Joseph Kam: “Saya sekarang sedang mempelajari kehendak dan jalan Tuhan. Saya ingin menjadi seorang misionaris.”

Joseph Kam: “Saya sekarang sedang mempelajari kehendak dan jalan Tuhan. Saya ingin menjadi seorang misionaris.”

 

Pekabaran Injil kepada orang-orang di Maluku sudah lebih dahulu dilakukan oleh Fransiskus Xaverius pada abad 15. Dan kemudian Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) yang merupakan Lembaga Pekabaran Injil di Belanda masuk pada abad ke 18 dan berhasil membaptis ribuan orang Maluku dan masuk ke dalam anggota jemaat Gereja Protestan di Hindia Belanda (GPI). Sejak saat itu Amboina terkenal sebagai pecinta gereja, pecinta Alkitab terutama Kitab Mazmur. Bila menyusuri jalan dan lorong-lorong di Ambon saat malam dan sepi sering terdengar nyanyian gerejawi di rumah-rumah. Atau di suatu malam yang lain terdengar suara bapa sedang mengucapkan doa malam dengan suara berat dan nyaring untuk keluarganya sendiri dan keluarga tetangganya. Lalu saat ibadah minggu mereka duduk rapi dan dengan penuh hormat dan hikmat mereka mengikuti ibadah. Di dalam kegiatan beribadah disana, pendeta yang tersedia saat itu lebih banyak melayani anggota jemaat yang berkebangsaan Eropa. Orang Maluku hanya disediakan beberapa orang pendeta ditambah guru dan penatua jemaat. Sampai kemudian datanglah Joseph Kam yang tidak tahan melihat ribuan orang Kristen Maluku kurang mendapat pemeliharaan rohani dan kemudian mendorong agar lembaga misi memberi perhatian lebih kepada orang-orang Maluku karena selama ini pemeliharaan rohani atas orang-orang Maluku hanya sebagai tugas sampingan pendetanya.  Jasanya yang besar terhadap perkembangan Kristen, Joseph Kam diberi gelar Rasul Maluku oleh masyarakat Kristen di Maluku.

Di kediamannya yang sederhana di Hertogenbosch, Belanda lahirlah Joseph Kam pada bulan September tahun 1769. Joseph merupakan anak hasil pernikahan dari Joost Kam dan  Anna Margarethazoek yang menikah pada 28 Agustus 1766. Hertogenbosch di masa yang sekarang masuk dalam provinsi Brabant Utara yang langsung berbatasan dengan Belgia. Orang tua Joseph berasal dari kelas menengah yang bekerja sebagai tukang pangkas, tabib, pembuat rambut palsu dan penyamak kulit. Ayahnya merupakan orang terhomat di wilayahnya.  Joseph Kam merupakan anak kedua dari lima bersaudara yang semuanya lahir di Hertogenbosch. Abangnya, Samuel Kam, merupakan pendeta  yang dianugerahi dua medali perak hasil tulisan-tulisannya yang terbit pada tahun 1801 dan 1804. Selain itu Samuel Kam juga mendirikan Zendeling Instituut di rumahnya dan turut serta mengoreksi Alkitab Melayu. Ketiga adiknya semua perempuan yakni Anna Cornelia Kam, Maria Magdalena Kam, dan Josina Kam dan semuanya di baptis di Grote Kerk Den Bosch. 

 

