Salah satu dampak buruk akibat ketidakmampuan dalam mengelola kekuasaan adalah kesewenang-wenangan, entah dilakukan oleh si pemangku kekuasaan itu sendiri maupun oleh kerabat atau orang-orang terdekatnya. Tidak jarang orang menggunakan ‘kekuasaan’ yang dimiliki oleh orang lain untuk melindunginya dari jerat hukum akibat melakukan pelanggaran-pelanggaran tertentu, maupun untuk menindas orang lain. Ia menyangka bahwa kekuasaan yang lekat pada dirinya, entah secara langsung maupun tidak langsung, telah memberikan kebebasan yang liar baginya untuk bertindak. Tentu saja, hal ini merupakan sesuatu yang buruk dan merugikan serta sangat disesalkan. Oleh sebab itu, dibutuhkan kedewasaan dan pemaknaan yang tinggi dalam merespons kekuasaan.
Sebagai umat Tuhan kita pun perlu mewaspadai kemungkinan munculnya sikap arogan, secara khusus pada saat menghadapi orang lain di sekitar kita. Tulisan-tulisan seperti yang muncul dalam perikop ini pun menunjukkan mengenai kemelkatan hubungan antara umat Tuhan dengan Tuhan, Sang Penguasa. Kita dapat melihat luapan penegasan tentang kasih Tuhan yang sangat besar tercurah bagi kita. Kematian Kristus pun mejadi bukti paling nyata dan besar mengenai kasih Allah bagi kita. Peristiwa itu merupakan momen pembuktian paling besar, bukan untuk Allah, melainkan untuk manusia itu sendiri. Itulah mengapa, Paulus menekankan hal tersebut kepada jemaat di kota Roma sebagai cara untuk mengukuhkan iman dan perhatian mereka dalam menghadapi beragam perosalan serta pergumulan. Paulus berkata “Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?” Tentu saja, perkataan tersebut bukan untuk membentuk iman jemaat menjadi arogan, melainkan untuk membangkitkan daya juang jemaat menghadapi beragam kenyataan hidup beriman. Ingatlah, bahwa Allah telah memberikan dan Ia pun sedang serta akan selalu menghadirkan yang terbaik bagi kita. Inilah modal pengharapan bagi setiap umat Tuhan.