Dari sejarah dan perkembangan penerjemahan Alkitab dalam bahasa Melayu/Indonesia kita dapat memetik satu pelajaran yang penting bahwa sejak semula setiap pemakai terjemahan Alkitab menyampaikan keluhannya bila terjemahan yang dibaca dan dipelajarinya sukar dipahami, banyak memakai istilah-istilah yang tidak dikenal umum, atau menggunakan susunan kalimat yang janggal dan tidak wajar. Karena itu, selalu ada usaha untuk memperbaiki terjemahan agar lebih mudah dibaca dan dipahami.
Dari sejarah itu pula kita menyadari bahwa merivisi terjemahan bukanlah sesuatu yang mengada-ada, tetapi suatu kebutuhan yang nyata dan absah. Apa artinya mencetak dan menyebarluaskan terjemahan Alkitab yang tidak dapat atau sukar dibaca dan dimengerti oleh penerimanya? Itulah sebabnya ada terjemahan Ruyl, Brouwerious, Leijdecker, Klinkert, Shellabear, Bode, Injil (Arnoldus, Ende), Terjemahan Baru (LAI), dan begitu seterusnya.
Pada hakikatnya metode penerjemahan Alkitab yang dipakai hingga saat Alkitab Terjemahan Baru dikerjakan adalah metode harfiah yang menekankan agar bentuk bahasa asli sedapat mungkin dipertahankan dalam bahasa sasaran. Walaupun kata dan istilah yang dipakai dalam suatu terjemahan adalah kosakata Indonesia yang umum dan wajar, jika bentuk dan susuan bahasa aslinya (Ibrani, Aram, dan Yunani) dipertahankan, hasil terjemahannya dalam bahasa Indonesia akan tetap sulit dipahami.
Berbeda dari metode penerjemahan harfiah yang mementingkan bentuk bahasa asli Alkitab sehingga arti yang dimaksudkan tersembunyi, metode dinamis/fungsional mementingkan arti dan fungsi yang dimaksudkan dalam naskah asli Alkitab dan menyampaikannya dalam bentuk bahasa sasaran yang umum dan wajar sesuai pemakaian masa kini. Yang ditekankan adalah bahasa yang umum (sehari-hari), jadi bukan bahasa sastra atau bahasa cerdik cendekia, juga bukan bahasa pasaran, tetapi bahasa yang tidak terlalu rendah bagi orang yang berpendidikan tinggi dan tidak terlalu tinggi bagi orang sederhana.
Saduran dari buku Mengenal Alkitab Anda (Daud H. Soesilo)