Dinamika masa persiapan Joseph Kam

Dengan kasih sayang dan pendidikan rohani yang baik kedua orangtuanya membesarkan mereka. Ayahnya, Joost Kam ikut ambil bagian dalam persekutuan Herrnhut walaupun sebenarnya sudah terdaftar dalam anggota jemaat gereja Grote Kerk Den Bosch di Hertogenbosch. Di dalam persekutuan inilah Joseph sedari kecil diajarkan tentang cinta kasih persaudaraan, memberitakan perdamaian, dan seruan untuk melakukan pekabaran Injil ke bangsa-bangsa lain yang belum percaya dengan Kristus. Kepatuhannya kepada Kristus dan kecintaan Joseph terhadap Pekabaran Injil lambat laun hidup di dalam hatinya. Joseph menamatkan pendidikan dasarnya dengan baik dan tidak langsung melanjutkan pendidikan kembali karena ayahnya memerlukan dia untuk membantu usaha perdagangan kulitnya. Joseph dengan setia mengikuti kehendak ayahnya. Di masa mudanya dia belajar banyak dari ayahnya tentang bagaimana mengerjakan sebuah usaha. Bagi Joseph mungkin itu adalah pilihan yang realistis untuk menekuni usaha penyamakan kulit milik ayahnya sebab tenaganya dibutuhkan sehingga dapat memberi nafkah bagi orangtua dan adik perempuannya.  Keinginannya untuk ikut mengabarkan kabar baik tetap hidup dalam hatinya dan selalu percaya Allah akan membuka jalan baginya. Joseph manaruh penuh jalan hidupnya melalui pimpinan Tuhan yang dia imani.

Revolusi Prancis pada tahun 1789 turut mempengaruhi sendi kehidupan di seluruh Eropa, ketegangan terjadi dimana-mana termasuk di Hertogenbosch. Perdagangan kulit sementara mengalami penurunan permintaan dan di ramal akan tutup karena bangkrut. Selama pengepungan Prancis di Hertogenbosch pada tahun 1794, ayahnya mengirim Joseph ke luar kota sebelum pengepungan. Ketika sudah di pintu gerbang dan akan menuju ke Utrech Joseph putar balik. Dengan tenang dan berani dia berjalan kembali, bersembunyi diam-diam di antara pasukan Prancis yang mengepung, bermalam di bawah kereta tentara, dan menyelinap masuk ketika benteng itu menyerah. Tak lama setelah revolusi, orang tuanya meninggal pada tahun 1802 dan tak lama setelah itu tempat penyamakan kulit ikut berhenti beroperasi. Joseph berpikir mungkin ini saat yang tepat baginya ikut dalam misi sending namun hasratnya harus ditahan kembali karena saudara perempuannya mengalami penurunan kesehatan sehingga perlu biaya dan perawatan yang intensif. Joseph mendapatkan pekerjaan sebagai pesuruh di Mahkamah Nasional di Den Haag. Joseph mengajak kedua saudara perempuannya untuk ikut pindah ke kota itu. Di kota tersebut dia bertemu dengan Alida van Epen dan kemudian memutuskan menikahinya di bulan Juni 1804. Alida van Epen merupakan putri dari Gerrit van Epen seorang pendeta setempat. Tidak lama Joseph merengkuh kebahagian dari pernikahannya. Tak lama setelah kelahiran putrinya, Alida va Epen kesehatannya semakin memburuk dan meninggal dua bulan kemudian. Putrinya kemudian dibawa oleh kerabat dekat abangnya, Pdt Samuel Kam, dan dibesarkan dengan penuh cinta kasih di Pastori Berkel. Joseph sempat pindah ke Amsterdam dan tak lama harus kehilangan pekerjaannya. Tak sampai disitu anak perempuannya juga meninggal karena penyakit kejang tepat di malam sebelum Joseph akan mengunjunginya. Ketika dia telah bersiap menghadapi berita duka ini, dia menerimanya dengan sangat tenang, dan kemudian berkata: “Saya sekarang sedang mempelajari kehendak dan jalan Tuhan. Saya ingin menjadi seorang misionaris.” Pematangan rohani dari diri Joseph menjadi suatu perjalanan yang penuh dinamika dan menjadi persiapan untuk pengutusannya pergi ke lapangan pekabaran Injil.

