beliau sering mengajak saya ketika beliau mengadakan kunjungan ke rumah-rumah sakit Kristen. Dari awal dunia yang saya kenal ada di seputar pelayanan gereja dan kedokteran. Saya tinggal mengikuti teladan orang tua saya saja,”terangnya. 

Bertahun-tahun kemudian, Jossi menyadari bahwa nasihat Pdt. Senduk ternyata tepat. Dengan menempuh pendidikan kedokteran terlebih dahulu, Jossi seperti dipersiapkan ketika nantinya berkiprah dalam pelayanan sinode GBI. “Saya meyakini Pak Senduk benar-benar sosok visioner. Dengan bekal ilmu kedokteran, saya diperlengkapi ketika menjalankan pelayanan di Departemen Pelmas (Pelayanan Masyarakat) Sinode GBI,”katanya. “Ketika masuk ke kampung-kampung, banyak orang tahunya saya adalah Pak Dokter, bukan Pak Pendeta. Namun, hal tersebut malah memudahkan bagi saya dan tim untuk menerobos ke daerah-daerah yang resisten terhadap pelayanan gereja,”lanjutnya. 

Demikianlah jalan hidup menjadi seorang pendeta tertunda, dan malah berbelok menjadi calon dokter. Namun, kelokan itu ternyata dibuat Tuhan menjadi sesuatu yang positif dan mendatangkan manfaat. Sambil menyelesaikan studi kedokteran, Jossi giat membantu dalam berbagai kegiatan pelayanan gereja. Selesai studi dokter, Jossi bukan hanya sibuk di jemaat lokal, GBI Petamburan, namun juga aktif berkiprah di sinode GBI. 

Hingga suatu saat Jossi mendapatkan panggilan untuk menjalani PTT ke daerah sebagai syarat untuk pengangkatan sebagai dokter tetap. Sebelum mengambil keputusan, Jossi menghadap kepada pimpinannya di Sinode, Pdt. Niko Njotorahardjo yang waktu itu menjabat Ketua Departemen Pelayanan Masyarakat (Pelmas) Sinode GBI. Beliau kemudian menanyakan ketegasan pilihan saya,”Jadi sekarang yang mana pilihan hidup kamu, mau memilih menjadi dokter ataukah melayani sebagai pendeta?” 

“Saya hanya berpikir sebentar menanggapi pertanyaan Pak Niko. Karena memang hati kecil saya memilih jalan untuk melayani. Saya pun kemudian memutuskan karir dokter saya untuk sementara waktu tidak saya lanjutkan,”jawabnya. Pilihannya tersebut tidak pernah ia sesali karena memang agaknya Tuhan yang menuntun keputusannya tersebut. 

“Tuhan tampaknya menunggu keputusan saya untuk melayani-Nya. Waktun itu usia pernikahan saya sudah sekitar lima sampai enam tahun. Dan kami hingga saat itu belum dikaruniai anak. Selepas saya menyatakan keputusan untuk melayani Tuhan sepenuh waktu, kami langsung dikaruniai momongan. Bagi saya ini seperti tanda dan jawaban Tuhan atas keputusan yang saya buat. Maka, setelahnya Jossi pun masuk seminari untuk belajar lebih lanjut ilmu teologi. 

Dalam pandangan Jossi, baik menjadi dokter maupun menjadi gembala seseorang bisa menjadi sosok yang sukses. “Tidak selalu menjadi dokter memberi jaminan seseorang akan sukses, cemerlang, kaya dan serba mulus hidupnya. Tergantung kepada orangnya, apakah seseorang itu pekerja keras, senantiasa berinovasi dan sebagainya,”terangnya. “Ada banyak teman-teman saya kuliah, yang hidupnya tetap sengsara, walaupun lulus sebagai dokter,”lanjutnya. 

Semenjak mengambil keputusan menjadi pendeta tidak pernah terlintas rasa khawatir dalam diri Jossi. “Belajar dari pengalaman, saya senantiasa meyakini penyertaan Tuhan,”katanya. “Orang zaman dahulu mungkin mengatakan: mengapa kamu mau jadi pendeta, keluargamu mau dikasih makan batu? Bagi saya sudah tidak berlaku lagi anggapan demikian,”lanjutnya. 

Saya tidak pernah memiliki kekhawatiran, karena saya melihat Tuhan senantiasa memelihara dengan cukup. Kata kuncinya di sini adalah senantiasa merasa cukup,”terangnya. 

