Prof. Dr. G. A. Siwabessy: Sang Upuleru, Bapak Atom Nasional

Prof. Dr. G. A. Siwabessy: Sang Upuleru, Bapak Atom Nasional

 

Pernahkah engkau melihat orang yang cakap melakukan pekerjaannya? Orang itu akan dipekerjakan di istana raja-raja, bukan di rumah orang biasa. (Amsal 22:29, BIMK)

Kutipan Amsal tersebut dengan tepat menggambarkan sosok Prof. Dr. G.A. Siwabessy. Orang yang cakap, orang yang tekun berkarya, yang dapat dipercaya dan mampu menyelesaikan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya akan beroleh kepercayaan yang lebih besar. 

Generasi muda yang lahir paska 1990-an, mungkin tidak banyak yang ingat sosoknya. Apalagi mengetahui dan menghargai karya baktinya yang luas bagi republik tercinta. Dari seorang anak kampung di pedalaman Saparua, nantinya Gerrit Augustinus Siwabessy akan dikenal sebagai Bapak Atom Indonesia, pencetus dan pendiri Askes (Asuransi Kesehatan) yang merupakan cikal bakal dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, pendiri BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) yang berada langsung di bawah Presiden RI, Guru Besar Luar Biasa di bidang Radiologi pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pendiri dan Dekan Pertama Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam (sekarang FMIPA) Universitas Indonesia yang juga adalah pilot project FMIPA di seluruh Indonesia. 

Karier Siwabessy di pemerintahan cukup panjang dan terbentang di berbagai bidang. Berturut-turut dari 1961-1964 sebagai Menteri Badan Tenaga Atom Nasional (sebelumnya Dirjen BATAN); 1966-1978 sebagai Menteri Kesehatan RI (menteri kesehatan terlama di Indonesia) dan terakhir 1978-1982 sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI yang dijalaninya hingga wafat. 

Beliau mendapatkan penghargaan semasa hidup, di antaranya: Bintang Mahaputra III Utama RI di bidang Tenaga Atom (1968); Bintang Mahaputra II Adhipradana RI di Bidang Kesehatan (1973); Doctor Honoris Causa (Doctor in Humane Letters) dari Siliman University, Filipina (1973), serta mendapatkan Bintang Leopold dari Kerajaan Belgia. Bahkan setelah wafat, Siwabessy masih mendapatkan banyak penghargaan.  

Berbagai bantuan luar negeri beliau manfaatkan untuk membangun laboratorium rumah sakit di Bandung, intensive care (gawat darurat) di Jakarta, floating hospital (kapal rumah sakit) di Maluku, fasilitas peralatan dan kesehatan rumah sakit umum di Semarang dan Purwokerto, serta Pembangunan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) secara menyeluruh. 

Selain membangun kerja sama dengan dunia internasional, beliau juga menjalin kerja sama antara Departemen, khususnya dengan Departemen Dalam Negeri, Departemen Sosial dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyukseskan program-program kesehatan yang memerlukan dukungan sektor lain.

Putra Ullath, Saparua

Siwabessy lahir di desa Negeri Ullath, Saparua, 19 Agustus 1914. Jangan membayangkan desa itu seperti kondisi desa saat ini. Pada awal abad ke-20, Negeri Ullath cuma desa di tengah kebun cengkeh, yang dihubungkan dengan jalanan tanah. Enoch Siwabessy, ayat Gerrit Agustinus Siwabessy, adalah seorang petani cengkeh. Namun Enoch tidak pernah menyaksikan Gerrit tumbuh dewasa. Karena kala Gerrit masih berusia satu tahun ayahnya wafat. Tak lama kemudian ibunya, Naatje Manuhutu, menikah lagi dengan seorang guru desa bernama Yakob Leuwol. Ayah tirinya sangat menyayangi Gerrit dan saudara-saudaranya.

Pada masa itu di Maluku, guru adalah profesi terhormat. Bersama dengan pendeta dan penguasa negeri, mereka merupakan latu pati  atau golongan penting dalam kehidupan dan kegiatan desa. Mereka biasa disapa dengan sebutan Tuan Guru. Dapat dikatakan bahwa Siwabessy yang lahir sebagai anak petani beruntung memiliki ayah tiri seorang guru. 

Profesi guru, sama seperti militer, merupakan profesi yang dibuka oleh Belanda untuk masyarakat Maluku, terutama Maluku Tengah. Sejak abada ke-17, selain memonopoli perdagangan cengkeh di Maluku, Belanda juga membawa agama Kristen ke sana. Para pendeta Belanda itulah yang mendidik guru-guru desa, yang kemudian berperan dalam mendidik anak-anak desa untuk membaca, berhitung dan menyanyi. 

Sebagai guru keliling, Tuan Guru Yakob Leuwol berpindah-pindah tempat mengajar, mulai dari Larike, Tawiri, sampai Lateri. Siwabessy mengenang kawasan-kawasan itu sebagai tempatnya bermain semasa kecil. Ia selau mengikuti ayahnya mengajar meskipun jarak yang ditempuh cukup jauh. Mereka harus berjalan kaki beberapa kilometer, melelahkan untuk kaki-kaki kecil Siwabessy. Agaknya Tuan Guru Yakob mementingkan pendidikan putra-putranya, mempersiapkan mereka untuk memperoleh pendidikan berkualitas bagus sejak dini. 

Ketika Siwabessy berusia 7 tahun, Siwabessy dikirim ke Ambon untuk bersekolah di Ambonsche Burger School (setingkat HIS atau sekolah dasar dengan masa belajar tujuh tahun). Saat itu dari kalangan pribumi hanya anak-anak dari tokoh masyarakat dan pegawai pemerintah Hindia Belanda yang boleh masuk sekolah-sekolah Belanda. 

Memilih Melanjutkan Pendidikan

Berbeda dari kedua kakak laki-lakinya, Jonathan dan Obed Siwabessy yang memilih untuk bergabung sebagai tentara KNIL, karena ingin segera mendapatkan penghasilan sendiri, G.A. Siwabessy memutuskan untukmelanjutkan sekolahnya ke MULO karena lulusan MULO dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat tinggi. Siswa yang tidak mampu tapi berprestasi bagus mendapatkan kesempatan memperoleh beasiswa. Kepala sekolah merekomendasikan pemberian beasiswa melalui kementerian yang membawahi pendidikan saat itu. 