 

Persiapan lanjut menjadi Pekabar Injil

Joseph menawarkan dirinya untuk ambil bagian dalam pekerjaan misi dan bergabung dengan NZG. Joseph pada bulan April 1811 pergi ke Rotterdam untuk belajar sebagai bagian dari persiapan untuk menjadi seorang pekabar Injil. Dia tidak sendiri, selama tiga tahun Joseph belajar bersama Gottlob Bruckner dan Johann Christoffel Supper. Mereka diajari tentang pengetahuan teologi, selain itu ada ilmu pasti, sejarah umum, menggambar dan pengetahuan musik. Dari semua pelajaran yang dia dapat Joseph menyukai pelajaran tentang pengetahuan musik.   Empat bulan berlalu perang kembali meletus, Prancis kembali menguasai Belanda. NZG juga saat itu mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak mudah untuk mengirim Joseph ke tempat pekabaran Injil. Joseph kemudian kembali bertemu dengan jemaat Hernnhut yang memang mempunyai daya untuk mengirimnya menjadi seorang pekabar Injil. Bersama dua kawannya Bruckner dan Supper melanjutkan persiapan pendidikan di Zeist, Utrecht pada 28 September 1811. Dua tahun kemudian Joseph berangkat ke London untuk ujian di London Missionary Society (LMS) lembaga pekabaran Injil yang didirikan oleh orang-orang Anglikan, Kongregasional, Presbyterian, dan Wesleyan yang dipengaruhi oleh semanagat pietisme. Joseph lulus dan ditahbiskan menjadi pendea pada hari Minggu 21 November 1813.

 

Pada mulanya Ambon

Maluku di masa lampau terkenal dengan  daerah yang kaya akan rempah-rempah serta hasil laut yang berlimpah. Belanda pada masa kolonial bahkan rela menukar pulau Manhattan yang sekarang menjadi kota metropolitan dengan pulau Run yang luasnya hanya 600 hektare namun kaya akan tanaman pala. Maluku secara administratif pada masa kolonial disebut “Gubernemen Maluku” dan wilayahnya jauh lebih luas daripada provinsi Maluku yang sekarang, mulai dari Papua sampai ke Sulawesi Utara. Joseph Kam yang menumpang kapal dari Jakarta mendapatkan penglaman baru dan menyegarkan. Walaupun perjalanan yang lama dan membuat letih bahkan mabuk laut tidak menyurutkan hatinya untuk segera menginjakkan kaki di Ambon yang menjadi pusat kota di Maluku. 

Sejak tahun 1794 kota Ambon tidak pernah mempunyai pendeta tetap untuk melayani jemaatnya. Kenyataan yang lebih miris didapati di tempat-tempat lain di sekitarnya seperti di Saparua, Banda, Ternate dan Sangir jemaat tidak pernah mendapatkan pelayanan gerejawi. Perjamuan kudus tidak lagi dirayakan, peneguhan sidi dan pemberkatan nikah secara gerejawi tidak lagi dapat berlangsung. Hanya guru sekolah yang merangkap menjadi guru jemaat yang dengan setia  melayani keluarga-keluarga dalam lingkup kecil. Kekristenan mereka yang anut dengan rajin itu hanyalah kekristenan lahiriah. Joseph Kam harus melihat kenyataan ini, pekerjaan besar menantinya. Dengan semangat besar yang sudah menjadi cirinya dengan segera ia mencemplungkan diri ke pekerjaannya. 

Pertama yang dia lakukan adalah membentuk kelompok khusus bagi setiap orang yang mau belajar katekisasi di rumahnya dan bisa dapat ambil dalam Perjamuan Kudus. Lalu bagi orang dewasa yang menyerahkan dirinya untuk dibaptis Joseph Kam membentuk juga kebaktian khusus setiap minggu. Joseph berusaha dengan cermat agar semua umat yang datang dapat terlayani dengan baik. Sebagai bagian dari usaha untuk mendapatkan dana bagi pelayanannya Joseph membentuk perkumpulan doa setiap hari senin pertama setiap bulan. Penguasa dan perwira Belanda disana ikut ambil dalam pertemuan ini dan memberikan persembahan kasih yang besar jumlahnya. 

Literasi yang baik juga tidak luput dari pandangan Joseph agar pemeliharaan rohani dan pengetahuan iman orang-orang Ambon dapat terjaga terus. Joseph rajin menyurati dan berhubungan dengan para penguasa agar ada sebuah Lembaga yang bisa memenuhi ketersediaan bacaan rohani umat disana. Dibentuklan Lembaga Alkitab yang berdiri sendiri. Dibentuk juga percetakan sehingga dapat mencetak Alkitab Perjanjian Baru dengan tambahan Kitab Mazmur dalam bahasa Melayu.   