Sejak menjadi gembala, Pendeta Jossi senantiasa menekankan bahwa gereja tidak boleh hanya berhenti dalam pelayanan mimbar, namun harus mampu mewujudkan pelayanan holistik. “Gereja yang melakukan pelayanan yang holistik adalah pelayanan yang utuh dan tidak terbagi-bagi, tidak terpisahkan. Bagi gereja berlatar belakang Pentakosta, di masa lalu tidak mudah untuk membangun sebuah pelayanan holistik. Karena kadang ada dikotomi antara gereja dan dunia, yang rohani dan sekuler. Holistik itu menjangkau dan merangkul semua secara utuh,”terangnya. 

“Di sini gereja bukan hanya memperhatikan kepentingan di seputar mimbar, namun juga membangun pelayanan diakonia bagi semua. Diakonia di sini bukan sekadar pelayanan diakonia karitatif, yang artinya memberi bantuan langsung atau berbagi kasih sayang seperti: memberi makanan, menghibur orang sakit, memberi pakaian namun yang lebih penting adalah diakonia development, diakonia transformatif dan diakonia advokasi,”katanya lebih lanjut. 

“Cara pandang pelayanan saya ini mungkin juga karena dipengaruhi pengalaman pelayanan ibu saya, Pdt. dr. Olly Mesach. Beliau dulu lama berkarya di PGI di bagian Parpen(Partisipasi Pembangunan). Di situ saya melihat kinerja, kiprah pelayanan ibu saya dan ikut mempengaruhi cara pandang pelayanan saya,”katanya. 

Sebagai pendeta di era milenial, Pdt. Jossi melihat banyak tantangan yang harus dihadapi oleh gereja-gereja masa kini. “Yang pertama, adalah ajaran. Karena kebebasan penafsiran Alkitab yang malah menimbulkan bibit perpecahan, dan timbulnya banyak aliran baru yang saling bersaing dan merasa dirinya benar. Hal itu membuat doa Yesus untuk keesaan gereja seperti semakin susah terwujud.”

“Masalah yang lainnya, adalah perpindahan dan pertumbuhan jemaat. Dari penelitian Bilangan Research Center, 47 % dari pertumbuhan gereja di Indonesia itu terjadi karena perpindahan warga jemaat. Bukan karena banyaknya petobat baru. Hasil penginjilan kalau tidak keliru hanya sebesar 1,7 %,”terangnya. 

“Di era pandemi ini dengan terbatasnya kesempatan bertemu dan bersekutu secara langsung, diperkirakan kesempatan seseorang untuk berpindah jemaat atau gereja semakin besar. Namun, syukurlah perkiraan tersebut tdak terbukti. Hanya ada sekitar 2,3% umat yang disurvei yang berniat pindah gereja, sementara 87% umat masih setia dengan gerejanya,”jelasnya. 

Sepanjang kiprahnya sebagai seorang hamba Tuhan, Pdt. Jossi merasa tidak banyak kegagalan yang ia lalui atau rasakan. Hal ini terangnya bukan karena tidak pernah mengalami kesulitan-kesulitan atau pergumulan hidup. “Hal ini sebenarnya bergantung juga pada falsafah hidup setiap orang,”terangnya. 

“Jika kita adalah seorang yang terlalu ambisius, yang penuh keinginan yang tidak rohani, maka sebuah kesulitan kecil akan dianggap sebagai kegagalan besar. Namun sebaliknya, jika kita memiliki kesadaran bahwa semua hal dalam kehidupan dikendalikan oleh Tuhan dan kita belajar menerima diri, pergumulan hanya akan kita anggap sebagai pelajaran-pelajaran kecil saja. Setiap pergumulan malah dipandang sebagai alat Tuhan untuk mendewasakan hidup kita. Sekali lagi, falsafah atau cara seseorang memandang hidup dan kehidupannya akan berpengaruh pada kepasrahannya menjalani dan menerima hidup,”terangnya lebih lanjut. 

Kini, Pdt. Jossi Mesach bukan hanya sibuk dengan pelayanannya sebagai Gembala Jemaat GBI Petamburan. Namun, ia dipercaya menjabat sebagai Sekretaris Umum Sinode GBI. Sebagai Sekretaris Umum Sinode, tugas utamanya adalah mengkoordinir pekerjaan-pekerjaan rutin di kantor Sinode maupun memantau pelayanan GBI di wilayah-wilayah. Lain dari itu sebagai Sekum kita harus memikirkan strategi ke depan, penyesuaian-penyesuaian, inovasi dan langkah-langkah apa lagi yang harus dilakukan oleh Sinode. 