Sejak bersekolah, Siwabessy kecil sangat suka belajar. Tidak heran, kalau ia lulus dari MULO Ambon pada tahun 1931 dengan nilai sangat bagus. Ia berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Ia begitu ingin menjadi insinyur karena sangat tertarik dengan bidang Fisika. Saat itu, cita-cita anak-anak Maluku sudah mulai bergeser dari guru dan militer ke arah dokter dan insinyur. Namun, karena beasiswa yang tersedia hanya untuk pendidikan kedokteran maka Siwabessy memupus harapannya untuk menjadi insinyur dan beralih menjadi dokter. 

Saat itu, pendidikan tinggi menerima lulusan MULO dan kuliah ditempuh selama 9 atau 10 tahun. Untuk kedokteran berada di Surabaya, yaitu Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). Saat itu yang berada di Jakarta bernama Batavia School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang kemudian menjadi Geneeskundige Hogeshool. Siwabessy melanjutkan pendidikannya di NIAS Surabaya. 

Saat berusia 17 tahun, Siwabessy muda hidup dengan penuh semangat. Meskipun berasal dari keluarga guru, ia tetap anak desa yang rendah hati. Kota besar yang dikenal sebelumnya hanyalah Ambon. Dengan menggunakan kapal laut, ia berangkat sendiri menuju Surabaya, kota perdagangan nomor dua di Pulau Jawa. Di Surabaya ia berjumpa dan berteman dengan banyak rekan dari berbagai daerah, bukan hanya dari Maluku. Ia yang ramah cepat menyesuaikan diri dengan teman-teman  mahasiswa di NIAS. Salah satu kekurangan Siwabbesy adalah ia tidak terlalu lancar berbahasa Belanda, bahasa pengantar di kampusnya. 

“Bahasa Belanda beta belum bagus. Ayah mengerti bahasa Belanda, tetapi sehari-hari tidak berbicara dalam bahasa Belanda. Untuk melancarkan bahasa Belanada, teman-teman beta asal Maluku, seperti Karel Staa, Syuurt Latupeirissa dan Usmany, merekomendasikan beta untuk mondok di keluarga Lopulalan yang istrinya seorang Belanda. Tempat pondokan di Pacarkeling itu memang paling tepat,”begitu tulis Siwabessy dalam buku memoarnya. 

Sekalipun akrab dengan banyak mahasiswa asal Maluku, Siwabessy juga bersahabat dengan rekan mahasiswa lain dari berbagai daerah seperti Muhammad Imam, Ibnu Sutowo (nantinya menjadi Direktur Pertamina), Rubiono Kertopati (kemudian menjadi Kepala Bagian Sandi Angkatan Darat), Rambitan (kemudian menjadi dokter di Maskapai Garuda), dan lain sebagainya. Di sinilah Siwabessy mulai mengenal berbagai suku lainnya yang kemudian membangun spirit nasionalismenya dalam memperjuangkan kemerdekaan. 

Awal Mengenal Nasionalisme dan Mendalami Budaya Asal

Selain rajin kuliah, Siwabessy juga haus akan pengetahuan non-akademik. Untuk meningkatkan pengetahuannya, dengan percaya diri, sebagai pemuda berusia 18 tahun, ia acap kali berbincang-bincang dengan Mr. J. Latuharhary, pimpinan Sarekat Ambon, yang saat itu menjadi hakim di Pengadilan Negeri Kraksaan dan Malang. Seperti umumnya mahasiswa Maluku, ia menjadi anggota Christen Studentent Vereniniging (CSV) di Surabaya. Namun, ia berusaha mengikuti berbagai diskusi dan rapat umum yang diselenggarakan oleh Sarekat Ambon. Baginya organisasi adalah arena belajar mengenal masalah pergerakan nasional, khususnya masalah rakyat Maluku. 

Di tengah kesibukannya, Siwabessy dan teman-temannya yang berasal dari Maluku kadang-kadang tidak mampu menepis rasa rindu pada kampung halaman. Sebagai jalan keluar, mereka mendirikan organisasi Memadjoekan Cultuur Maloekoe (MCM).  Kata cultuur atau budaya sengaja dipilih untuk menggambarkan bahwa organisasi mereka bertujuan menuangkan kreativitas di bidang seni budaya. 

Pada tahun 1939, Siwabessy berada pada masa akhir kuliahnya, namun aktivitas MCM-nya justru semakin gencar. Ia menyelenggarakan berbagai pementasan sandiwara, musik, tari-tarian di berbagai kota di Jawa Timur dan Madura. Tentu saja, kegiatan ini sangat menguras tenaga Siwabessy, apalagi setiap kali kembali ke Surabaya, ia harus belajar keras menghadapi berbagai ujian. Pada 1939, ia menempuh ujian Semi Arts (calon dokter). Akhirnya, pukulan pun menimpanya. Siwabessy gagal dalam ujian. Bahkan, ia terjangkit penyakit paru-paru dan harus dirawat selama enam bulan di Sanatorium Lawang (Malang). 

Pantang Menyerah

Siwabessy pantang menyerah. Hari demi hari ia mulai belajar lebih keras. Jika ia mengantuk di tengah malam, ia masukkan kakinya ke dalam seember air yang ia letakkan di bawah meja. Pada 1941, ia berhasil lulus sebagai Semi Arts dan wajib menjalani co-schap selama satu tahun. Kewajiban ini dijalani sambil menunggu kesempatan menempuh ujian Aris (dokter) pada Februari 1942. 

Namun, situasi berkata lain. Ekspansi Jepang mulai membayangi Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-undang bahaya perang (SOB). Untuk berjaga-jaga, pemerintah memerlukan tenaga dokter untuk ditempatkan di luar Jawa. Calon dokter yang selesai co-schap tetapi belum menempuh ujian Arts diberi ijazah sementara (Nooddiploma). Kemudian buru-buru mereka dikirim ke tempat tugas. Siwabessy ditempatkan di RS BPM di Cepu. Baru dua bulan bekerja tentara Jepang menaklukkan Hindia Belanda. Situasi jadi serba sulit. Ini memaksa Siwabessy dan keluarga pergi dari Cepu dan pulang ke Surabaya. 

