TERANG DI UJUNG LORONG

TERANG DI UJUNG LORONG

 

Pernahkah Saudara mengalami pengalaman berkemah di tengah hujan dan gelap? Dingin, lumpur, becek, lapar, gelap. Sebuah situasi yang tidak pernah kita harapkan, bukan? Namun itulah keadaan yang dialami oleh para prajurit pada masa Perang Dunia I (1914-1918).

Ada sejarah menarik dari salah satu episode Perang Dunia I yang sering menjadi kajian sejarah, yaitu “Perang Parit” (The Trench War). Perang Parit adalah konsekuensi logis dari teknologi perang pada waktu itu. Perang dengan senapan membuat kedua pihak yang berseteru harus berhadapan dan berlindung dalam parit-parit untuk menyerang dan bertahan. Jarak antar parit yang memisahkan pihak-pihak yang berseteru antara 100 kaki (+/- 33 meter) hingga 100 yard (+/- 90 meter) sesuai dengan jarak tembak senapan pada waktu itu.

Perang. Tiada kebaikan dari sebuah peperangan. Demikianlah perang pada waktu itu. Keadaan makin memburuk saat musim dingin tiba. Hingga tibalah 24 Desember 1914. Dalam keheningan malam Natal di tengah peperangan, tiba-tiba mengalunlah nyanyian, “Oh come all ye faithful, joyfull and triumphant. . . .” dari pihak tentara Inggris. Sebuah nyanyian kerinduan akan Natal, di tengah keputusasaan peperangan dan dalam kondisi terburuk yang dapat dibayangkan. Pada saat itulah keajaiban terjadi. Dari pihak Jerman, dari parit seberang, mengalun jawaban, “Adeste fideles, laeti triumphantes . . .” lagu yang sama dalam bahasa Latin. Hening. Tiba-tiba terdengar alunan lagu, “Stille nacht . . .” dari pihak Jerman. Dan sontak dari pihak Inggris membalasnya dengan “Silent Night . . .” Kedua belah pihak saling memunculkan diri, saling menyapa dan saling mengucapkan “Selamat Natal”. Gencatan senjata tidak resmi dan tidak direncanakan terjadi. Bahkan dicatat dalam sejarah bahwa pada 25 Desember terjadi pertandingan sepak bola antara tim pasukan Jerman melawan tim pasukan Inggris yang dua hari sebelumnya mereka masih saling baku tembak. Sukacita Natal pun merebak bak bunga api kecil yang menyalakan unggun dan melibatkan puluhan ribu tentara senjang ratusan kilometer parit.

Indah? Romantis? Sama sekali tidak. Ada pergumulan besar dari mereka sebelum “moment of truth”. Kita hanya  bisa berdamai dengan musuh, apabila kita bisa berdamai lebih dulu dengan diri sendiri. Entah siapa yang lebih dahulu memulai, tapi mereka adalah orang-orang yang telah mendengar Firman Tuhan, “Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu, ‘Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga yang menerbitkan matahari bagi orang jahat dan orang yang baik yang menurunkan hujan bagi yang benar dan bagi yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah juga berbuat demikian?” [Matius 4: 43-47]. Pergumulan terbesar justeru terjadi dalam diri sendiri, “Bisakah aku berdamai, dengan orang yang kemarin membidik aku? Bisakah aku mempercayainya? Namun – seperti kata Firman Tuhan – “Jika aku tidak melakukannya, apa bedanya aku dengan orang-orang yang tidak mengenal-Nya?”, tembok pembatas pun runtuh dan terjadilah keajaiban Natal. Sukacita Natal terjadi. Damai di bumi.

Saat ini, mungkin kita menghadapi suasana yang kurang lebih sama. Di seberang parit sana ada COVID-19 yang bisa setiap saat menyerang dan menulari kita. Sudah 9 bulan kita bertahan di parit-parit perlindungan kita dengan protokol kesehatan. Pakai masker, rajin cuci tangan/membersihkan tangan dengan hand sanitizer, menjaga jarak, membatasi kegiatan di luar rumah. Akankah kita berani melanggar aturan protokol kesehatan itu demi merayakan Natal seperti tahun-tahun lalu? Akankah sukacita Natal kita berkurang jika kita tidak merayakannya sesuai tradisi yang sudah berjalan berabad-abad? Merayakan di rumah dalam sunyi? Menyikapi hal ini dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur WHO, mengatakan, “Kita tentu saja ingin bersama dengan orang-orang yang kita kasihi dalam suasana perayaan ini. Tetapi kebersamaan dalam keluarga tidaklah berharga jika hal tersebut membahayakan mereka atau dirimu sendiri. Pandemi COVID-19 telah mengubah cara kita merayakan Natal tetapi tidak berarti kita tidak dapat merayakannya”. 

Saat ini kita memasuki Minggu ketiga Adven. Lilin berwarna merah muda dinyalakan. Lambang sukacita. Gaudette. Separuh perjalanan penantian kedatangan Kristus telah kita lalui. Kedatangan Kristus sudah semakin dekat, “Gaudette, gaudette Christus est natus” – Bersukacitalah, bersukacitalah, Kristus telah lahir. Di minggu ketiga Adven ini kita juga mendengar berita sukacita yang lain. Vaksin COVID-19 telah tiba dan siap didistribusikan. Ya, “Kita telah melihat sinar yang lebih terang diujung lorong”.

 Demikianlah, ketika semuanya berjalan tidak seperti yang kita harapkan dan rencanakan, bukan berarti kita tidak dapat merasakan sukacita. Sukacita hanya dapat terjadi jika kita mampu berdamai dengan diri sendiri dan mengatasi ketakutan kita. Walaupun demikian, mengatasi ketakutan bukan berarti nekat, apalagi berhadapan dengan COVID-19. Marilah kita berdamai dengan diri sendiri dan menikmati sukacita di Minggu ketiga Adven. Cahaya di ujung lorong sudah semakin terang. Vaksin telah siap. Natal sudah di depan pintu. Sayup-sayup terdengar lantunan lagu . . .

A very Merry Christmas, and a Happy New Year

Let’s hope it’s a good one, without any fear . . .



Pdt. Sri Yuliana, M.Th.