Di tengah dunia yang kerap abai terhadap kebenaran dan keadilan, Mazmur 9 tampil sebagai nyanyian kenangan. Sebuah mazmur yang bukan hanya mengenang siapa Allah itu, tetapi juga menyatakan dengan tegas bahwa Allah tidak pernah melupakan umat-Nya, khususnya mereka yang tertindas, terlupakan, dan berseru dengan rendah hati.
Pemazmur menegaskan bahwa Allah tidak melupakan teriakan orang yang tertindas. Dalam perspektif iman, penderitaan bukanlah akhir, melainkan undangan untuk berharap kepada Allah yang “mengangkat dari pintu gerbang maut” (ayat 14). Seruan ini bukan sekadar harapan akan keselamatan, tetapi kerinduan agar hidup menjadi kesaksian, “supaya aku menceritakan segala perbuatan-Mu yang terpuji” (ayat 15). Keselamatan bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana agar kemuliaan Allah dinyatakan melalui hidup kita. Memuji Tuhan bukanlah sekadar respons emosional, melainkan tindakan eksistensial. Sebuah tindakan yang memperlihatkan bahwa hidup manusia menemukan maknanya saat diarahkan kembali kepada Sang Pencipta.
Selanjutnya, Pemazmur juga melihat bahwa bangsa-bangsa yang melawan Tuhan justru jatuh ke dalam lubang yang mereka gali sendiri. Sungguh ironis, rencana jahat mereka justru menjadi jalan bagi penghukuman diri sendiri. Secara teologis, hal ini merupakan penghiburan sekaligus peringatan. Tidak ada kejahatan yang benar-benar tersembunyi, dan tidak ada kebenaran yang benar-benar sia-sia. Allah tetap bertahta dan dikenal melalui penghakiman yang dilakukannya.
Sahabat Alkitab, di saat dunia mudah melupakan mereka yang lemah, Allah justru mengingat. Dalam pemahaman iman umat Israel masa itu, mengingat bukan hanya aktivitas pikiran, tetapi tindakan kasih yang konkret. Ketika Allah mengingat, Ia bertindak. Sungguh hal ini menjadi sumber kekuatan bagi setiap kita yang merasa diabaikan, doa-doa kita tidak pernah sia-sia. Harapan kita tidak akan selamanya ditangguhkan. Mungkin tertunda, tapi tidak dilupakan.