“Tanpa ijazah dokter beta tidak dapat berbuat banyak, tidak dapat membuka praktik,”ujarnya. Sementara itu kampusnya NIAS berada di bawah otoritas NIAS. Dr. Van Zeben, ditangkap oleh Jepang. Penggantinya, dr. Mohammad Syaaf tidak berani mengeluarkan ijazah tersebut. Sehelai ijazah sangat berarti bagi Siwabessy yang saat itu sudah menikah dengan Reny Poetiray, sahabatnya di MCM. 

Memanfaatkan dengan Baik Setiap Kesempatan yang Ada

Saat kuliah, Siwabessy pandai di bidang Fisika. Ia pun bermaksud mengembangkan pengetahuan medisnya ke arah situ. Selain itu, keakrabannya dengan Dr. Laumetten, Kepala RS Jiwa Lawang, membuatnya berminat terhadap ilmu psikiatri. Namun, semua itu harus ia lupakan karena tuntutan memperoleh nafkah untuk keluarga jauh lebih penting. Suatu hari ia bertemu dengan teman lamanya di NIAS, Dr. Sutjahyo, spesialis paru-paru yang bertugas di Bagian Radiologi RS Simpang. “Ia mengajak beta membantu di bagian itu, walaupun tidak tertarik, tetapi demi kelangsungan hidup tawaran itu beta terima.” Tugas Siwabessy adalah sebagai asisten radiologi, bukan sebagai seorang dokter. 

Kesempatan kerja itu sama artinya dengan harus belajar lagi. Usianya saat itu sudah 28 tahun, tetapi semangat belajarnya tidak pernah pudar. Setumpuk buku mengenai radiologi dipelajarinya. “Melalui petunjuk buku-buku itu, beta mencoba menggerakkan alat yang berbahaya itu karena menggunakan listrik tegangan tinggi dan ada radiasi sinar X. Syukurlah pelan-pelan beta dapat menguasai alat itu.””

Berikutnya, kembali ia bertekun mempelajari radiologi klinis dan semakin menyukai bidang tersebut. Beruntung saat itu RS Simpang mendapat Kepala Bagian Radiologi yang baru, Dr. R.M. Notokrowo. Siwabessy menggunakan kesempatan berguru kepada dokter ini untuk memperdalam pengetahuannya. Sementara itu, ia juga harus belajar keras untuk mengikuti ujian Arts di Geneekundige Hoogenschool, Jakarta. Pada 15 Desember 1942, ia berhasil lulus ujian Arts. Kembali ke Surabaya pada 1 Januari 1943, Siwabessy resmi sebagai dokter, artinya ia dapat membuka praktik dan dapat memperbaiki kondisi perekonomian rumah tangganya. 

Radiologi Bukan Pilihan Pertama

Kebetulan RS Simpang kedatangan Dr. Abdurrachman Saleh, seorang dokter yang memiliki pengetahuan elektronik (juga terkenal sebagai penerbang AURI yang gugur sebagai pahlawan pada masa revolusi). “Ia sebenarnya ahli di bidang fisiologi, tetapi mahir elektronika. Bidang radiologi, selain segi klinis, juga bertumpu pada teknik dan elektronika. 

“Pengetahuan beta meningkat pesat setelah belajar kepada dr. Abdurrachman Saleh. Secara bertahap beta menguasai berbagai segi radiologi. Masa itu ahli radiologi sedikit, selama bekerja beta dibantu asisten rontgen Nn. Lies Kawilarang yang menguasai teknik pemotretan dan administrasi bagian radiologi,”terangnya. 

Dua tahun setelah lulus sebagai dokter, Siwabessy diangkat sebagai Kepala Bagian Radiologi RS Simpang. Bidang yang sebelumnya bukan merupakan cita-citanya, justru menentukan jalan hidupnya di kemudian hari. Jabatan itu ia pegang sampai akhir November 1945. 

Putra pertama mereka, Amakora lahir pada 10 Juni 1945. Amakora artinya nahkoda perahu kora-kora, perahu perang tradisional Maluku. Dua bulan kemudian pada 19 Agustus 1945, kabar kemerdekaan sampai di rumah mereka di Jl. Biliton, Surabaya. Keluarga Siwabessy menyambut dengan penuh rasa haru dan kegembiraan. Dengan berani keluarga ini menjadi satu-satunya keluarga yang memasang bendera merah putih di halaman rumah mereka. Setelah peristiwa rakyat Surabaya pada 10 November 1945, para dokter di RS Simpang diminta keluar dari kota tersebut. Siwabessy bersama keluarganya juga ikutan mengungsi. 

Setelah mengalami berbagai peristiwa semasa konflik bersenjata perang kemerdekaan Indonesia pada 1947, Siwabessy resmi menjadi pegawai Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Saat itu, ibu kota RI berada di Yogyakarta dan untuk sementara Siwabessy bertugas di poliklinik Rumah Sakit Perjuangan Petronella (sekarang RS Bethesda). Di kota ini, ia berkesempatan memperluas jejaring pergaulannya dengan para dokter yang datang dari berbagai kota lain, seperti dr. Sutomo Tjokronegoro, dr. Mochtar, dr. Sarwono Prawirohardjo, dr. Surono, dan dr. Ariotedjo. 

Ia juga bersahabat dengan sesama dokter asal Maluku, seperti Dr. J. Leimena yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kesehatan, serta dr. Samallo, dan dr. Picauli yang menjadi spesialis bedah ulung. Dokter Picauli sering mengajak Siwabessy saat melakukan pembedahan. Bagi Siwabessy ini tentu saja merupakan kesempatan untuk memperluas pengetahuannya. Pada 1947, Dr. Leimena menugaskan Siwabessy untuk membantu Prof. Dr. W.Z. Johannes, Kepala Bagian Radiologi RS Perguruan Tinggi Salemba (tahun 1950-an bernama Rumah Sakit Umum Pusat dan kemudian berganti nama lagi RSUP Cipto Mangunkusumo) di Jakarta. Setelah itu, dunia radiologi benar-benar menjadi dunia Siwabessy. Tidak lama kemudian Prof. Dr. Johannes memberi brevet sebagai spesialis radiologi kepada Siwabessy. 

