HAI GENERASI MUDA, GENGGAMLAH DUNIA!

HAI GENERASI MUDA, GENGGAMLAH DUNIA!

 

Pada tahun 2015 yang lalu, warganet sempat dihebohkan oleh sebuah cuitan oleh @Della_JKT48 yang berbunyi, “Dan aku juga mengenalkan budaya indonesiaa ke mereka seperti,tut wuri handayani yang artinya walaupun beda tetap satu ☺ “. Sedemikian parahkah pengetahuan generasi milenial kita? Selain salah mengartikan arti “Tut wuri handayani” juga nampak ketidaktertiban Della dalam penggunaan EYD 1972 atau EBI 2015. Seperti inikah potret generasi muda kita?

Mengamati fenomena seperti Della, kita juga mengenal “Generasi Alay” yaitu kelompok remaja/anak muda yang dalam berbahasa merasa lebih modern/kekinian jika menggunakan bahasa campur aduk “Indonggris” (campuran Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris), mengabaikan aturan penggunaan huruf kapital, angka, tanda baca, ejaan, serta simbol-simbol. Tidak hanya dalam bahasa tulis yang digunakan di media sosial atau gawai, tetapi juga dalam bahasa tutur, seperti, “Warung ini ‘lejen’ (Ing: legend) banget” untuk mengatakan bahwa, “Warung ini sangat melegenda” atau, “Aku mau makan ‘pome’ (Ing: pomegranate)” alih-alih mengatakan, “Aku ingin makan buah delima”. Dalam hal berbusana, kelompok ini juga sangat memperhatikan penampilannya. Meniru gaya busana artis-artis Korea sepertinya sudah menjadi identitas kelompok ini. Pada kelompok yang lain, mereka bahkan berani  meniru gaya busana “karakter” dalam anime atau manga (film animasi atau cerita bergambar bergagrak/genre Jepang). Dalam aktivitas keseharian kita juga melihat kelompok ini sebagai generasi yang ekspresif, manja/kekanak-kanakan, labil, tidak memiliki kepercayaan diri serta cenderung mengikuti arus budaya pop. Dalam dunia kerja, kelompok ini juga ditengarai tidak betah bertahan lama di satu tempat kerja. Gampang pindah kerja serta keluar-masuk perusahaan. Tentu tidak ada yang salah dengan perubahan-perubahan sebagai akibat dari perkembangan zaman, serta pengaruh budaya pop yang mengelilingi kita hampir setiap saat. Walaupun demikian, perlu kita ingat bahwa kita adalah Bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi akar budaya dan sejarahnya.

Situasi seperti ini, pasti menimbulkan kekuatiran dari generasi yang lebih dahulu (Generasi Baby Boomers), “Akankah kita kelak mempercayakan kepemimpinan negeri ini di tangan mereka?” – Di satu sisi kekuatiran ini beralasan dengan memperhatikan kecenderungan sebagian besar remaja/anak muda tersebut. Namun, di sisi lain kita juga melihat ada anak-anak muda berprestasi seperti para pendiri GOJEK, perusahaan rintisan negeri kita yang berhasil meraih predikat “Decacorn” (berkapitalisasi > USD 10 milyar), generasi muda di Kabinet Indonesia Maju, serta para wirausahawan muda lainnya yang sukses seperti dapat kita lihat dalam forum Jakarta Marketing Week. Jika demikian adanya, masihkah kita kuatir untuk menyerahkan masa depan bangsa kita ke dalam genggaman generasi muda?

Jika kita becermin dari sejarah, maka kekuatiran kita sepertinya tidak beralasan. Pada Sumpah Pemuda 1928,  para pelaku sejarah tersebut adalah anak-anak muda berusia 20-an tahun. Para pendiri negara ini pada 1945 dan mereka yang memimpin negeri ini pada masa-masa awal adalah mereka yang berusia 40-an tahun. Demikian pula Amerika Serikat, yang mencapai puncak-puncak keemasaanya ketika dipimpin oleh para presiden muda di usia 40-an: John F. Kennedy, Bill Clinton dan Barack Obama. Presiden Sukarno pernah berujar, “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Masa depan atau perubahan ada di tangan generasi muda, demikian visi Sukarno, sementara orang tua berperan memberikan visi dan teladan (Ing ngarsa sung tuladha), memberi motivasi (Ing madya mangun karsa) serta terus-menerus mendorong dari belakang (Tut wuri handayani). Dalam situasi seperti ini, perlulah kita ingat semangat dan optimisme para pendiri bangsa kita, bahwa ada orang-orang yang dapat kita percayai, memiliki potensi, integritas serta tanggung jawab untuk menggenggam masa depan bangsa, bahkan mengenggam dunia. 

Dalam Alkitab kita juga menemukan kesaksian Rasul Paulus yang memberi nasehat serupa kepada Timotius, “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai dan juga cakap mengajar orang lain.” (2 Timotius 1:2 ). Paulus yang pada waktu itu digambarkan sedang berada di dalam penjara, memberikan pesan kepada jemaat untuk terus membangun keberanian meneruskan perjuangan yang telah dimulainya. Walaupun mungkin mereka tidak selalu diterima dengan baik. Inti dari pesan Paulus ini adalah, ada  orang-orang yang bisa dipercayai untuk melanjutkan perjalanan dan pengajaran kepada generasi berikut. Orang-orang inilah yang harus dicari, dibina, dipersiapkan oleh Timotius secara matang. Ini juga menjadi harapan Allah kepada anak-anak muda yang diharapkan dapat menjadi pemimpin-pemimpin atau para perintis yang mengguncangkan dunia. Anak-anak muda yang kuat, terlatih, terdidik, dapat mengendalikan diri/disiplin serta penuh dengan kasih. Di dalam genggaman tangan merekalah, kita percayakan masa depan bangsa dan dunia.

Sebagai penutup, marilah kita bersama-sama menyimak penggalan penutup pidato Bung Karno pada Sidang Umum PBB XV, 30 September 1960 yang diberi judul To Build the World A New (Membangun Tata Dunia yang Baru): Bangunlah dunia ini kembali! Bangunlah dunia ini kokoh dan kuat dan sehat! Bangunlah suatu dunia dimana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan. Bangunlah dunia yang sesuai dengan impian serta cita-cita umat manusia. Putuskan sekarang hubungan dengan masa lampau, karena fajar sedang menyingsing. Putuskan sekarang dengan masa lampau sehingga kita bisa mempertanggungjawabkan diri terhadap masa depan.” ***

Pdt. Sri. Yuliana. M.th