MENJADI DUTA-DUTA KEADILAN

MENJADI DUTA-DUTA KEADILAN

 

image WSH 63

Masih ingatkah Saudara akan nama Prita Mulyasari? Beliau adalah seorang ibu muda yang pada tahun 2008 mengalami salah diagnosa penyakit oleh dokter di sebuah rumah sakit. Sebagai akibat salah diagnosis itu ia harus menjalani rawat inap dan pengobatan yang keliru pada awalnya. Kekesalan hatinya akibat salah diagnosa dengan segala akibatnya ia tumpahkan melalui surat elektronik kepada beberapa kawannya. Surat elektronik itu kemudian beredar dari kawan ke kawan dan akhirnya bocor ke media sosial.

Munculnya kasus Ibu Prita di media sosial membuat rumah sakit tempat Ibu Prita berobat meradang dan melaporkan Ibu Prita ke Kepolisian atas dasar pencemaran nama baik. Kasus pun bergulir dan pada 2009 Ibu Prita dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri dan sang ibu muda itupun harus menghuni rumah tahanan dan harus membayar denda. Kasus Ibu Prita akhirnya mendapat simpati dan dukungan masyarakat. Munculah gerakan “Koin Prita” berupa pengumpulan dana secara “crowd funding” secara spontan untuk membantu Ibu Prita membayar denda sebesar Rp. 204 juta. Atas dukungan dan empati masyarakat terhadap Ibu Prita akhirnya pihak rumah sakit mencabut gugatannya dan pada tahun 2012 Mahkamah Agung membatalkan keputusan Pengadilan Negeri dan Banding dan hukuman penjara bagi Ibu Prita 4 tahun yang penuh tangis, marah, syukur dan haru. Berkaca dari kasus ini, kiranya apa yang dialami oleh Prita tidak perlu ada lagi.

Dari kasus Ibu Prita kita jadi bertanya-tanya, apakah keadilan itu? Mengapa terjadi perbedaan makna keadilan dari sudut pandang hukum formal dan keadilan menurut norma-norma masyarakat? Apa itu keadilan barangkali dapat kita pelajari dari empat kata ini, yakni Inequality, Equality, Equity dan Justice.

Inequality, tidak sama rasa-tidak sama rata. Bagaikan dua orang yang tidak sama tingginya hendak memetik buah di sebuah pohon yang condong sebelah. Orang yang tinggi berada di dekat cabang yang rendah, sementara orang pendek justeru berada pada sisi cabang yang tinggi. Keduanya sama-sama tidak dapat memetik buah yang diinginkan. Peluang yang tidak sama serta akses yang tidak sama serta kondisi yang tidak sama.

Equality terjadi ketika orang yang pendek dan orang yang tinggi mendapat tangga yang sama untuk memetik buah tersebut. Sama rasa, namun tidak rata. Orang yang tinggi berhasil memetik buah, orang yang pendek belum berhasil memetik buah. Peluang dan kondisi masih tidak sama walaupun diberikan akses yang sama.

Equity dalam Bahasa Indonesia dapat juga berarti keadilan, yakni ketika orang yang pendek diberikan tangga yang lebih tinggi sehingga keduanya dapat berhasil memetik buah. Peluang dan kondisi  yang dihadapi masih tidak sama, namun kepada yang lemah diberikan akses yang lebih luas. 

Justice atau keadilan adalah ketika timbul untuk menegakan pohon yang condong sebelah itu menjadi lurus, kepada orang yang pendek maupun orang yang tinggi mendapat tangga yang sama dan keduanya berhasil memetik buah. Peluang yang sama, kondisi yang sama serta akses yang sama.

Perkembangan pembangunan hukum di negeri ini sudah semakin memberikan peluang dan akses yang sama bagi warga negara, namun perjuangan kita adalah mewujudkan kondisi yang sama dan yang lebih baik. Ibarat kita hendak berenang di laut, kita menginginkan berenang di laut yang jernih serta tidak berombak dengan arus yang moderat.

Akhir-akhir ini Kapolri kita yang baru Jend. (Pol). Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si, mengkomunikasikan wacana “keadilan restoratif” (restorative justice), yakni, “Sebuah pendekatan untuk mengurangi kejahatan dengan mempertemukan antara korban, tersangka dan perwakilan masyarakat umum. Tujuannya agar masing-masing pihak bercerita mengenai apa yang terjadi, membahas siapa saja pihak-pihak yang telah dirugikan, serta bermusyawarah mengenai tindakan resoratif yang dilakukan oleh tersangka untuk menebus kesalahannya, melalui cara-cara pernyataan maaf, memberi ganti rugi, atau pertobatan yang disertai tindakan sosial-kemasyarakatan agar hal serupa tidak terulang lagi serta memberikan edukasi kepada masyarakat.” Sebagai contoh, belum lama ini kita menyaksikan orang yang nekad tidak mau mengenakan masker di ruang-ruang publik, bahkan menghina lembaga kepolisian. Orang geram melihat tindakan seperti, dan ingin agar orang tersebut ditangkap polisi dan ditahan agar jera. Orang tersebut memang akhirnya ditangkap, tetapi tidak ditahan. Setelah orang itu membuat pernyataan maaf orang itu tidak ditahan, melainkan dijadikan “Duta Masker/Protokol Kesehatan COVID-19”. Inilah contoh dari keadilan restoratif yang dipraktikan dan menjadi kebijakan POLRI saat ini. Sebuah tindakan yang manusiawi dan Alkitabiah.

Menggemakan keadilan dan mempraktikkannya memang tidak mudah, bahkan memerlukan pengorbanan. Namun berkaca dari apa yang dilakukan Tuhan Yesus, bagaimanapun keadilan harus tetap dijalankan, karena ini bagian dari misi Allah (missio Dei). Dalam Alkitab tertulis, “Roh Allah ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Lukas 4:18,19). Keadilan adalah bagian dari Kabar Baik dan rahmat Tuhan yang harus terus ditegakkan. 

Oleh karena itu marilah kita memperjuangkan keadilan dengan cara memperjuangkan kondisi yang setara, peluang yang sama serta akses yang berkeadilan bagi semua orang. Sekaligus memberi kesempatan kepada semua orang yang bersalah untuk menyesal, bertobat, memperbaiki diri dan menjadi duta-duta keadilan.

Pdt. Sri Yuliana