Memperdalam Ilmu Pengetahuan di Luar Negeri

Sebagai Menteri Kesehatan RI, tampaknya Dr. J. Leimena memperhatikan prestasi dan kemauan belajar Siwabessy. Pada 1949, setelah perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menandai pengakuan kedaulatan atas Republik Indonesia, Leimena menganjurkan Siwabessy untuk memperdalam pengetahuannya ke luar negeri. Menteri Kesehatan Leimena dan Dekan FKUI Prof. Dr. W.Z. Johannes memberi surat rekomendasi bagi Siwabessy untuk memperoleh beasiswa. 

British Council menyediakan tiga beasiswa untuk menjalani studi lanjutan di Inggris. Tentu saja ini merupakan kabar gembira. Namun, Siwabessy hanya mahir berbahasa Belanda, padahal bahasa Inggris harus ia kuasai sebagai prasyarat untuk mengikuti studi lanjut di Inggris. Pada masa itu tidak ada sarana kursus Inggris seperti sekarang  Lagi-lagi keinginan untuk mendapatkan hasil mendorongnya untuk menciptakan sistem belajar sendiri. 

Siwabessy membeli buku The Discovery of India, karya Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India), yang menurutnya sangat halus bahasa Inggrisnya. Buku itu pun ia baca berulang-ulang dengan sangat teliti. Kata-kata yang tidak ia pahami, ia cari di kamus. “Cara ini bukan cuma menambah pengetahuan tentang perbendaharaan kata-kata Inggris, tetapi juga memperluas wawasan tentang sejarah India, penderitaan dan perjuangan mereka, khususnya kehidupan Jawaharlal Nehru yang memesona,”katanya. 

Beasiswa itu ia peroleh bersama Mr. Laili Ruzad yang mengambil studi Hubungan Internasional dan Dr. Sutomo Tjokronegoro yang mengambil studi Patologi. Siwabessy membawa istrinya, Renny Poetiray dan putra-putranya, Amakora dan Bara Lasjkar. Namun, selama tiga bulan, keluarganya dititipkan di rumah seorang kerabat di Belanda. Ia berangkat sendirian ke Londok dan mondok di rumah Mrs. De Lange. Ternyata upaya belajar bahasa Inggris secara mandiri tersebut cukup manjur hasilnya. Siwabessy mampu berkomunikasi dengan ibu kos. Setelah mengikuti pendidikan untuk memperdalam bahasa Inggris, dengan percaya diri ia berkomunikasi dengan semua rekan sejawat dan guru besarnya di kampus. 

Strategi Jitu Menuntut Ilmu

Beasiswa itu hanya berlaku untuk masa belajar selama 12 bulan ditambah beberapa bulan berkunjung ke pusat radiologi dan kedokteran nuklir di Manchester, Leeds, Edinburg, dan Glasgow. Dengan cerdik Siwabessy mengatur agar ia dapat memperoleh ilmu sebanyak mungkin. 

“Beta tidak mengajar ijazah, sejak awal hal ini beta katakan kepada mereka. Brevet dari Prof. Dr. Johannes sudah cukup. Di Inggris ini beta ingin menambah pengetahuan di bidang radiobiology, radiochemistry, radiationphysics. Jadi beta ingin menambah pengetahuan di bidang radiologi dan radioterapi, plus pengetahuan dasar di bidang atom,”katanya.  Sikapnya ini berkebalikan dengan mahasiswa-mahasiswa lain yang berasal dari India, Ceylon, dan Mesir, yang lebih suka mengejar ijazah. 

Teori pengetahuan yang ia inginkan diperoleh di Departement of Radiology London University. Ia menjalani praktik klinis di Hammersmith Hospital yang merupakan rumah sakit di wilayah barat Kota London. Hammersmith Hospital merupakan tempat yang ideal untuk menambah pengetahuan di bidang kedokteran, selain berfungsi sebagai pusat latihan post-graduate programs bagi London University juga merupakan Medical Research Council. Di sinilah Siwabessy mendapat pengetahuan mutakhir dalam studinya. 

Tiga bulan menjalani kuliah, ia sudah diangkat sebagai asisten sehingga dapat meninggalkan tugas kuliah mahasiswa biasa. Ia terkejut ternyata pendidikan kedokteran di NIAS dan bimbingan di bidang radiologi dari dokter spesialis seperti dr. Notokworo dan Dr. Johannes tidak kalah dengan di Inggris. Ia cukup berpengetahuan dan terampil di bidang radiologi. Sebagai asisten ia bertanggung jawab atas satu bangsal (zaal) dan mendapat seorang sekretaris. 

Siwabessy dikenal sebagai asisten yang sangat rajain dan haus pengetahuan. Setiap hari ia datang lebih pagi sebelum jam kerja dimulai. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk riset mempelajari kasus-kasus radioterapi. Dalam waktu singkat, ia mengetahui perkembangan bidang radiologi dan radiotherapy di rumah sakit tersebut. Berbekal pengetahuan tersebut, ia mampu berdiskusi secara ilmiah dengan para guru besarnya. Ia selalu dilibatkan dalam case presentation atau presentasi kasus penyakit dan diskusi dengan para spesialis dari berbagai bidang ilmu kedokteran di kampus dan rumah sakit. Staf pimpinan di bagian radiologi juga menyukai kesiapan Siwabessy dengan data, karena setiap hari mengikuti pemeriksaan keliling bangsal. 

Saat itu di Inggris berkembang ilmu kedokteran yang dinamakan nuclear medicine. Berbagai penemuan ilmu ini sudah digunakan untuk pengobatan kanker. Siwabessy berminat pada ilmu baru tersebut. Sepengetahuannya untuk keperluan radiologi digunakan isotop alamiah seperti radium, tetapi nuclear medicine menggunakan isototp artifisial (buatan) yang dihasilkan dari reactor atom seperti Phospor (P 32), Jodium (J 131) dan Ferrum (Fe 59), dan lain sebagainya. Menurutnya, pengetahuan di bidang atom ini sangat diperlukan untuk mengembangkan bidang radiologi. 

Pengenalan pertamanya dengan ilmu tersebut terjadi ketika ia memperoleh kesempatan selama tiga bulan untuk memperdalam pengetahuan di rumah sakit kanker di Manchester yang dipimpin Dr. Patterson. Kemudian selama sebulan, ia mengunjungi rumah sakit Royal Infirmary di Edinburg yang ditangani Prof. Mc Whirter. Kedua dokter ini adalah ahli radiotherapy terkenal di Inggris. Tidak hanya itu, Siwabessy juga berkenalan dengan para ahli atom yang menangani bidang nuclear physics, chemistry, biology, radiation physics, radiation chemistry, radiation biology, dan radiotherapy. Sikap Siwabessy yang ramah dan antusias telah memesona para ahli tersebut sehingga mereka senang untuk berbagi ilmu dengannya. 

