Bagian yang telah kita baca merupakan narasi pembuka yang mengantarkan kita kepada keluh kesah Ayub. Dalam tradisi ratapan seperti yang jamak kita jumpai dalam Alkitab relasi Allah dan umat dipandang sebagai hubungan yang penuh dinamika. Orang diajak menyadari bahwa hubungan demikian tidak melulu dihayati dalam pujian dan berkat, melainkan juga kemarahan dan pertanyaan.
Membaca teks kita hari ini, awal dan akhir diberikan gambaran yang bisa dibayangkan sebagai kontras; hidup penuh kegembiraan dan pesta di permulaan, lalu ditutup dengan reaksi sahabat-sahabat Ayub: “Tidak seorang pun mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat betapa berat penderitaannya.” Hal tersebut dapat dianalogikan dengan perjalanan hidup manusia yang dimulai dengan sukacita karena kelahiran dan diakhiri dengan dukacita perkabungan. Lagi pula, bagi orang yang ditekan oleh penderitaan yang sangat, adakah bedanya kehidupan dengan kematian? (Bdk. 6:5) Pembukaan kitab Ayub menyajikan keadaan yang dinamis, tetapi juga mempersiapkan pembaca dengan pertanyaan tentang tragedi sekaligus peran Allah dalam hidup manusia.
Sahabat Alkitab, tidak seorang pun terlepas dari penderitaan. Hidup sering digambarkan seolah-olah orang hanya menyanjung hidup sesamanya dan kebahagiaan orang lain. Di sisi lain mereka menangisi keadaan sendiri. Kenyataannya tidak ada yang luput dari kemalangan. Seorang kaya yang kehilangan bisnisnya dan terbelit utang, misalnya, mungkin menyadarkan kita. Namun, sering kali kita hanyut dengan ambisi untuk menggapai kebahagiaan melalui kekayaan, cinta, kedudukan, dll, lalu mengorbankan relasi kita dengan Tuhan.
Kesalehan Ayub termasuk kesediaannya untuk menerima apa yang baik maupun yang buruk. Inilah sekelumit segi integritas dari sifat saleh Ayub; dirinya memang “tanpa cela”. Di dunia kita yang masih menjunjung materialisme dalam banyak ranah kehidupan, Ayub memperlihatkan sesuatu yang lebih berharga: sikap hati di hadapan Allah. Perhatian kita semestinya beralih dari pencapaian Ayub kepada kesalehan hidupnya. Namun, akan terlihat bahwa kesalehannya bukan berarti ia akan melewati semuanya tanpa pertanyaan dan ratapan. Kesalehan inilah yang membuat dia tidak “meledak” begitu mengalami apa yang buruk. Begitu juga hidup orang percaya. Kebenaran kita di mata Allah diuji dan dimurnikan melalui pengalaman-pengalaman pahit kita.
Salam Alkitab Untuk Semua