Meskipun telah disibukkan dengan berbagai kegiatan pelayanan di jemaat dan sinode, Pdt. Jossi masih mendapatkan satu lagi kepercayaan dari Tuhan. Beliau terpilih menjadi salah satu Ketua Pengurus Lembaga Alkitab Indonesia yang baru, menggantikan Pdt. Dr. Aristarchus yang baru-baru ini wafat. Tidak pernah terbayang dalam benaknya suatu ketika akan menjadi Pengurus LAI. “Kalau boleh jujur kesibukan pelayanan di jemaat dan sinode sendiri sudah cukup banyak,”ujarnya sembari tertawa.

Meskipun kalau boleh dikatakan, beliau bukan baru saja mengenal LAI. Ibunya, Pdt. Olly Mesach, bertahun-tahun lamanya menjabat sebagai Pengurus dan Pembina di Yayasan Lembaga Alkitab Indonesia. Gerejanya, GBI Petamburan, telah beberapa kali digunakan sebagai tempat acara besar LAI, seperti: Natal Keluarga Besar, Doa dalam rangka mendukung pembangunan Gedung Pusat Alkitab, dan menjadi lokasi peluncuran salah satu terbitan paling laris LAI: Alkitab Edisi Studi. Sinode GBI sendiri tercatat menjadi salah satu gereja mitra pendukung utama pelayanan LAI. “Ibu saya bersuka cita ketika mendengar saya bersedia menjadi Ketua Pengurus LAI.” Dalam pandangan Pdt. Jossi, LAI ke depan harus semakin menjalin kemitraan yang erat dengan gereja-gereja di Indonesia sebagai mitra pendukung utamanya. “Karena gereja-gereja yang memiliki umat dan bisa menggerakkan umat. Semua gereja harus terlibat dalam gerakan untuk menyebarkan Kabar Baik ke seluruh penjuru Indonesia,”terangnya.

Berbicara tentang inovasi dan penerapan teknologi dalam pelayanan gereja, Pdt. Jossi melihat bahwa hal tersebut bergantung pada latar belakang gereja dan pelayannya. “Ada orang-orang dari aliran pietis (dipengaruhi beberapa zending tertentu dari Eropa) yang menekankan kesucian dan kekuduskan, yang memandang teknologi sebagai alat setan. Bagi aliran seperti ini, pastilah mereka akan tertinggal dalam memanfaatkan teknologi untuk kepentingan pelayanan dan ibadah gereja. Gereja semestinya terbuka untuk memanfaatkan teknologi bagi kepentingan pelayanan gerejawi,”katanya.

“Pandemi Covid-19 menjadi momentum yang membuka pemahaman banyak orang bahwa mau tidak mau gereja harus terbuka dengan teknologi sebagai alat bantu ibadah dan persekutuan. Kalau tidak mau menyesuaikan diri, gereja akan ditinggalkan oleh umatnya,”lanjutnya.  

Lebih lanjut Pdt. Jossi melihat kaum milenial, anak-anak muda sekarang lebih condong menggunakan dan memanfaatkan Alkitab versi digital yang tersedia dalam gadget mereka. “Anak saya yang tertua misalnya, lebih memilih bantuan teknologi dalam mencari tahu berbagai hal tentang Alkitab,”katanya.””Kalau sudah mencari di internet dan tidak tahu, barulah anak saya bertanya kepada saya.” Menurut Pdt. Jossi cara mendidik anak sekarang ini dalam mencintai Kitab Suci adalah melalui contoh dan keteladanan. Anak-anak sekarang menurutnya tidak mungkin dipaksa, untuk selalu berkumpul bersama dan membaca Alkitab bersama. Mereka seringkali memiliki jadwal acara dan dunianya sendiri. “Kita tidak boleh memaksa mereka, meskipun kita tetap harus memantau dan mengawasi perkembangan anak-anak kita,”lanjutnya. 