Pada mulanya Ambon lalu kemudian Joseph mengunjungi pulau-pulau lainnya. Di akhir tahun 1815 dia mengunjungi jemaat di Haruku, Seram Selatan dan Saparua. Pelayanan yang dilakukan seperti melayankan perjamuan kudus, baptisan dan berkhotbah secara rutin dilakukan Joseph. Kemudian di tahun 1816 dia menyebrang ke Pulau Boano dan Pulau Manipa. Di musim yang baik untuk mengarungi lautan Joseph mengadakan kunjungan-kunjungan di luar kota Ambon. Daya tahan tubuh yang baik dan kemujuran di tengah lautan kemungkinan diwarisi dari kakek moyangnya Diogo Cam, seorang penjelajah Portugal pada akhir abad ke-15. Usianya juga saat itu sudah menginjak 47 tahun tapi tidak mengurangi kegembiraan dan keberaniannya menghadapi ganasnya ombak lautan. 

Selama perjalanan melakukan perjalanan ke kampung-kampung Joseph Kam sering menjumpai mutu pendidikan yang masih rendah. Kondisi ini terlihat dari banyaknya murid yang bisa membaca namun tidak mengerti apa yang mereka baca, serta minimnya tenaga pendidik yang memiliki hati untuk melayani anak-anak bumiputera. Karena itulah Joseph Kam termotivasi untuk melatih para guru pribumi, dan melakukan segala daya untuk menghadirkan Zendeling dari Belanda. Dia memberikan pekarangan rumahnya untuk mendidik guru-guru Injil yang dapat membantu pelayanannya yang begitu luas.

    Joseph Kam kembali menikah pada tahun 1815 dengan Sara Timmermen. Mereka dikarunia dua anak laki-laki yakni Izaak Joseph Kam dan Joseph Karel Kam dan keduanya lahir di Ambon. Salah satu anaknya Joseph Karel Kam mengikuti jejak Joseph dengan menjadi pendeta dan pernah melayani di Gereja Blenduk Semarang pada tahun 1866. 

    Setelah menikah Joseph kembali melanjutkan pelayanannya dengan memberikan komitmen jangka panjang kepada jemaat di Ambon dengan membangun sebuah gereja di bawah pengelolaanya dan juga dananya diambil sebagian dari asetnya. Tidak sampai disitu, kecintaannya terhadap musik gereja sampai dia harus mengimport organ yang dikirim dari Belanda. Percetakan dan penjilidan buku yang dirintis dia juga mengalami perkembangan pesat terutama tulisan-tulisan kecil yang berguna dan membangun iman. 

Joseph Kam membuka diri juga untuk bekerja sama dengan Nederlands Bijbelgenootschap (NBG) atau Lembaga Alkitab Belanda sebagai pendukung dan kolaborator yang paling bersemangat. Dengan penuh kegembiraan ia segera bergabung ketika kegiatan NBG mulai diperluas. Joseph memberikan jasa-jasa penting dengan mendistribusikan Alkitab berbahasa Jerman Belanda, khususnya Alkitab Melayu berhuruf Latin, dan juga yang berhuruf Arab. Pekerjaan utamanya yang melayani jemaat di Ambon dan juga pekerjaan lainnya seperti mendistribusikan Alkitab dapat berjalan beriringan.

 

Masa akhir hidup dan pelayanannya. 

Pada tanggal 24 Maret 1833 Joseph melakukan perjalanan dan mengunjungi banyak pulau selama tiga bulan dan baru kembali dari Banda pada tanggal 14 Juli 1833 karena penyakit serius.  Pada pagi hari keempat setelah kembalinya dari perjalanan pelayanan Joseph meninggal di pelukan teman dan penerusnya Pdt. Gericke di usia 63 tahun 10 bulan. Pemakamannya dihadiri orang banyak sampai melebihi kapasitas Gereja, terlihat betapa besarnya ia dikasihi; Ratusan orang berbondong-bondong datang untuk terakhir kalinya untuk menghormati Joseph.