Membaktikan Ilmu dan Merintis Bidang Ilmu Pengetahuan Baru Bagi Bangsa

Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1951, ia ditempatkan seabgai hoofd-asistent di bagian Rontgen di Rumah Sakit Umum Pusat. Bersama beberapa asisten, ia melaksanakan tugas klinis untuk kepentingan semua bagian di rumah sakit tersebut. Namun atasannya, Prof. Dr. Johannes, yang saat itu adalah Dekan di FKUI dan Pejabat Rektor UI, menugaskannya sebagai dosen (Lektor Luar Biasa) untuk mata kuliah ilmu sinar (radiologi). 

“Dari pengalaman di London, beta memutuskan memberi kuliah dasar-dasar ilmu radiologi agar ilmu ini dapat berkembang. Dulu semasa di NIAS beta hanya menerima kuliah di bidang applied radiology, pengetahuan dasar hanya sedikit. Beta harapkan kuliah untuk tingkat 2 dan 3 ini menjadi pengetahuan dasar yang cukup untuk menunjang pengetahuan terapan yang diberikan asisten di Bagian Radiologi RSUP,”terangnya. 

Mengamati kondisi bidang radiologi di RSUP ia melihat perlunya usaha mengembangkan dan meningkatkannya. Ia sadar bahwa perkembangan ilmu radiologi di Indonesia masih berada pada tahap awal. Peralatan yang dipergunakan di beberapa rumah sakti di Indonesia sudah tua. Selain itu, sebagian tenaga teknis yang berbangsa Belanda sudah kembali ke negerinya. 

Pada 1952, ia merintis berdirinya Sekolah Asisten Rontgen di RSUP yang menerima lulusan SMP. Setelah menjalani pendidikan selama tiga tahun lulusan dikirim ke berbagai rumah sakit di daerah. Untuk meningkatkan peralatan, ia membentuk Lembaga Radiologi di Kementerian Kesehatan. Melalui lembaga ini diusahakan peralatan baru dan ahli-ahli Belanda yang masih tinggal di Indonesia dipertahankan sementara menunggu dokter-dokter lulusan fakultas kedokteran. 

Pada 4 September 1952, Prof. W.Z. Johannes wafat. Siwabessy ditugaskan menggantikan beliau sebagai Pejabat Kepala Bagian Radiologi RSUP. Sebagai tenaga ahli, tugasnya semakin berat karena diminta RSPAD (kini RSPAD Gatot Subroto) dan RS Yang Seng Ie (kini RS Husada) sebagai konsultan di bagian radiologi  di rumah sakit tersebut. Ia juga membimbing para dokter yang mengambil keahlian radiologi. Ia juga mesti melatih beberapa dokter spesialis paru-paru untuk pekerjaan rontgenologis. Dalam berbagai kesibukannya tersebut, Siwabessy juga tidak dapat menolak permintaan teman lamanya semasa revolusi kemerdekaan, Dr. Sarlono, yang sedang sakit keras, untuk menggantikannya sebagai Direktur RS. St. Carolus. 

Membina Kerja Sama Internasional dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Keberadaan Lembaga Radiologi di Indoneswia diakui oleh negara-negara lain. Lembaga ini pun diundang ke berbagai konferensi. Salah satu yang terpenting yaitu Konferensi Internasional Radiologi di Kopenhagen pada 1953. Ini konferensi kedua setelah Perang Dunia II usai, dan konferensi pertama sejak  Siwabessy menyelesaikan kuliah di London. Dalam konferensi ini, berbagai negara maju seperti: Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Prancis, dan Belanda menunjukkan berbagai penemuan mutakhir di bidang radiologi. Ahli-ahlinya mempresentasikan makalah ilmiah. Bagi Siwabessy konferensi ini merupakan arena menambah wawasan dan memperluas jejaring interansional. 

“Beta mempresentasikan makalah, bukan tentang kemajuan ilmu radiologi di negara kita, tetapi tentang usaha-usaha yang telah dicapai Indonesia dalam membangun dan memajukan ilmu radiologi,”jelasnya. 

Di tengah kesibukan memperjuangkan bidang radiologi ini, tiba-tiba muncul kejadian yang menentukan jalan hidupnya di kemudian hari. Berawal dari tindakan Amerika Serikat yang mencoba bom hydrogen di Pulau Eniwetok, Samudera Pasifik. Tentu saja, Pemerintah Indonesia cemas pada dampak radioaktif melalui laut dan udara, karena beberapa wilayah Indonesia berbatasan dengan Samudera Pasifik. Presiden Soekarno pun mencari siapa dan lembaga apa yang dapat mengukur kadar radioaktif di udara, laut dan daratan. 

Pilihan yang paling pas pada masa itu adalah Lembaga Radiologi Kementerian Kesehatan. Di situ terdapat peralatan “Geiger” dan peralatan lain untuk mengukur tingkat radiasi unsur radioaktif.  Namun, peralatan ini digunakan untuk kepentingan pembinaan radiologi di rumah sakit di Indonesia. Bidang yang digarap berbeda, perlu ada wadah baru sebagai landasan kerja. Siapa tokoh paling tepat untuk merintisnya? Siapa lagi kalau bukan Siwabessy. Ia telah mempelajari atom ketika berada di Inggris. 

“Beta diangkat sebagai Ketua Panitia Penyelidikan Radioaktivitet dan Tenaga Atom. Panitia terdiri dari wakil-wakil instansi seperti Meteorologi, TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Udara, TNI Angkatan Laut, dan para ilmuwan seperti Prof. Ir. Herman Johannes (sepupu alm. Prof. W.Z. Johannes) dan Dr. Baikuni dari Universitas Gajah Mada, Dr. Rubiono dari RSPAD, Prof. Ir Gunarso dari ITB. Lembaga Radiologi menugaskan Erman Natawijaya dan Sombu Pilay, seorang ahli asal India, sebagai peneliti lapangan. 

