JASMERAH

JASMERAH

 

Perjalanan panjang menghadirkan Alkitab ke Bumi Nusantara merupakan peristiwa bersejarah yang tidak boleh ditinggalkan oleh umat kristiani pengguna Alkitab. JASMERAH! Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah! demikian seruan Bung Karno, Bapak Proklamator kita. Demikian juga keberadaan Alkitab di tangan kita: JASMERAH! Jika kita lahir dari keluarga Kristen, kita sudah mengenal Alkitab yang ada di tangan kita saat ini. Kita tak pernah bertanya bagaimana proses lahirnya Alkitab dan perjuangan para misionaris dalam menyebarkan Alkitab sampai ke penjuru bumi dan di tangan kita ada Alkitab yang tertulis dalam bahasa yang kita mengerti. Sejarah kehadiran Alkitab adalah sejarah kita bersama sebagai umat Tuhan yang mengandalkan Alkitab sebagai buku pegangan hidup kita.

Tidak ada satu buku lain di dunia yang mempunyai sejarah yang begitu panjang dan diterbitkan dalam begitu banyak bahasa dengan jumlah berjuta-juta jilid selain Alkitab. Panggilan Kristus untuk membawa Injil kepada bangsa-bangsa mencetuskan kegiatan yang luar biasa untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa bangsa-bangsa. Lembaga-lembaga bekerja sama dalam solidaritas menghadirkan Alkitab untuk semua. Ada yang menerjemahkan Alkitab untuk bangsanya sendiri, seperti Luther, ada pula yang mempersembahkannya untuk bangsa lain, seperti Melchior Leydekker, yang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu. Mereka memprakarsai dan melakukan pekerjaan ini karena didorong dan diikat untuk satu tujuan, yaitu menyampaikan “karya keselamatan” Allah dalam bahasa yang dimengerti. Alkitab sendiri memperlihatkan suatu persekutuan yang melibatkan orang-orang dari berbagai latarbelakang ke dalam sejarah keselamatan Allah, oleh karena itu solidaritas dalam menghadirkan Firman Allah merupakan sejarah yang harus diingat dan dirayakan oleh semua orang percaya. Tidak hanya kerjasama dalam hal penerjemahan, namun juga kerjasama dalam pekerjaan Pekabaran Injil dan penyebaran Alkitab.

Sejarah juga mencatat bahwa perbedaan faham dan perbedaan denominasi gereja dapat diatasi pada saat Alkitab menjadi pusat perhatian untuk penerjemahan dan pemberitaan. Sebagai contoh, pada tahun 1967 kalangan pimpinan gereja Katolik mencoba melakukan pendekatan pada United Bible Society (Persekutuan Lembaga-lembaga Alkitab Sedunia) untuk mengusahakan penerjemahan Alkitab bersama dan menerbitkan satu Alkitab yang dapat dipakai bersama. Ide itu ternyata disambut baik juga oleh Gereja Ortodoks, sehingga satu peristiwa penting tercatat dalam sejarah yaitu pada 1975 di Perancis telah dipersembahkan sebuah karya bersama gereja-gereja Katolik, Protestan dan Ortodoks, sebuah Alkitab yang merupakan ‘terjemahan oikoumenis’ (Traduction Oecumenique de la Bible).

Di Indonesia kerjasama dalam penerjamahan Alkitab sudah dilakukan sejak era Zendingsconsulaat (1906-1953). Dalam kancah gerakan keesaan inilah, Alkitab dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan dan dipersembahkan bagi gereja-gereja di Indonesia, baik bagi kalangan Kristen maupun Katolik.

Sejarah lain yang tak kalah penting adalah perjuangan menghadirkan Alkitab hingga ke pelosok negeri. Salah satu sejarah Pekabaran Injil di Indonesia adalah saat masuknya Injil ke Tanah Papua, yang hingga kini setiap tanggal 5 Februari dirayakan sebagai Peringatan Hari Pertama Masuknya Injil ke Tanah Papua dan menjadi hari libur resmi di Papua, khususnya Papua Barat, berdasarkan Keputusan Gubernur Papua Barat No 140, Tahun 2008. Narasi masuknya Injil ke Tanah Papua dianggap sebagai hari masuknya “terang”, “kemajuan”, dan “peradaban” di Tanah Papua. Simbol keterbukaan Papua atau awal mula masuknya peradaban modern di Tanah Papua.

Apa yang telah terjadi pada 5 Februari 1865? Saat itu adalah hari kedatangan dua orang penginjil asal Jerman yakni: Carl Wilhem Ottouw dan Johann Gottlob Geissler. Mereka berangkat ke Batavia dengan semangat misionari akibat semangat Kebangunan Rohani dan Pekabaran Injil yang sedang melanda Eropa. Mereka terinspirasi Matius 24:14, “Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya”. Semangat ini pula yang mengilhami misionaris-misionaris Belanda tiba di bagian lain India Belanda yang kemudian melahirkan berbagai gereja di Indonesia. 

Masa pelayanan Ottouw dan Geissler relatif singkat. Ottouw meninggal tahun 1862 di Manokwari, sementara Geissler kemudian kembali ke Jerman dan wafat tahun 1870. Namun, rintisan pelayanan mereka di Papua, telah membawa Papua terbuka terhadap peradaban modern seperti sekarang. Pekerjaan pelayan Alkitab di Papua sungguh berat. Ottouw dan Geissler segera terserang malaria begitu tiba di Papua. Mereka berangkat dari Jerman tahun 1852 dan baru 3 tahun kemudian tiba di Papua. Meraka harus belajar bahasa dan membangun jejaring yang dapat membawa mereka tiba di Papua. Kedatangan Ottouw dan Geissler kemudian menginspirasi masuknya badan-badan misi lain ke Tanah Papua dan memberikan nilai-nilai Injili ke masyarakat Papua sekaligus pembangunan bagi Papua. Beratnya pelayanan Injil di Papua dapat disaksikan melalui film atau buku berjudul “Peace Child” yang menceritakan pengalaman dan pelayanan Injil oleh seorang misionari bernama Don Richardson bersama keluarga yang berasal dari Canada yang tiba pada tahun 1962 di Papua. 

Umat Israel tidak pernah sekali-sekali meninggalkan sejarah ‘keselamatan Allah’ yang terjadi sejak zaman nenek moyang mereka hingga kini. Mereka terus mengingat dan merayakan sejarah keselamatan itu. Demikian juga hendaknya kita tidak meninggalkan sejarah ‘keselamatan Allah’ yang dinyatakan melalui Alkitab. Tanpa Alkitab, gereja-gereja tidak dapat melakukan tugas pengajarannya. Tanpa Alkitab kita tidak dapat mengenal Allah, Penolong kita. Karena itu dibutuhkan kerjasama dan solidaritas. JASMERAH! Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah! Dan sejarah itu hingga kini kita peringati setiap bulan September sebagai Peringatan Hari Doa Alkitab (HDA). 

Pdt. Sri Yuliana. M. Th