Tentang kiprah anak-anak muda dalam pelayanan, Pdt. Jossi berharap semakin banyak anak-anak muda yang tidak hanya sekadar pembaca Alkitab, namun mau terpanggil sebagai tenaga-tenaga relawan pelayanan, salah satunya relawan tanggap bencana. “Saya berharap anak-anak muda mau terlibat dalam Tagana (Taruna Siaga Bencana) Rajawali. Relawan tanggap bencana dibentuk oleh Kementerian Sosial. Unsur-unsur pendukungnya berasal dari berbagai kalangan, seperti: artis film, partai politik, ormas, pemuda masjid. Pemuda-pemuda Kristen disebut Tagana Rajawali.” Pdt. Jossi berharap makin banyak perwakilan dan utusan pemuda-pemuda dari berbagai gereja yang bergabung. “Jangan sampai kita hanya berbicara berbagai persoalan kemanusiaan, namun tidak pernah mengambil peran di dalamnya. Apa gunanya jika hanya ngomong doing,”lanjutnya. 

Pdt. Jossi ditahbiskan sebagai Gembala jemaat pada April 2009. Namun, keterlibatannya di Sinode GBI jauh lebih lama lagi, dimulai dari tahun 1990. “Saya mulai menjalani pelayanan di Sinode mulai dari seorang Sekretaris Departemen hingga selanjutnya Kepala Departemen,”katanya. Begitu panjang jalan yang harus ditempuh untuk akhirnya menjadi seorang gembala jemaat. Menurutnya waktu yang panjang tersebut adalah media pembelajaran yang memperkaya dan mendewasakan hidupnya. 

Sebagai orang yang sedari kecil mencintai Kitab Suci, dan sekarang menjabat sebagai Ketua Pengurus LAI, Pdt. Jossi punya kerinduan agar dalam setiap keluarga kristiani di Indonesia paling sedikit memiliki satu Alkitab. Alkitab harus menjadi inspirasi utama dalam setiap rumah tangga. Jika sudah terwujud, bisa dilanjutkan dengan satu Alkitab untuk satu jiwa di seluruh Indonesia. 

“Saya berharap dengan diterangi nilai-nilai firman Tuhan, hidup orang-orang Kristen lebih berdampak bagi masyarakat luas. Kiprah anak-anak Tuhan harus lebih terlihat dalam karya dan prestasi. Jangan sampai anak-anak Tuhan malah justru paling terlihat dalam korupsinya,”katanya. 

“Bagi saya pelayanan adalah hidup,”tegasnya. “Hidup dan pelayanan sudah manunggal dengan diri saya.” Selagi masih ada nafas dirinya ingin terus melayani Tuhan sampai akhir. 

Demikialah perbincangan dengan Pdt. Josaphat Stephanus Mesach. Imannya tumbuh melalui teladan yang diwariskan turun temurun. Iman dan kesetiaan yang dimulai dari kakeknya, menurun kepada orang tuanya, dan kemudian diteruskan olehnya sekarang ini. Dalam suratnya kepada Timotius Rasul Paulus menulis,” Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.(2 Tim. 1:5). Pdt. Jossi belajar dari teladan kakek dan kedua orang tuanya yang setia melayani-Nya. Buah sungguh-sungguh tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya. Seperti mereka, Pdt. Jossi juga berharap melayani Tuhan sampai garis akhir. 

Bagaimana dengan kita dan keluarga kita?

 

 

 

 

 

 

 

Logo LAILogo Mitra

Lembaga Alkitab Indonesia bertugas untuk menerjemahkan Alkitab dan bagian-bagiannya dari naskah asli ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kantor Pusat

Jl. Salemba Raya no.12 Jakarta, Indonesia 10430

Telp. (021) 314 28 90

Email: info@alkitab.or.id

Bank Account

Bank BCA Cabang Matraman Jakarta

No Rek 3423 0162 61

Bank Mandiri Cabang Gambir Jakarta

No Rek 1190 0800 0012 6

Bank BNI Cabang Kramat Raya

No Rek 001 053 405 4

Bank BRI Cabang Kramat Raya

No Rek 0335 0100 0281 304

Produk LAI

Tersedia juga di

Logo_ShopeeLogo_TokopediaLogo_LazadaLogo_blibli

Donasi bisa menggunakan

VisaMastercardJCBBCAMandiriBNIBRI

Sosial Media

InstagramFacebookTwitterTiktokYoutube

Download Aplikasi MEMRA

Butuh Bantuan? Chat ALIN


© 2023 Lembaga Alkitab Indonesia