Mengembangkan Sumber Daya Manusia untuk Menguasai Teknologi

Berdasarkan pengalamannya belajar di Inggris dan pergaulannya dengan para ilmuwan kelas dunia di berbagai konferensi radiologi, Siwabessy meyakini bahwa kegiatan riset merupakan penunjang pengetahuan. Riset awal isu radioaktif dilakukan dengan meneliti air laut, tumbuh-tumbuhan terutama rumput dengan sasaran Manado, Ambon dan Timor. Saat itu Papua, walupun berdekatan dengan Samudera Pasifik, namun masih berada di bawah kekuasaan Belanda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan-kawasan itu tidak terpapar radioaktif. 

Bukan Siwabessy namanya jika cepat puas dengan pencapaian seperti itu. Dua peneliti lapangan yang dimiliki, Erman Natawijaya dan Sombu Pilay, harus segera meningkatkan keahliannya. Indonesia harus siap dengan tenaga-tenaga peneliti berkualitas internasional untuk menghadapi perkembangan nuklir selanjutnya. Dua peneliti tersebut dikirim belajar ke Inggris. Ia bertekad, bila dirinya menjadi tahu, terampil dan ahli karena belajar, maka orang-orang Indonesia yang lain harus mendapatkan kesempatan yang sama.

Walaupun usia republik masih muda, namun tampaknya visi para pemegang kekuasaan di Republik Indonesia pada tahun 1950-an itu jauh ke depan. Amerika Serikat di bawah Presiden Dwight D. Eisenhower (1953-1961) mencanangkan nuklir untuk perdamaian. Antusias pada pengembangan pengetahuan nuklir, pada tahun 1958 pemerintah membentuk Lembaga Tenaga Atom dengan Siwabessy sebagai pimpinannya. Lembaga ini berada di bawah Sekretaris Negara. Setelah mendapat lampu hijau dari pemerintah, Siwabessy pun mempersiapkan tenaga-tenaga ahlinya untuk menjalani studi di mancanegara. 

Pada 1958, sejumlah lulusan Fakultas Teknik dan MIPA UI Bandung (pada masa Hindia Belanda bernama Technische Hogeschool (TH), setelah kemerdekaan disatukan dalam Universitas Indonesia (UI), tahun 1961 berubah menjadi Institut Teknologi Bandung) dan Universitas Gajah Mada berminat untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir. Melalui Lembaga Radiologi mereka mendapat beasiswa dari International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk belajar ke berbagai negara. Tentu saja, hal ini menggembirakan Siwabessy. Kepada mereka ia mengatakan bahwa yang terpenting adalah kemauan dan kerajinan belajar, kepandaian nomor dua. Siwabessy meyakini bahwa lulusan perguruan-perguruan tinggi tersebut pastilah orang pandai, namun mereka perlu didorong dan disemengati karena kelak keahlian mereka sangat dibutuhkan bangsa dan negara. 

Para sarjana dikirim belajar tentang nuklir ke Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Italia, Belanda, Jerman, Rusia, Yugoslavia dan lain sebagainya. Banyak dari mereka nantinya menjadi para ahli yang mengawali karier di Lembaga Tenaga Atom. 

Antara 1954=1948, Siwabessy rajin mengikuti konferensi radiologi, nuklir, sains dan pameran tentang isu-isu terkait nuklir di berbagai negara. Maklum, teknologi informasi pada masa itu belum secanggih sekarang. Kalau inging merintis jejaring relasi, menambah pengetahuan dan melihat penemuan-penemuan terbaru, seseorang harus sering datang ke negara-negara maju. Agar ilmu dan pengetahuan rekan-rekan sesama ilmuwan juga berkembang, Siwabessy selalu menyertakan rekan-rekan ahli radiologi atau ahli atom dalam setiap kesempatan perjalanan. 

Dalam setiap kunjungan selalu diatur agar ia dan timnya sekaligus dapat mengikuti berbagai kegiatan yang lain untuk memperdalam ilmu. Misal, ketika mengikuti Konferensi “Atom for Peace” di Jenewa, Swiss, ia dan tim Lembaga Tenaga Atom serius mengamati pameran peralatan deteksi radioaktif, pengukur kecepatan air dan minyak dalam pipa, dan reactor kecil untuk pendidikan. Setelah konferensi usai, ia mengunjungi Italia untuk menemui rekannya yang ahli radiologi semasa di London, Dr. Palmieri, untuk berdiskusi. Selanjutnya rombongan mengunjungi Hammersmith Hospital, London. 

Ketika Siwabessy menghadiri Konferensi Radiologi Internasional III di Mexico City, kesempatan itu ia manfaatkan untuk berkunjung ke Amerika Serikat. Ia tak kenal lelah, mengunjungi berbagai pabrik perlatan radiologi, pabrik mobil di Detroit, Brookhaven National Laboratory di New York, dan pusat tenaga atom di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Bahkan Siwabessy dan tim jauh-jauh mengunjungi kota Oak Ridge yang terkenal sebagai pusat penelitian dan pengembangan teknologi listrik dengan bahan bakar batu bara, minyak bumi, air terjun dan nuklir. 

Siwabessy semakin yakin akan prospek penggunaan tenaga nuklir di Indonesia. Menurutnya, manfaat tenaga atom untuk maksud damai bermacam-macam seperti nuclear physics, nuclear engineering, nuclear chemistry, pembuatan radioisotope, segi radiation protection safety and safe guard, segi geologi, dan sub-subbagiannya, segi survei, eksplorasi, dan lain sebagainya. Jadi untuk pengembangan ilmu dan teknologi nuklir diperlukan ahli-ahli dari berbagai disiplin ilmu, seperti: geofisika, geokimia, kimia-fisika, hingga teknologi komputer. 

“Dari percakapan dengan para ahli di pusat tenaga atom di luar negeri, beta menemukan ternyata mereka berlatar belakang keilmuan yang beragam. Misalnya, seorang ahli radiobiologist adalah seorang ahli ilmu alam yang memperdalam ilmunya dengan ilmu biologi. Beta pun sadar, untuk mengembangkan tenaga nuklir, harus ditingkatkan ilmu-ilmu dasar seperti Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia. Interaksi antara berbagai bidang ilmu seperti Kimia Nuklir dengan Matematika Terapan, Biologi dan Teknologi Komputer akan menghasilkan ahli-ahli yang andal,”terangnya. 

