Kehidupan manusia ibarat embun pagi yang perlahan sirna saat mentari naik. Ia seperti bunga yang merekah sejenak, lalu layu diterpa angin waktu. Pada pasal ini, Ayub kembali merenungkan kefanaan manusia dengan kepedihan yang mendalam. Ia melihat hidup sebagai perjalanan yang singkat, penuh kesulitan, dan berakhir dengan kematian yang tak terhindarkan. Namun, di balik renungan yang getir tersebut, tersirat sebuah pencarian, adakah harapan di tengah kefanaan?
Ayub berkata, “Manusia yang lahir dari perempuan, singkat umurnya dan penuh kegelisahan. Seperti bunga ia berkembang, lalu layu, seperti bayang-bayang ia hilang lenyap dan tidak dapat bertahan” (Ayub 14:1-2). Hidup manusia bukan hanya singkat, tetapi juga rapuh. Seperti bunga yang cepat layu, seperti bayang-bayang yang berlalu tanpa bekas. Keberadaan kita fana, dan waktu yang kita miliki tak dapat kita perpanjang sesuka hati. Lalu Ayub mempertanyakan, mengapa Allah tetap memperhatikan manusia yang begitu fana? Lebih-lebih, mengapa manusia yang lemah masih menjadi objek penghakiman? (Ayub 14:3). Ia mengungkapkan pergumulannya yang mendalam, merasa seolah-olah Allah memperlakukannya terlalu keras. Namun jika kita perhatikan dengan seksama, justru dalam pertanyaan ini, tersirat sebuah kebenaran, Allah melihat manusia, bahkan yang paling hina sekalipun. Kita bukanlah makhluk yang diabaikan, tetapi diperhatikan.
Ayub juga membandingkan manusia dengan pohon. Pohon yang dipotong masih bisa hidup kembali jika akarnya bertemu dengan air. Namun, bagaimana dengan manusia? Ketika ia mati, ia tidak akan bangkit lagi. Itulah yang Ayub pikirkan. Di titik ini, kita melihat keterbatasan pemahaman Ayub tentang kehidupan setelah kematian. Tetapi pertanyaannya tetap relevan pada masa itu, karena tidak dapat dilepaskan dari kepedihan mendalam atas penderitaan yang sedang dialaminya.
Sahabat Alkitab, hidup ini memang sementara, tapi kesementaraan ini bukan alasan untuk putus asa, melainkan dorongan untuk hidup lebih bijaksana. Apa yang kita lakukan hari ini memiliki dampak di kemudian hari. Setiap kebaikan yang kita tanam, setiap kasih yang kita bagikan, akan menjadi bagian dari warisan iman yang tak lekang oleh waktu. Termasuk keteguhan hati kita dalam menghadapi rupa-rupa pergumulan yang terjadi di dalam kehidupan kita.