JANGAN TANYAKAN “APA AGAMAMU” 

JANGAN TANYAKAN “APA AGAMAMU” 

 

Kalau berbicara soal toleransi rasanya yang paling dekat dengan istilah itu adalah soal agama. Berkaitan dengan hal ini, beberapa minggu yang lalu ramai diberitakan bahwa Sukmawati Sukarnoputri menyatakan diri dan melakukan upacara memeluk agama Hindu. Sebuah ranah privat sebetulnya, namun karena Sukma merupakan publik figur, maka hal ini memicu silang pendapat serta pro dan kontra. Tapi  memang demikianlah fenomena relasi kehidupan antar umat beragama di negeri ini. Demikian pula ketika pada bulan September yang lalu Pangkostrad Letjen TNI Dudung Abdurachman memberikan pengarahan kepada anggota Yon Zipur 9 Kostrad dengan berkata, “Hindari fanatik yang berlebihan terhadap suatu agama karena semua agama itu benar di mata Tuhan.

Perkataan, “… karena semua agama itu benar di mata Tuhan” sempat menuai tanggapan dari banyak kalangan, karena topik perdebatan itu telah bergeser menjadi “semua agama sama saja.” Tentu saja semua agama tidak sama. Setiap agama memiliki teologi serta ritual yang berbeda satu dengan yang lain. Jangankan bicara dalam ranah agama yang berbeda, dalam agama yang sama pun ada banyak perbedaan warna aliran teologi dan gaya ibadah. Sebagai contoh, perdebatan soal mana yang lebih benar antara baptis selam dan baptis percik yang hingga saat ini belum juga berakhir.

Salahkah jika kita merasa agama kita yang paling benar? Tentu saja tidak. Bahkan seseorang yang dengan sadar menyebut, “Semua agama sama saja”, patut kita ragukan pengetahuan tentang agama dan iman yang diyakininya. Namun di sisi lain, keyakinan bahwa agama saya yang paling baik dan paling benar perlu diimbangi dengan “Saling menerima dan saling memahami perbedaan antara agama kita dengan agama orang lain”. Dengan demikian, masing-masing yang merasa agamanya paling benar dapat menerima kebenaran-kebenaran agama lain di luar agamanya sendiri. Inilah yang disebut dengan toleransi, yang juga dapat berlaku untuk hal-hal lain selain agama.

Berkaitan dengan hal ini, ada satu pernyataan yang sangat baik yang dicetuskan tahun 1989 pada World Mission Conference and Evangelism (salah satu badan dari World Council of Churches) di  San Antonio, Texas, USA. Pernyataan itu berbunyi,  "We cannot point to any other way of salvation than Jesus Christ; at the same time we cannot put any limit to God's saving power. There is a tension between these affirmations which we acknowledge and cannot resolve." Sebagai umat Kristen kita percaya jalan keselamatan hanya melalui Yesus Kristus, namun di sisi yang lain kita tidak dapat membatasi kuasa penyelamatan dari Tuhan. Ada hal yang di luar pengetahuan kita dan tidak ada jalan keluarnya. Terhadap pernyataan ini kita diingatkan akan perkataan Rasul Yakobus: “Kalian melakukan yang benar, kalau kalian melaksanakan hukum Kerajaan yang terdapat dalam ayat Alkitab ini, "Cintailah sesamamu seperti kamu mencintai dirimu sendiri." [Yakobus 2:8-BIMK]. Nats ini sangat jelas dalam menggambarkan agama itu dan dasar dalam hidup beragama yang sesungguhnya. Jadi, masih perlukah kita bertanya, “Apa agamamu?” kepada orang lain sebelum kita ingin berbuat baik atau menolong orang tersebut? 

Namun untuk sampai pada kesadaran toleransi seperti di atas, tentu bukan hal yang mudah. Ada jalan panjang yang harus dilalui. Pada World Mission Conference and Evangelism yang diadakan di Edinburgh pada tahun 1910 (yang menjadi cikal bakal berdirinya World Council of Churches, 1948), delapan makalah yang dipresentasikan oleh para pakar mengerucut pada satu tema sentral, yakni, “Carrying the Gospel to all Non-Christian World”. Hal ini tidak mengherankan, karena pada masa itu doktrin gereja “Non Ecclesiam Nulla Salus” – tidak ada keselamatan di luar gereja – masih sangat kuat. Lagipula gereja-gereja di Eropa dan Amerika Utara tidak memiliki pengalaman perjumpaan dengan agama-agama lain. Sehingga superioritas kulit putih dan gereja saling berkelindan dalam perumusan misi gereja.

Di Indonesia angin perubahan mulai terjadi pada tahun 1957. Saat itu di Parapat, berkumpulan para pimpinan dewan gereja nasional dan gereja-gereja di Asia dan menyepakati berdirinya East Asia Christian Conference yang pada tahun 1973 menjadi Christian Conference of Asia (CCA). Kehadiran CCA dalam pertemuan-pertemuan umat Kristen Dunia memberikan wawasan baru bagi para pemimpin Kristen Eropa dan Amerika Utara. Perjumpaan umat Kristen di Asia dengan umat Hindu, Budha dan Islam adalah keseharian mereka, hal yang tidak dialami oleh umat Kristen di Eropa dan Amerika Utara. Dari sini baru kita paham mengapa baru pada tahun 1989 para pimpinan umat Kristen dunia membuat pernyataan misi yang toleran. Perlu berjalan 79 tahun untuk perubahan itu. Dan untuk perubahan itu gereja-gereja di Asia termasuk Indonesia memberikan sumbangan yang tidak kecil.

Toleransi, hubungan antar umat beragama, perbedaan teologi dan ritus antar denominasi Kristen bukanlah hal baru bagi umat Kristen di Indonesia. Demikian pula banyak tokoh Kristen yang menjadi founding fathers bangsa ini dan mereka pun menjalin hubungan yang baik dengan para founding fathers yang beragama lain. Perjumpaan dengan “Liyan” adalah pengalaman perjumpaan yang seyogyanya memperkaya dan mendewasakan umat Kristen dan umat lain dalam menjalani hidup beragama di negeri kita tercinta ini. Intinya, jangan tanyakan “apa agamamu” kepada orang lain dalam berbuat baik. Sebaliknya, kembalikan semua itu kepada hukum yang terutama, “Kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri”. 


Pdt. Sri Yuliana