Merintis Penggunaan Tenaga Nuklir Di Indonesia

Pada 1956, Siwabessy diangkat menjadi Guru Besar Luar Biasa di Universitas Indonesia. Dalam pidato pengukuhannya pada 10 April 1957, ia mengemukakan pentingnya pengetahuan nuklir untuk menunjang bidang-bidang ilmu lainnya, seperti: kesehatan, industri dan lain sebagainya. Ia juga menekankan pentingnya menguasai ilmu-ilmu dasar. 

Perhatian Siwabessy pada kemajuan pendidikan begitu besar. Pada 1961, ketika ITB menetapkan Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam, yang awalnya merupakan bagian dari Universitas Indonesia yang kemudian dimasukkan dalam ITB, maka UI meminta Siwabessy merintis dan membentuk Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam (FIPIA, sekarang bernama FMIPA) di UI. Berkat keberadaan dan pengalamannya di Lembaga Tenaga Atom, permintaan tersebut dapat ia laksanakan. Siwabessy menjadi Dekan (1963-1965) sedangkan ahli-ahli Lembaga Tenaga Atom menjadi dosen sementara FIPIA menghasilkan tenaga pengajar sendiri. 

Ia juga menjadi anggota tim dokter Presiden Soekarno, tokoh yang pada 1930-an menanamkan nasionalisme dan patriotism dalam dirinya. Hubungan mereka cukup dekat. Agaknya Presiden melihat betapa antusiasnya Siwabessy pada pemanfaatan nuklir di Indonesia, sampai Soekarno mengatakan,”Gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit, Gerrit.” Pesan tersebut memantapkan hatinya untuk melakukan langkah-langkah besar. 

Pada 1957 dibangun laboratorium isotop di kawasan Pasar Jumat, Jakarta, disusul laboratorium isotop Universitas Gajah Mada. Sejak mengirim para sarjananya ke Amerika Serikat untuk belajar nuklir, ITB pun ingin membangun reactor nuklir pendidikan. Jelas, pembangunan tersebut membutuhkan biaya yang sangat mahal. Departemen Pendidikan Kebudayaan (sekarang Kementerian Pendidikan Nasional) tidak sanggup menyediakan anggarannya. 

Sementara itu pada 1964, Lembaga Tenaga Atom ditingkatkan menjadi Badang Tenaga Atom Nasional (BATAN). Siwabessy menjadi Direktur Jenderalnya yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Cita-citanya yang pertama tentu saja adalah mewujudkan reaktor nuklir untuk pendidikan. Pelaksanaan pembangunan dilaksanakan oleh sarjana-sarjana ITB. Ternyata mereka cukup andal, karena konsultan Amerika yang terlibat hanya tinggal mengawasi saja. Pada 1962, Reaktor Nuklir Pendidikan Taman Sari di ITB diresmikan Presiden Soekarno.

Menteri Kesehatan: Memimpin dan Belajar (Lagi)

Tahun 1965, adalah tahun cobaan yang berat bagi Republik Indonesia, paska peristiwa G30S. Setelah sempat diangkat menjadi Menteri BATAN dalam Kabinet Seratus Menteri, Siwabessy kemudian ditunjuk menjadi Menteri Kesehatan dalam Kabinet Ampera. Jabatan tersebut ternyata diembannya sampai 12 tahun lamanya. 

“Tanggung jawab jabatan ini tidak mudah, beta harus belajar intensif tentang kesehatan masyarakat. Harus dipersiapkan pola baru untuk Departemen Kesehatan (sekarang Kementerian Kesehatan) Beta harus membiasakan berpikir luas melampaui bidang keilmuan beta sendiri, apalagi pembangunan kesehatan masyarakat senantiasa berhubungan dengan bidang lain. Pemikiran harus multidisiplin dan lintas sectoral. Untunglah ketika mengoordinasi Lembaga Radiologi dan BATAN, beta sudah terbiasa berpikir luas dan multidimensi,”katanya. 

Kekahasan lain SIwabessy muncul lagi. Bila mempelajari hal-hal baru harus mendasar hingga tahu akar persoalannya. Ia mendapat teman diskusi Prof. Dr. Sulianti, spesialis epidemiologi, rekan lamanya ketika lulus ujian dokter pada 1942. Prof. Dr. Sulianti yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Departemen Kesehatan, seorang epidemiolog terkenal di dalam dan luar negeri, ia mendalami kesehatan masyarakat. 

Menurut Siwabessy persoalan kesehatan masyarakat Indonesia berakar pada kualitas hidup yang rendah. Kualitas hidup meningkat kalau pendapat per kapita masyarakat cukup tinggi. Pada tahun 1967 pendapatan per kapita orang Indonesia US70 per tahun (nilai dollar saat itu Rp. 200,-, maka kira-kira pendapatan sebesar Rp. 14.000,-). Dengan pendapatan yang begitu rendah, mustahil bagi rakyat Indonesia memperoleh makanan bergizi tinggi, memperoleh layanan air bersih, serta tinggal di rumah yang sehat dan layak. Keadaan yang tak dapat dihindari tersebut mengondisikan datangnya infeksi penyakit-penyakit menular seperti: malaria, tifus, kolera, disentri, dan TBC. Penyakit seperti ini merupakan penyakit yang umum di negara-negara miskin di Asia, Afrika dan Amerika Latin. 

Siwabessy menyimpulkan, bahwa program kerja Departemen Kesehatan harus selaras dengan program kerja Departemen Dalam Negeri dan Departemen Pekerjaan Umum. “Tanpa kerja sama dengan departemen lain dan pemerintah daerah secara konsisten dan serius maka semua pemikiran pembangunan dari pusat tidak bakal terwujud,”katanya. ”Begitu pula kerja sama dengan Departemen Pekerjaan Umum yang membangun sarana dan pra sarana seperti air bersih, jaringan jalan dan lain sebagainya amat penting,”lanjutnya. 

Sejak 1967, Siwabessy menjadikan Indonesia sebagai negara peserta Global Smallpox Eradication Programme (SEP). Indonesia segera melancarkan gerakan pemberantasan penyakit cacar secara menyeluruh selama enam tahun. Pada 1974, Organisasi  Kesehatan  Dunia (WHO) mengakui keberhasilan Kementerian Kesehatan RI di bawah kepemimpinan beliau yang berhasil membebaskan seluruh wilayah Indonesia dari ancaman penyakit cacar. Satu prestasi yang patut dibanggakan. 

