Menyapa Hati Generasi Masa Kini

Menyapa Hati Generasi Masa Kini

 

Goenawan Mohamad pernah menulis demikian:jika sebuah buku adalah adalah sebuah akhir dari penulisan, maka ia berhenti menjadi sebuah teks belaka. Ia menjadi sesuatu yang final (Teks dan Iman, 2003). Beberapa hari yang lalu, Alkitab Terjemahan Baru Edisi 2 (TB2) secara resmi diluncurkan. Dengan terbitnya TB2 tugas para “koki” yang bekerja di balik layar usai sudah. Selanjutnya, tugas para pembaca, dalam hal ini gereja dan umat kristiani untuk menjadikan kerja para “koki” tidak menjadi sia-sia. Agar Alkitab TB2 tidak berhenti sebagai sebuah teks belaka, namun menjadi firman yang hidup dalam hati pembacanya. Yang memimpin, menerangi dan menuntun pembacanya menghadapi tantangan zaman.

Goenawan dalam artikel yang sama menyebut, masyarakat Indonesia saat ini bergerak begitu cepat, bahkan langsung dari suatu keadaan praliterer ke dalam keadaan pascaliterer, dari suatu lingkungan yang tidak pernah membaca ke dalam suatu lingkungan yang tak hendak atau tak ingin membaca. Tahun 2003 ketika Goenawan menulis artikel ini, media televisi telah mengisi sekitar 50% dari waktu senggang orang Indonesia yang berpendidikan sekolah menengah ke atas. 

Sekarang, dua dekade kemudian, bukan hanya televisi tetapi internet dengan jutaan informasi di dalamnya mengambil waktu luang kita setiap hari. Seberapa waktu yang akan kita sediakan untuk membaca Alkitab di tengah beragam pilihan menu informasi? Berapakah di antara kita yang mengkhususkan diri setiap hari membaca dan merenungkan isi Kitab Suci? Yang masih memandang nilai-nilai Alkitab lebih utama dibanding beragam nilai-nilai baru yang ditawarkan berbagai media?

Dalam bukunya, “The Bible: A Book Like No Other”, pengkhobah dan penginjil besar John Stott menyebut di Eropa sana, di negeri-negeri yang dulunya giat mengabarkan Kabar Baik ke berbagai belahan bumi, Alkitab sekarang ini dipandang sebagai retorika kosong. Di negara-negara yang dulunya mengirim jutaan eksemplar Alkitab ke seluruh dunia, nilai-nilai Alkitab dipandang tidak sesuai lagi dengan dunia masa kini. Alkitab yang dulunya memiliki otoritas bukan hanya di gereja namun juga bagi negara, sekarang tak lebih dari sebuah buku biasa tak beda dengan buku yang lainnya. 

Di luar segala jerih lelah penerjemahan dan juga waktu dan dana yang sudah dikorbankan, penerbitan Alkitab TB2 menjadi relevan untuk  mendampingi generasi muda Kristen pada masa kini dan nanti. Mengutip 2 Timotius 3:1-5, John Stott menyebut tantangan yang mesti dihadapi generasi muda agar tidak tergilincir dan terperosok dalam arus dunia. 

Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu daripada menuruti Allah

 

Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakikatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!

 

John Stott meringkas berbagai tantangan tersebut dalam tiga hal. Pertama, cinta yang salah arah. Daripada mencintai Allah banyak orang lebih mencintai diri sendiri, mencintai uang dan mencintai kesenangan. Bukankah iklan-iklan yang berteparan dan promo-promo belanja online dewasa ini menggiring manusia ke dalam tiga hal tersebut? Bukankah sekarang ini taburan iklan mendorong manusia untuk selalu merasa kurang dan tidak pernah merasa cukup?  Manusia menjadi tamak dan hedonisme marak terjadi.  

Kedua, zaman kita adalah zaman kehampaan agama. Orang-orang menjalankan ibadahnya, namun memungkiri kekuatan agama untuk mengubah hidup manusia ke arah lebih baik. Bahkan John Stott menulis banyak orang yang menjalankan agama sebagai ajang pamer. Bukan lagi sebagai pandu untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan berbuat baik kepada sesama. 

Tantangan ketiga, berpikiran terlampau terbuka. Dalam 2 Tim. 3:7, Paulus menggambarkannya sebagai orang-orang yang “walaupun selalu ingin diajar, namun tidak pernah dapat mengenal kebenaran.” Di satu sisi begitu banyak ajaran dan nilai-nilai baru yang berkembang, di sisi lain banyak generasi muda meremehkan nilai-nilai ajaran Kitab Suci dan menganggapnya sebagai ajaran kuno yang ketinggalan zaman. 

Agar tidak tenggelam dan terhilang dalam arus zaman yang menawarkan berbagai nilai baru, generasi saat ini dan juga nanti diajak untuk merenungkan nasihat Paulus kepada Timotius dalam perikop yang sama: 

Ingatlah juga bahwa sejak kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan melalui iman kepada Kristus Yesus. Seluruh Kitab Suci diilhamkan Allah dan bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.(2 Tim. 3:15-17)

 

Membaca dan merenungkan Alkitab ternyata memberikan beragam manfaat. Pertama, memberikan hikmat (kebijaksanaan). Kedua, menuntun kepada keselamatan melalui iman kepada Tuhan Yesus. Lebih dari itu Alkitab memberikan kita manfaat, yaitu: mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran. Dan pada ujungnya kita diperlengkapi Allah untuk setiap perbuatan baik. Membaca firman Tuhan ternyata tidak mubazir malahan banyak gunanya. 

Semoga kehadiran Alkitab TB2 menjadi momentum yang menggerakkan generasi muda untuk kembali mencintai Kitab Suci. Agar mereka menuai manfaat dari apa yang dibacanya dan pada akhirnya diperlengkapi untuk melakukan berbagai perbuatan baik yang memuliakan nama Tuhan. Bagi Dialah, Firman Hidup yang telah menjadi manusia, kemuliaan sampai selama-lamanya.