DUNIA MEMBUTUHKAN TULISANMU.

DUNIA MEMBUTUHKAN TULISANMU.

 

Jika kita membaca literatur atau folklor tentang penduduk asli Amerika, kita dapat menjumpai nama-nama seperti Banteng Duduk (Sitting Bull), Daun Gugur (Falling Leaves), Awan Merah (Red Cloud) dan sebagainya. Buat kita orang Indonesia mungkin terasa aneh, karena kita terbiasa memberi nama anak sebagai sebuah doa atau pengharapan. Widhiastuti misalnya, adalah sebuah doa orang tua terhadap anaknya agar anaknya selalu dikasihi Tuhan. Atau, Bambang Wijaya, sebagai pengharapan agar anaknya yang laki-laki beroleh sukses dan kejayaan saat dewasa nanti.

Adalah tradisi bagi penduduk asli Amerika untuk memberi nama pada anaknya yang baru lahir menurut apa yang dilihatnya pertama kali di luar tenda sesaat setelah sang anak lahir. Awan Merah mungkin dilahirkan saat menjelang senja ketika langit berwarna lembayung kemerahan menjelang matahari terbenam. Dan sepanjang hidup Awan Merah, hal ini akan menjadi riwayat dan catatan sejarah hidupnya, bahwa ia dilahirkan saat senja, saat ayahnya si Penyendiri menjadi kepala suku Sioux Oglala dan ibunya adalah si Pemikir Berjalan dan ia dididik oleh si Kepala Suku Berasap, dan seterusnya. Jadi nama itu menjadi pengingat akan riwayat hidupnya dan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupannya. Dengan kata lain, sepertinya dalam nama itu terkandung catatan akan apa yang dilihatnya dan dialaminya dengan segala kaitannya.

Dalam Alkitab, khususnya dalam Kitab Wahyu pasal 1 ayat 19 tertulis, “Karena itu tuliskanlah apa yang telah kau lihat, baik yang terjadi sekarang maupun yang akan terjadi sesudah ini”. Ayat ini merupakan perintah Tuhan kepada Yohanes melalui penglihatan (visi) di Pulau Patmos. Yohanes melihat kedatangan dan kemenangan Kristus yang turut menanggung penderitaan umat-Nya. Berdasarkan penglihatan itu, Yohanes menulis tujuh surat kepada tujuh jemaat di Asia yang berisi kesaksian dan nubuat pengharapan serta pembebasan bagi ketujuh jemaat tersebut.

Kini, perintah Tuhan bagi kita untuk menyampaikan pesan-pesan kenabian bagi orang-orang yang dipertemukan Tuhan dengan-Nya, masih berlaku. Tulislah apa yang kau lihat! Kalimat ini bisa juga berarti menyampaikan opini atau pandangan kita terhadap situasi sosial kemasyarakatan yang tidak adil, diskriminatif, hoaks dan sebagainya. Wow, sepertinya ini sebuah tugas yang keren. Tapi menulis dengan memuat pesan-pesan kenabian bukanlah seperti menulis status di Facebook, di Instagram, di WhatsApp, atau cuitan di Twitter dan sebagainya, tetapi lebih kepada refleksi kita terhadap situasi yang terjadi dalam hidup kita. 

Marion Van Horne dalam bukunya “The Word at Work” mengatakan bahwa sebagai penulis Kristen yang ingin menyampaikan nilai-nilai kekristenan melalui tulisan, bukan berarti kita melulu menulis soal gereja, Alkitab atau kesaksian-kesaksian rohani. Seluruh dunia membutuhkan sebagian dari tulisan kita. Entah soal obrolan-obrolan di warung kopi, isu politik, dunia anak-anak, sampai persoalan kemiskinan dan kekeringan. Semua membutuhkan tulisan kita yang memuat nilai-nilai moral, penguatan, harapan dan pesan-pesan kenabian. Jadi, sudahkah tulisan kita di media-media sosial mencerminkan pesan-pesan kenabian itu atau hal-hal yang membangun dan menginspirasi orang lain?

Media sosial, harus diakui, saat ini merupakan salah satu media yang sangat efektif untuk membentuk opini publik. Untuk itu menulis di media sosial merupakan latihan yang sangat baik untuk melatih ketrampilan menulis pada lingkup yang lebih luas. Tidak hanya untuk dunia tulis menulis, tetapi juga merupakan landasan yang baik untuk mengembangkan ketrampilan berbicara di hadapan publik, presentasi, berdiskusi dan membangun argumentasi. Semuanya dimulai dari menulis. Setidak-tidaknya menulis outline akan apa yang kita sampaikan. Menulis apa yang kita lihat, apa yang kita rasakan, apa yang kita alami, apa yang kita baca, serta menulis dengan sukacita apa yang ingin kita sampaikan kepada orang lain.

Tetapi apakah menulis itu sulit? Siapa bilang! Menulis itu mudah, demikian kata Arswendo Atmowiloto, yang pada tahun 1982 menulis buku, “Mengarang Itu Gampang”. Dia mengajarkan kepada pembacanya tentang teknik-teknik membuat tulisan yang enak dibaca dan perlu yang ternyata gampang. Tidak sulit. Mulailah menuliskan apa yang kau lihat. Wendo – panggilan akrab Arswendo – sudah membuktikannya. Ketika ia harus studi lanjut, “belajar bermasyarakat lagi” di Cipinang, ia pun menuliskan apa yang dilihatnya sehari-hari dan menyerahkannya kepada anggota keluarga saat menjenguknya. Setelah ia “selesai studi lanjut”, ia pun melengkapi kebahagiaannya dengan diterbitkannya karya tulis tersebut dengan judul “Menghitung Hari”.

Menulis ternyata memang tidak sulit. Dibagian akhir tulisan “Mengarang Itu Gampang”, Wendo menulis, “Mengarang bisa dilakukan anak-anak, remaja, orang tua, bahkan pensiunan. Rasanya asal bukan buta huruf total, semua orang bisa mengarang. Seperti naik sepeda atau berenang, sekali menguasai bisa seterusnya. Tak akan lupa atau menjadi tidak bisa. Yang diperlukan adalah: ide atau ilham, cara menyusun, menggambarkan tokoh. Selebihnya latihan. Jadikan ‘habits’, kata Marion Van Horne. Kita hanya perlu membiasakan diri meluangkan waktu dan tempat untuk menulis. Hindari mengatakan “Some day I’m going to write.” The time is now! Sekaranglah waktunya. 

Jangan takut menulis. Mulailah menulis. Dunia butuh tulisan kita. Mulailah menulis dari apa yang dilihat, diingat, dibaca, dipikirkan, direnungkan, dirasakan hingga menulis pesan-pesan yang berguna bagi orang lain. Seperti Yohanes, sebagai umat Tuhan, kita adalah bagian dari imamat, oleh karena itu sampaikan pesan-pesan kenabian, pesan-pesan yang berguna dan membangun demi dunia yang lebih baik dan sejahtera. Selamat menulis. Sekaranglah waktunya.

 

Pdt. Sri Yuliana, M.Th.