Mengefektifkan Pelayanan Kesehatan Kepada Masyarakat

Menurut analisis Siwabessy, dalam kondisi ketika tingkat kesejahteraan masyarakat belum terlalu tinggi, pemerintah harus proaktif membujuk rakyat agar mau meningkatkan kebersihan dan kesehatannya. Caranya, yaitu menyediakan sarana dan prasarana kesehatan sampai di tingkat desa. Jumlah BKIA (Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak) harus ditambah karena merupakan sarana pertolongan pertama untuk kasus-kasus kesehatan biasa. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) harus dibangun di setiap kecamatan. Tetapi karena infrastruktur seperti jalan dan sarana transportasi belum memadai, maka diusahakan adanya mobil dan kapal puskesmas. 

Bagaimana dalam pelaksanaan pelayanannya? Menurut Siwabessy, dalam setiap BKIA harus tersedia tenaga bidan atau perawat, tetapi untuk puskesmas harus tersedia tenaga dokter. Sekarang mungkin hal itu dianggap mudah dilaksanakan. Tetapi Siwabessy mengumandangkan visinya pada akhir dasawarsa 60-an, ketika negara dalam keadaan kacau dan berbenah paska G30S. Tenaga kesehatan, baik dokter, perawat, maupun bidan sangat minim, itupun kebanyakan di pulau Jawa. 

Untuk menjadikan Puskesmas sebagai pusat informasi dan layanan kesehatan, dokter perlu memiliki pengetahuan tentang kesehatan masyarakat. Mereka juga perlu didampingi petugas penerangan sanitasi. Mereka menjadi ujung tombak dalam mendidik rakyat. Pengajaran tentang cara hidup bersih, vaksinasi dan pembuatan jamban keluarga adalah prioritas. 

Mirip dengan strateginya pada tahun 1951, sebagai Lektor Luar Biasa di FKUI yang mengutamakan pengajaran ilmu-ilmu dasar, ia menginstruksikan penambahan kurikulum di FKUI tentang dasar-dasar kesehatan masyarakat dan strategi penyuluhan untuk mewujudkan kesehatan masyarakat. Selain itu Siwabessy meniru strategi ABRI yang mendapatkan tenaga-tenaga dokter melalui Wamil (Wajib Militer), Departemen Kesehatan bekerja sama dengan instansi lain mencanangkan program Dokter Inpres. Dokter-dokter baru harus mau ditempatkan di Puskesmas selama tiga tahun. Mereka mendapatkan gaji dan berbagai tunjangan agar dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Penambahan kurikulum dengan pengetahuan dan ketrampilan kesehatan masyarakat juga dilakukan dalam pendidikan untuk perawat dan bidan. 

Yang menarik adalah, kemampuan Siwabessy dalam membuka jejaring internasional dan menjalin kerjasama multilateral memungkinkan banyak badan-badan dunia memberikan berbagai bantuan untuk Indonesia. Lembaga-lembaga seperti: WHO, UNICEF, UNDP, USAID, Medicare, memberikan bantuan teknis, material dan dana. Ahli mereka ikut terjun membantu program dan pelaksanaan proyek kesehatan di lapangan. 

Satu masalah lain yang menjadi perhatian Siwabessy, yaitu masalah pengadaan obat-obatan. Pada tahun 1950-1960-an, obat-obatan mahal harganya dan sedikit yang dibuat di dalam negeri. Untuk itu, langkah pertamanya adalah dilakukan pembenahan Perusahaan Negara Kimia Farma dengan menjadikan PT Kimia Farma efektif dan efisien dalam melaksanakan produksi dan distribusi obat. Instansi milik pemerintah yang memproduksi vaksin dan serum dimodernisasi dan ditingkatkan produktivitasnya, seperti Biofarma  Bandung dan Instansi sejenis di Surabaya, Medan, dan Makassar. Untuk mengatasi kekurangan sumber daya manusia, dibangun fakultas farmasi di berbagai perguruan tinggi dan sekolah asisten apoteker di berbagai provinsi. 

Selepas dari Kabinet

Selepas tugas sebagai anggota kabinet, Siwabessy diminta menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung yang bertugas sebagai Penasehat Presiden. Kepercayaan ini dijalani sejak 1978 sampai akhirnya Siwabessy meninggal di suatu malam yang tenang pada 11 November 1982, Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata.

Pada 1987, Presiden Soeharto meresmikan reaktor serbaguna terbesar di Asia Tenggara, yang diberi nama “Reaktor Serba Guna G.A. Siwabessy”, sebagai penghargaan kepada Bapak Atom Nasional yang telah merintis pengembangan ilmu dan teknologi nuklir di Indonesia. 

Universitas Indonesia pada Juni 2009 menamai salah satu jalan di kompleks kampus itu di Depok, Jl. Prof. Dr. G.A. Siwabessy untuk mengingat perannya sebagai salah satu ilmuwan yang telah mengabdi bagi dunia pendidikan, pengembangan teknologi dan kesehatan. 

Pada 2011, Kementerian Kesehatan memberikan nama ruang pertemuan umum besarnya “Auditorium Prof. Dr. G.A. Siwabessy”. Siwabessy sampai hari ini tercatat merupakan Menteri Kesehatan terlama yang pernah menjabat, yaitu selama 12 tahun. Setahun setelahnya BPJS Kesehatan memberikan nama “Gedung Prof. Dr. G.A. Siwabessy” dan ruang memorabilia untuk mengenang perannya sebagai perintis Asuransi Kesehatan (Askes) yang kini menjadi BPJS Kesehatan. 

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan nama. Tahun ini 110 tahun yang lalu Tuhan memberikan seorang Gerrit Augustinus Siwabessy untuk Indonesia. Betapa banyak karya yang telah diberikannya untuk bangsa dan negara. Satu hal yang harus diingat, seperti tutur Bara Lasjkar Siwabessy, salah seorang puteranya. Jika Siwabessy yang berasal dari kampung terpencil bisa berbuat banyak untuk Indonesia, mestinya anak-anak muda yang hidup di masa kini pun dapat meniru lakunya, paling tidak semangat dan kerja kerasnya.